Deni Puja Pranata. Penyair kelahiran Sumenep, Madura. Alumnus Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo Madura. Puisinya tergabung dalam antologi bersama “Memo untuk Presiden” 2014. “Jalan Bersama” Yayasan Panggung Melayu 2014. “Wakil Rakyat” 2013. Puisi bahasa Madura “JHIMAT” Disparbud Sumenep 2014. “Nyanyian Para Pecinta” 2015. “Memo Anti Terorisme” Forum Sastra Surakarta 2016. “Laut Kenangan” UKM Nanggala, 2017. Saat ini sedang hilir mudik Sumenep-Bangkalan, menyajikan dialog sastra, filsafat, kopi, dan gagasan-gagasan kebudayaan.
TERKAPAR DARI SEBERKAS PUISI YANG MEMBUNUH
luka mendekamku
laharnya menggumpal menggerayangi darah
luka memasungku
jelma keringat tubuh menjerit
darahku api dan keringatku air
kini tiba oktober yang ke sepuluh
ingatanku kembali meleleh
melepas kebisingan dengan tuak
yang membawaku pada jalan yang lebih gelap
semangatku tersayat, pada kabar yang kau kirim
dari bibir angin yang jatuh di lubang telinga
dulu, aku ingin mengukur bintang
agar sesuatu itu tak pernah runtuh
setiap berkali kali ulang kau berucap
darahku api dan keringatku air
diberingin tua terpahat namamu bergurat oktober
ratapan kepedihan menunggu kematian
dengan dupa dan kemenyan kau bacakan ritual kematian
kau bingkis upacara dengan bunga bunga melati
tersusun rapi menjadi hiasan kalung dilerhermu
oktober yang kesepuluh kau membunuh dengan puisi
akupun bersimpuh dengan tangisku sendiri
darahku api dan keringatku air
Madura 10 0ktober 2013
laharnya menggumpal menggerayangi darah
luka memasungku
jelma keringat tubuh menjerit
darahku api dan keringatku air
kini tiba oktober yang ke sepuluh
ingatanku kembali meleleh
melepas kebisingan dengan tuak
yang membawaku pada jalan yang lebih gelap
semangatku tersayat, pada kabar yang kau kirim
dari bibir angin yang jatuh di lubang telinga
dulu, aku ingin mengukur bintang
agar sesuatu itu tak pernah runtuh
setiap berkali kali ulang kau berucap
darahku api dan keringatku air
diberingin tua terpahat namamu bergurat oktober
ratapan kepedihan menunggu kematian
dengan dupa dan kemenyan kau bacakan ritual kematian
kau bingkis upacara dengan bunga bunga melati
tersusun rapi menjadi hiasan kalung dilerhermu
oktober yang kesepuluh kau membunuh dengan puisi
akupun bersimpuh dengan tangisku sendiri
darahku api dan keringatku air
Madura 10 0ktober 2013
Jangan Didik
Aku Menjadi Pemberontak
Jangan didik
aku menjadi pemberontak
sebelum aku
bakar kibasan debu dari lantai
batu-batu
telah kusiram demi cuaca
jika kelak
aku membangkang, itulah
tanda-tanda
dimana ledakan kata
di
sembunyikan. Setelah kau memaksaku
untuk
mengejar matahari yang tak
sanggup ku
capai, di situ juga letak
kemarahan
Tuhan
Jangan didik
aku menjadi pemberontak
sebelum aku
akan segalanya menguasaimu
dalam
rindumu, dalam gelisahmu juga risaumu
adakah yang
engkau ingat saat jatuh di lubang
yang jauh
dari pemukiman? Aaaaaaah… Aku
masih punya
Tuhan yang lebih dari segalanya
Jangan didik
aku menjadi pemberontak
sebelum
segalanya meledak.
Bangkalan
Madura 2014
Aku
Ingin Kawini Seribu Pelacur
Permohonan
pada seribu penghulu
kawinkan
aku dengan seribu pelacur
tanpa
janur di sebelah pintu, bukan
di
wisma juga bukan di lokalisasi
Berikan
aku pulau yang sepi dan
setiap
petak tanahnya akan kutanam
kuil,
masjid, gereja, wihara, klenteng
di
mana kelak, setiap anak anakku
berlayar
menyusuri lautan dan tak lagi
mengenal
kemacetan serta bising knalpot
Sepanjang
rel tanpa lintasan kereta
aku
mengeja namamu dengan cemas
saat
setelah ribuan demonstran
memblokir
jalan menuntut naiknya BBM
Di
lokasari, kramat tunggak, pulau bunder,
pelak
pelak, pasar kembang, dolly dan jarak
apa
kau dengar berita televisi menelanjangimu?
Aku
ingin kawini seribu pelacur
yang
vaginanya adalah air mata
Madura 2014
Namamu
Bukan di Sungai dan di Tanah
Telah
kutenggelamkan namamu di deras sungai
bersama
sepi dari sepotong sisa amis kenangan
biar
arus jeram menyeret namamu ke hulu-hulu
tanpa
tepian. Dari segala waktu yang ada, debur
arus
sungai membentur batu-batu ribuan tahun
yang
mengendap dan dimuntahkanlah namamu
ke
cerobong ingatan. Namamu tak diterima sungai
Lalu aku bakar namamu bersama reranting sayup
yang berserak di halaman. Abunya aku tabur diatas
tanah basah dekat pepohonan pisang, januari, beberapa
hari kemudian, pohon pisang tumbuh, dan lembaran-
lembaran daunnya ada ejaan bertuliskan namamu
Tanah dan sungai adalah saksi dimana jalan namamu
bukan di sungai atau di tanah, namamu untuk aku telan
dengan gerobak puisi untuk menjadi abadi, lalu kurajam
namamu dengan bongkahan besi yang menimbun namamu
dalam hati. Namamu bukan di sungai dan di tanah tanah.
Madura 2014
Aku Yang
Tidak Pernah Jatuh
Cinta
Aku
yang tidak pernah jatuh cinta
dendang
pagi dari hitungan telapak jari
aku
yang tidak pernah jatuh cinta
dari
kemurungan hari kusam dan sepi
aku
yang tidak pernah jatuh cinta
pada
teror dan perang tayangan televisi
Dan
balada hutan kota ceritakan
air
laut pasang dengan darah, karena setiap
kuncup
bulan diterangi kilauan cahaya rudal
anak-anakpun
hanya bisa meratapi kambing
yang
digembalanya menjilat pasir, sebab,
ledakan
menjadikan rumput coklat kering
Dari
himpitan memori yang ia jumpai
disetiap
detak saat pesawat tempur
berjarak
seratus kaki dari rumah huniannya
dentuman
peluru, kelumpuhan kota, tak ada hari raya
air matanya yang terbatas
daging kulitnya yang tak kebal jarum suntik
dan berikanlah aku segala cinta yang tak pernah patah
Bangkalan 21 Juli 2014
Surga
Terbakar
laut ajalmu hempaskan rembulan
berasapkan perih dari rerumputan
kering dan tumpukan sampah
meringkas perjalanan menuju
kembali
kedap api berarak pergi
melambaikan asap pada daun
pesankan jika daun layu melepuh
isyaratkan ada yang luka
kita punguti serpihan pada hari
diam, karna asap ada yang perih
dan daun layu yang melepuh
adalah tanda lukaku
pesta malam, aroma sengat
keringat
wanita telanjang membuka-buka
tutup botol bir
surgapun terbakar dengan perayaan
darah vagina
dilumuri berbotol-botol bir tanpa
api
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi