Oleh: Milenia Nur Purti R
Goenawan Mohammad dalam Majalah Tempo edisi
senin 08 November 2010 menceritakan tentang sosok Maridjan, seseorang yang diemban untuk menjadi juru
kuncen Merapi yang meninggal saat bertugas.
Kala itu, Merapi isinya memuntah dan membuat wilayah di kaki gunungnya terkena sasaran.
Tak terkecuali, kediaman seorang yang kerap dipanggil Mbah Maridjan.
Diceritakan lagi, sejak 1982 beliau diangkat
oleh Hamengku Buwono IX untuk menjadi juru kuncen untuk salahsatu gunung ber-api aktif yang ada di Indonesia itu. Mbah
Maridjan sendiri yang setia menjaga gunung Merapi tersebut hingga akhir
hayatnya. Ketika semua penduduk memilih mengevakuasikan diri untuk menghindari
letusan gunung, Mbah Maridjan tetap berdiri mendampingi sang Merapi.
Bak sahabat, Mbah Maridjan melakukan apapun untuk tetap bersama Merapi.
Meskipun mungkin beliau tahu, bahwa ia akan meninggal ketika awan panas atau
yang kerap disebut wedhus gembel turun dengan cepat menyambar wilayah-wilayah tersebut.
Mbah Maridjan dalam masa pemerintahan Hamengku
Buwono ke X, selalu menolak untuk dievakuasi, ia percaya bahwa Merapi tidak melakukan hal-hal
buruk kepadanya, sekalipun gunung itu meletus di tahun 2006. Beliau malah menyepi
di pelataran yang terletak di lereng gunung. Magisnya, beliau selamat tanpa
mengalami luka sedikitpun ditubuhnya.
Lalu, apa yang menarik? Goenawan menjelaskan dengan cara menarik di essainya tentang Sri Sultan
Hamengku Buwono ke X yang dalam pemikirannya, selalu bertentangan dengan jalan
pikiran sang juru kuncen, Mbah Maridjan. Sang raja ke sepuluh itu tidak terlalu
percaya dengan mitos-mitos yang dibawa merapi. Sedangkan Mbah Maridjan sendiri percaya
tentang adanya kosmologi. Ia meyakini, bahwa merapi bukanlah sebuah gunung
sebagaimana gunung yang lainnya. Merapi dan lingkungannya saling menjaga,
menciptakan suatu ekosistem mistik yang menghadirkan suatu keharmonisan alam yang mungkin, hanya
bisa dilihat oleh manusia-manusia yang peka terhadap lingkungan dan kepercayaan
terhadap ilmu-ilmu kosmo, seperti halnya Mbah Maridjan. Sedangkan Sri Sultan
Hamengku Buwono X sendiri telah melepaskan hal-hal tersebut.
Dimulai dari statement-nya yang mengatakan
bahwa upacara nyadran sebagai upacara untuk menyembah berhala. Dari
situlah, Mbah Maridjan mengetahui, bahwa ia tidak
sejalan lagi dengan raja kerajaan mataram tersebut.
Modernitas yang dialami sang raja dijelaskan
oleh Goenawan, seakan mempunyai relasi kuat dengan keadaan yang sekarang.
Dimana, modernitas masa kini membuat cabang
pemikirian, diantara satu atau dua jenis spesies yang sama, yaitu manusia.
Jika salah satu dari mereka tidak memahami apa itu toleransi. Hal tersebut mampu saja menghancurkan suatu
negara. Tidak ada yang namanya memajukan, namun justru menghancurkan peradaban. Modernitas memang
baik, tetapi ada beberapa hal yang membuat hal tersebut
menjadi negatif. Yaitu dengan cara menghapuskan nilai-nilai yang ada sejak masa lampau dan mencoba menentangnya. Contohnya
upacara nyadran.
Selain itu, Mbah Maridjan dalam pemerintahan
Hamengku ke IX, ia tidak pernah diperintahkan untuk
mengungsi. Seakan tau, sang raja percaya bahwa Mbah Maridjan dibutuhkan untuk menenangkan merapi. Berbeda dengan Hamengku X. Perbedaan tersebut yang mungkin disampaikan
Goenawan dalam essainya. Perbedaan itu menggambarkan keadaan Indonesia saat
ini, dimana setiap individu memiliki perbedaan dalam pemikirannya. Namun hanya
sedikit yang memahami dan menghormati keadaan. Sebagian
masyarakat yang tidak toleran bisa saja memicu perang dingin antar sesama
hingga kericuhan menjadi besar. Perbedaan tersebut bisa dalam
bentuk keyakinan dalam beragama, kebudayaan, pengetahuan, kegemaran, dll.
Artinya, salah satu yang dilahirkan dari
modernitas adalah perbedaan. Setiap hal pasti memunculkan yang namanya
perbedaan. Goenawan dengan halus namun mampu membuat artinya tajam mengaitkan
kedua hal tersebut. Goenawan juga mampu mengajak semua elemen masyarakat untuk
bisa memaklumi perbedaan tersebut. Contoh yang dibuat oleh Goenawan dalam essainy
juga masuk akal. Tidak terlalu sulit untuk dinalarkan. Tentunya, cocok bagi kita
untuk bercermin satu sama lain.
Seharusnya semua orang harus bersikap toleran terhadap
berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Tidak memandang rendah individu atau
komunitas tertentu, meskipun jalan mereka tidak sama
dengan kita. Jika kita tidak bisa memaklumi apa itu toleransi, lalu buat apa
semboyan Mpu Tantular berbunyu Bhinekka
Tunggal Ika? yang lahir atas dasar bermacam-macam pola pikir
manusia. Yang dipahami kemudian dicatat dalam kitab Sutasoma, lalu semboyan itu dikenalkan dan diajarkan oleh
generasi muda bangsa sejak dari belia sampai sekarang.
Salah satu cara untuk bisa men-toleransi
perbedaan yang dimunculkan oleh modernitas adalah saling pengertian. Tidak ada
suatu hal yang mempunyai sisi positif saja. Semua pasti ada keburukannya. Jika
kita saling mengerti akan adanya kedua sisi tersebut, maka tidak akan ada namanya
pertengkaran. Meskipun Hamengku X mempunyai banyak perbedaan dengan Mbah
Maridjan dalam hal pola pikir, Hamengku X tidak pernah membesar-besarkan soal terhadap si-Mbah. Setidaknya, beliau cukup bisa menghormati keputusan Maridjan.
Korelasi yang relevan atas kasus Mbah Maridjan dan Hamengku X sangat mengagumkan. Oleh Goenawan,
pembaca diajak untuk lebih peka pada lingkungan
sekitar, entah itu alamnya, manusianya, hingga hal-hal yang tak masuk akal.
Semua adalah ciptaan Tuhan. Ciptaan Tuhan tidak ada yang pernah salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi