Oleh: Bung Sokran
“Hei bung Sokran!!! Lihatlah pacarku! Cantik kan, kaya dan berpendidikan tinggi pula. Kapan kau akan mengakhiri masa jomblomu?!” Congkak Sidrun sambil meletakkan tangan kanannya dengan mesra di pundak Zainab kekasihnya.
Sokran-pun menjawabnya dengan tertawa kemudian senyum sinis “Sidrun.., Sidrun..., kau itu, ada-ada saja. Bukankah baru kemarin kita nongkrong ngobrolin persoalan Kapitalisme. Lah kok malah kamu yang jadi kapitalis, wes weees...”
*****
Dialog singkat di
atas, menjadi prapengantar dalam diskusi kali ini. Pada kesempatan sekarang,
khalayak yang suka ataupun terbiasa ngopi, nongkrong, dan meet-up, ataupun
bermajelis hingga berlarut-larut malam, setiap sendi-sendi lisan selalu bermula
dari olah pikir anda sebagai insan yang berakal.
Jadi, khusus kalian "khalayak" yang suka berdiskusi dalam lingkar mesra tongkrongan dan pernah mendengar atau bahkan mendiskusikan ikhwal kapitalisme, bahkan juga tidak jarang negara-negara barat, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Belanda ataupun negara sekutu lainnya, sering kalian rasani (gosip) serta su'udzon-i (buruk sangka) karena aku, dia, anda dan kalian, baik perorangan ataupun kelompok (Bangsa Indonesia) pernah juga sedang menjadi korban beringas murka kekapitalisannya.
Setelah pra-pengantar dan pengantar sudah disuguhkan kepada khalayak. Maka perlu kiranya kita ketahui entry point-nya terlebih dahulu akan ikhwal diatas. Pertama; Pelaku kapitalisme yang melakukan eksploitasi tersebut disebut kapitalis. Kedua; Korban kapitalisme itu adalah pribadi ataupun kelompok yang dieksploitasi, didiskriminasi, diintimidasi, didiskreditkan ataupun serasa dan sesifatnya. Ketiga: Untuk menjadi kapitalis maka harus memiliki modal, atau apapun itu jenisnya, yang jelas orienting function-nya eksploitatif.
Terkhusus pada poin ketiga, khalayak perlu menangkap dengan penghayatan berupa meletakkan keadaan mental senyaman mungkin. Boleh sambil menyeruput secangkir kopi. Boleh juga disandingkan dengan menghisap lintingan tembakau sambil menghirupnya, agar lebih nyaman dan tenang, meski untuk menjadi seorang kapitalis harus memiliki modal. Namun tidak semua pemilik modal adalah kapitalis kita harus mengerti tentang hal itu. Jika masih belum paham, saya mengizinkan khalayak untuk menyeruput dan mengisapnya secara berulang-ulang hingga nyaman, tenang, dan berujung paham.
*****
Sidrun, mempunyai pacar yang
cantik bernama Zainab, kaya dan berpendidikan tinggi. Nah, Zainab itulah modal
Sidrun dalam hal pacaran. Jadi, hadirnya Zainab pada pangkuan sebagai pacar
Sidrun, memiliki potensi untuk mengantarkan Sidrun pada maqom kapitalis.
Jika dimensi pada modal yang dimilikinya mengantarkan pada sikap ekploitatif
pada kejombloan Sokran, entah berupa pendiskreditan ataupun pendiskriminasian, no
problem, yang penting ujung rambut hingga ujung jari kaki Sokran dibuat
kaku, dingin dan tak berkutik atas sikap Sidrun. Namun jika tidak demikian atau
Sokran tetap gagah, tangguh, dan tenang. Maka ia telah menyelamatkan Sidrun
dari jurang gelar, predikat ataupun maqom seorang kapitalis,
yang sekaligus terselamatkan diri dari jebakan bakal calon korban kapitalisme
Sidrun.
Begitupun jika ilmu yang dijawantahkan dalam tulisan ini justru menghalangi anda khalayak untuk berpikir, ber-ijtihad, berpendapat atau bahkan bermuslihat, minimal tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. Maka saya adalah kapitalis “Diskusi” yang mengeksploitasi anda. Dari itu selamatkanlah saya, agar tidak disandingkan ataupun tersandingkan status sebagai kapitalis. Caranya cukup sederhana bahkan sangat sederhana sekali. Anda berpikirlah, berpendapatlah, syukur-syukur komentarlah bahwa anda tidak setuju. Jika tidak! Minimal mbatin-lah bahwa anda setuju dengan pendapatku.
Jika anda masih sulit
untuk menyerapnya, sekarang kaitkan saja dengan kebiasaan kita ketika
berdiskusi. Orang yang suka berdiskusi pasti mempunyai modal. Bisa ilmu yang
banyak atau bisa juga modalnya adalah indera pendengaran yang kuat dan stabil.
Satu diantara keduanya pasti anda miliki sebagai modal Diskutor (Nama ringan
lain dari manusia yang suka berdiskusi). Jika ada di antara Diskutor yang
mendominasi dengan cara menghalang-halangi ataupun tidak memberikan kesempatan
kepada Diskutor lainnya untuk berpendapat. Maka modal ilmu yang dimiliki oleh
Diskutor dominan dari pada yang lain, tuntu bersifat kapitalis.
Nah, untuk menyelamatkan itu anda harus meresponnya, agar ada dialog interaktif tanpa dominasi. Jika tidak ikutilah saran ini, pejamkan mata, mbatin bahwa anda tidak setuju, kemudian ambil dompet dan bayarlah apa yang sudah anda pesan. Setelah itu, berjabat tangan dan pulang atau cari tempat tongkrongan lain.
Selamatlah anda (boleh: kalian) dari jurang dinamika eksploitasi. Serta, anda dan kawan-kawan sekalian yang memutuskan mem-mbatin dan pulang, telah berhasil menyelamatkan Diskutor dominan dari jurang gelar status kapitalis. Jelas sudah, maslahat kan?! Simple kan?
Tapi khalayak perlu mengingat, menyimpan tetapi janganlah terlalu dalam. Anda harus segara mencari dan menabung modal berupa ilmu. Sebab modal ilmu akan menjadi perahu jika berlayar, menjadi pedal jika mengayuh sepeda, menjadi sandal atau sepatu jika berjalan untuk menyelamatkan diri dari lingkar jurang kapitalisme, jika modal itu mampu menyempurnakan pengetahuan kita sebelumnya. Minimal, untuk pribadi sendiri. Dari yang hanya mengetahui bakso itu bulat, menuju pengetahuan bahwa bakso itu bulat, terbuat dari tepung dan terdapat daging sapi serta terasa lebih nikmat saat dilumuri sambal tomat, kemudian halal karena dibuat dan dibeli dengan uang ataupun bahan halal, hingga makan bakso-pun mampu meningkatkan ketaqwaan.
Kira-kira begitulah obrolan lembar Ilmukali ini. semoga anda yakin, tangguh ataupun lantang untuk meragu-ragukannya. Sebab dengan demikian, khalayak akan kembali mengingat pelajaran Madrasah Ibtidaiyah (setara SD) dan membuka kitab Taisirul Kholaq tentang bab belajar ataupun menjadi pelajar. Wallahu a’lam bish showab.
Bangkalan, 08 November 2017 (02.09 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi