Oleh: Melynda Kristina
Mahasiswa: Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
Jurusan: Sastra Inggris
Semester: VI
‘Suara nyaring dari sebuah gramofon lawas terdengar
sendu diseluruh ruangan’
But I am a creep, I am a weirdo
What the hell am I doing here ?
I don’t belong here....
Duduk
diatas sebuah sofa di dekat jendela apartement pribadi dengan segelas yang
tertuang martini diiringi lagu legend dari radiohead adalah sesuatu yang selalu
aku lakukan dikala senja tiba. Lagu ini selalu mengingatkanku tentang segala
hal buruk yang telah terjadi didalam diriku yang selalu membuatku berfikir
bahwa aku tak seharusnya berada disini. Aku larut dalam diam hingga seseorang diluar
sana menekan tombol bel, akupun dengan sekejap tersadar dari lamunan dan
berjalan menuju sudut pintu untuk melihat siapa yang datang. Aku sedikit
terkejut dengan kehadiran sang kekasih pujaan hatiku yang kadang membuatku
merasa sangat tidak nyaman berada disampingnya.
“Woiii...
Jill, kekasihmu berada didepanmu, tapi kau tak mau memeluknya? Sentak Gio”
Dengan
kaget aku langsung memeluknya dalam diam, begitu kasarnya diapun langsung
melepas pelukanku dan masuk kedalam apartment untuk mencari sesuatu yang sudah
pasti itu adalah bir. Ya memang aku telah membeli banyak jenis bir yang selalu
aku taruh disebuah almari khusus hingga penuh mulai dari vodka, martini,
brandy, whisky, scotch dan terlalu banyak hingga aku tak mampu untuk menghafalnya,
walau aku adalah seorang pecandu bir. Entah sejak kapan aku berani
mendeklarasikan diriku sebagai pecandu bir, hingga aku tak mampu lepas darinya.
Dia sudah mendarah daging ditubuhku.
“Mengapa
kau begitu lama untuk memilih bir Gi?”
tanyaku pelan.
“Aku
tidak sedang mencari bir Jil” jawab Gio.
“Lantas,
apa yang sedang kau cari Gi?’ tanyaku sekali lagi dengan penasaran.
“Sudahlah!
diamlah kau disitu Ji, jangan banyak bertanya!” jawab Gio dengan nada yang
sangat tinggi.
Aku
langsung diam seribu bahasa dan beranjak pergi e sofa tempat dimana aku
menghabiskan senjaku bersama sang martini. Itulah Gio, walau aku adalah kekasih
yang selalu dia cintai “katanya”, tapi perlakuan yang buruk dan bentakkan
selalu dilontarkan kepadaku setiap aku berada disisinya. Hal yang sangat
mustahil jika Gio bersikap manis kepadaku atau hanya ketika dia sedang
menginginkan tubuhku untuk memuaskannya. Kita memang belum melakukan
pernikahan, tapi kita sudah sering melakukan hubungan layak suami istri, ini
adalah hal yang sangat wajar terjadi di kota besar tempat aku tinggal.
Bagaimanapun Gio, aku tetap mencintai dia walau kadang aku ingin lepas dari
pelukannya.
“Jill..
apa kau mau ikut denganku?” tanya kekasihku yang membuatku terkejut.
“Kemana
sayang?” jawabku dengan senyum manis.
“Ke
sebuah bar dipusat kota Ji. Kalau kamu mau ikut, cepat ganti pakaianmu!” jelas
Gio.
Tanpa
menjawab pertanyaannya aku langsung bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar
untuk mengganti pakaianku. Gio pun keluar apartment dan menungguku di lobby,
dengan sekaleng bir yang dia ambil dari almari birku. Dengan cepat aku bergegas
dan siap-siap agar Gio tidak terlalu lama menungguku, karena itu akan membuatku
mendapatkan malapetaka ketika dia sedang marah karena aku yang terlalu lama
berdandan. Kurang lebih sepuluh menit, aku langsung keluar kamar menuju lobby
lantai dasar. Aku memasuki lift dari lantai 25, dan aku melihat seseorang yang
sangat tak asing di kepalaku, kita saling memandang dalam diam dan otakku tak
berhenti mencari jawaban siapa orang yang sedang disampingku ini. Belum sampai
aku menemukan jawaban siapa orang itu, lift pun sudah sampai dilantai dasar,
aku keluar dan melihat Gio sudah melambaikan tangan kepadaku. Kamipun langsung
menuju tempat parkir dan pergi menuju
bar.
“Sayang..
gila ya Jakarta macet parah! Yang seharusnya bisa ditempuh 30 menit ini 2 jam
belum juga sampai tempatnya !” kataku sedikit kesal karena macetnya kota jakarta
yang selalu membuatku berfikir untuk kembali ke kota kecilku kala itu.
“Bentar
lagi sampai bar kok cil” kata dia dengan panggilan sayang yang selalu dia
lontarkan untukku (kecil).
“Nah..
itu dia barnya cil, cepet turun gih cil. Udah ditunggu temen nih.” Lanjutnya.
Sambil
menoleh ke arah bar yang ditunjuk oleh Gio, aku sepertinya sangat mengenal bar
ini. Tapi seingatku selama aku berada di Jakarta, baru kali ini aku
menginjakkan kakiku disini, entahlah mungkin aku yang lupa. Bar itu bernama “La
Vue Roftop Bar” yang terletak diatap sebuah hotel di sudut kota Jakarta. Akupun
turun dari mobil dan kami segera pergi menuju bar untuk mencari teman Gio. Entah
siapa yang ingin Gio temui, aku tidak terlalu peduli akan hal itu aku hanya
fokus ke setiap detail tempat itu, tempat yang tidak asing sangat tidak asing
tapi aku tak mampu mengingat tempat itu dengan tepat. Seseorang disudut bar
melambai ke arah kita, Gio pun segera menarik tanganku dengan sedikit kasar
agar kita segera sampai di tempat sudut cafe.
“Sorry
ya baru dateng, biasalah namanya juga Jakarta macetnya parah banget.” Kata Gio
kepada temannya.
“Iya
gapapa kok Gi, santai aja. Aku juga baru sampai sini kok.” tangkas temannya.
“Ji,
kenalin ini Dimas temanku waktu kecil. Dia baru balik dari Brasil.” Kata Gio
padaku sambil menunjuk temannya.
Akupun
langsung menydorkan tangan kananku untuk berjabat tangan sambil memperkenalkan
diriku” Hai..Aku Jian, salam kenal ya.” Kataku sedikit kaku didampingi dengan
senyum sedikit kupaksa.
Dimas
pun langsung meraih tanganku dengan senyumannya yang membentuk lubang dikedua
pipinya sembari berkata “Hai Ji, aku Dimas”.
Aku
dan Dimas tetap dalam posisiku berjabat tangan sambil diam dalam tatap.
Tiba-tiba suara bernada keras terlontardari mulut Gio “Woy! Lama banget jabat
tangannya” sambil diiring suara tawa terbahak-bahak yang diikuti aku dan Dimas.
Aku
dan Gio dipersilahkan duduk oleh Dimas, aku terdiam dengan kedua bola mataku
tak bisa diam disatu arah melihat seisi bar sambil mengingat-ingat kenangan bar
ini yang tak kunjung ku temukan. Aku memang pelupa atau bisa disebut pikun
dini, ya sejak kecil daya ingatku memang dibawah rata-rata yang membuatku
sangat sulit untuk mengiat apapun sekalipun itu hanya sebuah hal yang sepele.
Gio dan Dimas asyik bercerita mengenang masalalu mereka berdua ketika masih
kecil. Aku tidak terlalu mendengrakan cerita mereka, karena mereka tak
menghiraukanku seakan dunia milik mereka berdua dan aku hanyalah sebuah patung
yang tak terlihat.
Aku
berfikir untuk berkeliling di dalam bar dengan alasan pergi ke kamar mandi, dan
tetap mereka tak bergeming untuk melihatku pergi. Aku berjalan menyusuri setiap
langkah bar ini dengan sedikit ingatan terbesit di dalam kepalaku. Seorang
laki-laki berumur sekitar 30 tahun muncul di kepalaku, aku tidak tahu siapa dia
dan kenapa dia muncul dipikiranku. Semakin mencoba mengingat siapa dia, semakin
terasa berat isi kepalaku, dan aku memutuskan untuk berhenti mengingatnya. Dan
kembali ke tempat dimana Gio dan Dimas berada.
“Braaaakkkkkk!!”
suara pecahan gelas dari seorang pria paruh baya yang tidak sengaja aku
menabraknya.
Dengan
rasa takut akan amarah si pria tersebut, aku dengan cepat melontarkan
permintaan maafku, “Maaf pak, saya benar-benar tidak sengaja”. Dengan kepala
tertunduk.
“Bukan
sepenuhnya kesalahan kamu, tenang saja.” Kata si pria itu dengan nada yang
lembut.
Belum
sampai aku membalas rasa terimakasihku, seorang wanita berusia 30 tahunan di
belakangku langsung menyambar dengan nada yang sedikit keras, “Hei, apa kau tak
pakai matamu untuk melihat?, Apa kau tau siapa yang kamu tabrak? Dia adalah owner
hotel dan bar ini!” bentaknya dibelakangku, sambil ku sedikit melirik kearahnya
yang sibuk meminta maaf kepada si pria itu. Hal ini membuatku semakin merasa
bersalah dan terus ku lontarkan minta maaf berkali-kali kepada pria itu. Hingga
akhirya dia mengijinkan ku pergi agar masalah ini tidak diperpanjang oleh
manajer yang telah membentakku tanpa tau kejadian yang sebenarnya. Sedikit
menyesal dan banyak amarah, aku kembali dengan kepala tertunduk tanpa melihat
wajah si pria separuh baya itu.
Gio
tetap sama, sibuk dengan dunia masalalunya bersama Dimas temannya. Aku meminta
kepada Gio untuk segera kembali pulang, aku tak mau terlalu lama disini. Aku
mulai cemas dan takut akan tempat ini. “Bawa aku pergi dari tempat ini
Gi!”pintaku dengan nada agak tinggi.
Gio
dengan sigap dan terkejut menolehkan pandangan sinisnya kepadaku, sambil
melontarkan makian yang terlalu kasar bagiku “Kau gadis jalang! Apa kau tidak
lihat aku sedang menghabiskan waktuku untuk mengenang masa laluku bersama
sahabat kecilku? Kalau kau ingin pulang, pulanglah sendiri, jangan kau bermanja
seperti bocah!”.
Aku
terdiam, aku menatap kedua bola matanya, dan akupun pergi dalam sunyi. Aku
tidak menangis, aku sudah tidak punya air mata dan aku sudah lupa kapan
terakhir kali aku mengeluarkan air mata. Sekejam apapun perlakuan dan perkataan
Gio yang dilontarkan kepadaku, aku hanya hanya bisa menelannya dalam pikiranku.
Aku sudah kebal dengan semua itu, hidupku terlalu sesak jika harus memikirkan
perkataan si laki-laki tak tau diri itu tapi hatiku tak dapat berpaling
darinya. Akupun memutuskan untyk kembali ke apartment dengan taksi.
Sesampai
di apartment, aku melepaskan semua pakaianku tanpa tersisa satu helai kain lalu
aku berjalan menuju sebuah ranjang untukku merebahkan tubuhku. Sebenarnya ingin
sekali aku menutup mataku ini, tapi bayangan laki-laki itu muncul lagi kali ini
dia bersama papa dan mamaku disebuah ruangan, terus muncul dan muncul hingga
membuat kepaku terasa sangat berat dan tak mampu manahannya lagi. Segera aku
memejamkan kedua bola mataku, tapi belum sampai aku menutupnya, ponselku
berdiring menandakan adanya panggilan sekilas aku melihat itu Gio, lalu aku
tolak panggilan itu dan aku matikan ponselku. Kali ini aku ingin sendiri,
ijinkan aku menikmati tidurku bersama dengan ranjang dan tubuhku yang tanpa
berbusan.
“Aaahhh...
kepalaku terasa berat sekali?” gumamku pada diriku sendiri.
Baru
ingat kalau semalam aku menghabiskan sebotol vodka dalam waktu kurang dari 15
menit, ah bodoh sekali aku ini. Baru saja aku menyalakan ponselku, sudah ada 50
kali panggilan dan 100 pesan dari Gio yang isinya permintaan maaf yang berakhir
makian. Aku tidak membalas satu pesanpun dari dia. Aku malah asyik berselancar
di google mencari resep makanan yang cocok setelah mabuk, aku mendapatkannya. Aku
mulai menyiapkan semua bahan untuk membuat sup hangat agar tubuhku merasa lebih
baik setelah hangover karena bir, walau sedikit sempoyongan aku tetap bertekat
untuk memasak sup. Sambil sesekali aku teringat akan sesosok laki-laki paruh
baya itu. Entah siapa dan apa hubungannya dengan diriku. Aku ingin
mengingatnya, tetapi semakin aku mencoba untuk mengingatnya, semakin terasa
sakit kepala yang ku rasakan.
“Ting..tong...”
suara bel apartemenku berbunyi berkali kali.
Kali
ini aku sangat yakin kalau seseorang yang sedang berada dibalik pintu
apartementku itu adalah Gio. Aku sebenarnya enggan untuk membukanya, tapi bunyi
bel ini sungguh membuatku pusing. Kakiku melangkah ke arah pintu dan segera
membukanya. Berkali-kali aku selalu dikejutkan oleh ulah Gio, tapi kali ini
bukan Gio tapi Dimas sahabat kecil Gio. Apa yang sedang dia inginkan dan apa
yang sedang dia lakukan disini. Ini membuatku menjadi semakin tertekan. Aku
tidak mempersilahkan Dimas untuk masuk ke apartementku, karena jika Gio tau,
aku akan dibunuh olehnya.
“Eh
Dimas, ada apa ya dim ? Apa kamu sedang mencari Gio? dia tidak sedang berada
disini dim” kataku dengan sedikit senyuman.
Dia
tidak menjawab pertanyaanku, tetapi melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku “Apa
Kau Jian Sahara anak dari om Redy?”.
Bisa
aku pastikan bahwa kali ini dia benar-benar serius dengan pertanyaan itu. Aku
bingung untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku tak ingin mendengar nama
orang yang disebut oleh Dimas. “Apa kau kesini hanya untuk melontarkan
pertanyaan yang tidak berguna itu? Kalau kau tak ada urusan yang sangat
penting, lebih baik pergilah dari sini Dim” kataku.
“Bagimu
memag tidak penting Ji, tapi bagiku sangatlah penting! Jika kamu tidak ingin
memberitahuku, aku pastikan kalau aku akan mendapat jawaban itu sendiri!" tantangnya padaku.
Aku
hanya bisa menatap Dimas tanpa berbicara apapun dan membiarkan dia pergi dari
apartemenku. Dengan menyebut nama orang itu, membuatku semakin ingin memecahkan
kepalaku, aku sudah berusaha melupakan nama itu, tapi tetap saja ada seseoarang
yang membuatku mengingatnya. Tak ada secercah cahaya di dalam hidupku, semua
penuh dengan rasa amarah, dendam, penyesalan, dan kehancuran. Semua terasa
begitu buruk dan tak berguna didalam hidupku. Aku tiba-tiba teringat dengan sepucuk
surat yang tertempel di pintu apartemenku 5 tahun yang silam, aku tidak pernah
tau siapa seseorang yang berhasil membuat hidupku bertahan hanya dengan kata-kata
yang ditulis tangan dan ditempel dengan selotip hitam itu. Aku sangat ingat
betul kata-kata ajaib itu, dan selalu aku ucapkan dalam hati ketika aku dalam
keaadaan terpuruk seperti obat penanenang yang mengalir didalam diriku.
“Ketika banyak hal tumbuh dalam dirimu, beberapa hal harus belajar kau redam... lampu
sorot, tepuk tangan, pesawat terbang yang lepas landas, mobil yang hilang
diujung jalan, teman yang pudar dilingkaran, dan hal-hal yang sakit tapi tak berdarah”.
*****
“Ahh...
nyenyak banget tidurku semalam” gumamku sendiri dengan suara lemas dan
merentangkan tubuhku sambil sesekali menguap karena masih terlalu pagi aku
terbangun. Kemudian aku sengaja melihat ponselku, dan ternyata ada 89 pesan
messager dan 102 missed call dari Gio, ulah dia memang benar-benar diluar akal
sehat, takkan ada seseorang yang sanggup melakukan hal yang sama sperti Gio,
itulah yang aku suka dari dia yang selalu bertindak diluar akal sehat manusia
biasa.
“Astaga...
karena terlalu nyenyak aku tak terbangun karena ponselku berbunyi terus
selamaman. Aku harus segera menelepon balik si Gio, aku tau dia pasti akan
marah padaku”. Kataku dalam hati, sambil mencoba menelepon Gio, tapi nomor Gio
tidak aktif. Aku mecoba mengirim pesan padanya kalau semalam aku tertidur
karena sedang tidak enak badan, dan aku berfikir bahwa Gio pasti masih tertidur
pulas diranjangnya dengan memakai boxer berwarna abu-abu kesayangannya dan aku
membayangkan betapa sexynya kekasihku Gio.
Jam
sudah menunjukkan pukul 10:15, dan aku sudah siap untuk pergi keluar mencari
udara segar seorang diri, tanpa gangguan dari Gio. Aku berencana untuk pergi
menikmati secangkir kopi dan beberapa potong kue, aku pun bersiap untuk
berangkat dan kali ini aku tidak ingin mengendarai mobil karena aku tau Jakarta
selalu macet everytime. Aku berjalan menyusuri koridor hingga keluar dari
apartemen dan berkeliling entah kemana arah langka kakiku ingin berpijak,
hingga akhirnya aku memutuskan untuk sinngah disebuah cafe. Aku langsung saja
duduk dan memesan secangkir capucino latte dan beberapa potong kue, aku kali
ini memilih tempat duduk didekat jendela agar aku bisa leluasa mengamati
ssekelilingku. Suasana kafe saat itu masih sangat sepi karena baru saja buka,
dan aku merasa sangat damai berada ditempat itu hingga seseorang yang aku kenal
masuk kedalam kafe tempatku menikmati secangkir kopi, tetapi herannya semua
pegawai dikafe itu menyambutnya denga sebutan pak direktur. Oh jadi dia adalah
pimpinan dari kafe ini. Tak sempat aku menghabiskan kopi dan rotiku, aku
berusaha membayar semuanya kekasir tetapi Dimas mengetahui bahwa itu adalah
aku, dan ini membuatku semakin tak nyaman.
“Jil,
tetaplah disitu! Jangan menghindar dariku! Aku ingin tahu sebuah kebenaran yang
sesngguhnya!” pinta Dimas padaku sembari dia jalan mendekat ke arahku.
Aku
tak menjawab dan tetap pada posisiku berdiri didepan mbak-mbak kasir yang super
lemot, aku tak tahan dengan semua ini, dan aku memutuskan untuk pergi dengan
menaruh uang diatas meja kasir. Tetapi Dimas menarik tanganku hingga aku
tertarik dan berada didalam pelukannya, kami saling diam dan menatap selama
beberapa detik, hinnga Dimas sedikit mendekatkan bibirnya ditelingaku yang
membuatku geli dan dia berbisik bahwa dia telah mengetahui siapa aku
sebenarnya. Tentu saja mataku melotot dan terkejut mendengar ucapan Dimas itu.
Hatiku menjadi gelisah, rasa ketakutan itu mulai muncul, dan akhirnya aku
mendorong Dimas dengan sekuat tenaga hingga dia terjatuh di lantai, aku segera
lari dari tempat itu dan pulang ke apartemen dengan perasaan yang benar-benar
kacau.
“Kenapa
perasaan semacam ini muncul lagi setelah aku berhasil membuangnya jauh-jauh?
Apa tujuan dia mengingatkanku pada masa itu? Apa dia ingin menghancurkan
hidupku lebih hancur lagi?” tanyaku dalam hati sambil meminum satu botolbir
berjenis vodka.
Aku
berusaha untuk menenangkan diriku sembari merentangkan badan di sofa favoritku,
sambil sesekali meneguk vodka yang berada di genggamanku. Aku merasa sedikit
lebih tenang dengan meminum ini, namun tiba-tiba seseorang menekan tombol bel
pintu apartemenku berulang-ulang dan aku meyakini ini adalah Gio. Aku beranjak
dari sofa dan berjalan dengan sedikit rasa malas untuk membuka pintu. Benar
seorang lelaki dibalik pintu itu adalah Gio, dia menatapku dengan tatapan aneh
yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Dia hanya diam menatapku, dan kuberanikan
diri untuk bertanya kepadanya.
“Hai
sayang... Tumben kamu datang kesini?” tanyaku pelan sembari memberi senyuman
manis kepadanya.
Gio
tidak menjawab pertanyaanku dan dia tetap diam mematung dengan menatapku. Kali
ini tatapannya begitu menakutkan, bak
singa dengan tatapan dingin yang penuh gairah untuk menyantap mangsanya. Aku
bisa merasakan tatapan Gio yag berbeda dan sangat berbeda. Tanpa bicara satu
katapun dia menarikku masuk kedalam apatemen dan mengunci pintunya, aku merasa
sedikit gelisah dan takut akan sikap Gio yang seperti ini dia terlihat sangat
marah kepadaku tanpa ku ketahui kesalahan apa yang telah kuperbuat. Apakah
gara-gara semalam aku tidak menjawab dan membalas pesannya? Apakah dia sampai
semarah itu kepadaku? Aku tidak tahu, dan aku hanya pasrah tanpa memberontak
sedikitpun. Aku tidak pernah mengira kalau Gio akan melakukan hal semacam ini
kepadaku. Dia melemparkanku ke tembok hingga aku menatap tembok dan tubuhku
terjatuh dilantai dan dia membangkitkanku dan melemparkanku lagi ke tembok
hinga berulang kali. Dia belum merasa puas dengan melemparkanku ke tembok, dia
kedua pipiku hingga terasa begitu panas. Terakhir dia melemparkan aku kesofa
hingga kepalaku terbentur kaca di dekat sofa. Kini tubuhku penuh memar dan
sedikit berdarah diujung bibirku tetapi tidak melawan dia sedikitpun dan aku
tidak mengeluarkan air mata setetespun apalagi berteriak meminta ampun kepada
Gio. Aku menikmati setiap sentuhan kasar yang dia lakukan pada tubuhku walaupun
aku tahu ini bukan sentuhan cinta namun ini adalah kekerasan yang dilakukan Gio
dan itu sangat menyakitkan, namun aku menyukai semua ini.
“Apa
kau merasa sakit?” tanya Gio padaku.
Bukannya
menjawab, tetapi aku tertawa keras sekeras-kerasnya
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.......”.
“Mengapa
kau tertawa? Apa kau sudah tak waras!” kata Gio.
“Sebenarnya
apa tujuanmu melakukan semua ini Gi?” tanyaku dengan sedikit tertawa.
“Aku
ingin melihatmu terluka dan menangis Ji!” jawab Gio
“Apa
hanya itu ? hahaha...” tanyaku tertawa keras hingga membuat Gio semakin marah
dan kembali menampar kedua pipiku, dan kali ini dia juga menampar bibirku
dengan sebuah buku tebal setebal kamus oxford di meja samping sofa.
“Apa
kau pikir aku akan menangis dan merasa dilecehkan dengan semua yang telah kau
lakukan kepadaku ini Gi? Hahaha... Kamu salah Gi, aku justru menikmati semua
yang telah kau lakukan kepadaku ini, membuatku semakin bergairah, rawr....
Hahahah....
“Lebih
baik kau pegi dari sini Gi, aku tak ingin melimpahkan gairahku padamu saat ini!”
timpalku.
Giopun
tidak menolak permintaanku dan dia akhirnya pergi keluar dari apartemenku.
Sejujurnya, luka-luka ini sangat menyakitkan namun aku tak ingin terlihat lemah
di depan Gio. aku sudah sangat menderita di masa lalu, dan aku tidak ingin
terlihat lemah didepannya. Kembali berbaring di sofa dengan rasa sakit dan
meneguk sebotol vodka yang tadi belum habis aku minum. Aku terhanyut dalam
lamunan dan memikirkan semua hal yang telah terjadi di dalam hidupku,
mengingatkanku pada beberapa sosok orang yang ada di dalam pikiranku dan aku
sedikit teringat siapa seseorang yang selama ini aku cari jawabannya. Aku tetap
melamun dengan diiringi sebuah lagu dari Scorpion-Born to Touch Your Feeling,
yang menjadi salah satu lagu favoritku ketika aku tinggal di Lisbon (salah satu
kota Di Portugal) 8 tahun yang lalu ketika aku duduk di bangku smp. Aku
terhanyut dalam lantunan lagu ini hingga aku tertidur pulas seperti tanpa beban
diatas sofa.
Langit
tampak begitu gelap diselimuti awan-awan hitam yang bersiap menjatuhkan
butiran-butiran air ke bumi dan jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul 10
malam. Aku membuka mataku dan seketika tertuju ke jendela kaca apartemenku,
pemandangan yang begitu indah dengan butiran-butiran air hujan yang tertempel
rapi di dinding kaca. Tak ingin melewatkan momen langkah ini, aku segera
mengambil sebotol bir di lemari dan segera kembali duduk disofa sambil
menikmati setiap butiran air hujan tertempel di kaca dan terjatuh perlahan.
Andai saja aku adalah bagian dari tetesan air hujan itu, aku tak akan merasakan
rasa sakit yang berulang kali.
“Tingtong.....”
suara bel berbunyi
“Apakah
dia adalah Gio? Aku enggan sekali menatap wajahnya.” kataku pada diri sendiri.
Tiba-tiba
ponselku berdering, ada sebuah panggilan telefon dari nomor asing. Sebenarnya
aku enggan untuk mengangkatnya, tetapi ini sudah panggilan yang ke 10, dan
akhirnya akupun mengangkatnya.
“Hallo,
maaf dengan siapa?” tanyaku
“Ji,
ini aku Dimas. Tolong bukain pintunya ya aku ingin mengatakan sesuatu yang
sangat penting. Sekali saja Ji, mohon.” Pintanya padaku.
“Baiklah,
tunggu sebentar.” Jawabku dengan terpaksa.
Setelah
aku membuka pintu, dan ternyata benar Dimas datang seorang diri ke apartemenku.
Dia menatapku dengan sendu dan penuh rasa iba. Aku lantas mengalihkan pandangan
dia da segera menyuruhnya untuk masuk dan duduk sembari aku mengambil satu
kaleng bir heinemann yang kutaruh di meja. Dia terus menatapku dalam bisu, dan
sesekali melihatku dari atas sampai bawah.
“Ji...”
panggilnya dengan lembut.
“Hmm...
iya Dim, gimana? Kataku padanya.
“Gio
yang melakukan semua ini Ji?” tanyanya lagi.
Aku
enggan menjawabnya, tapi aku menimpalnya dengan pertanyaan agar dia teralihkan
dari pertanyaan yang tidak akan pernah aku jawab.
“Apa
yang mau kau sampaikan kepadaku Dim?” tanyaku dengan santai.
Dimas
tidak menjawab pertanyaanku, tapi dia bangkit dari sofa secara perlahan dan
memelukku dengan perasaan iba. Aku memberontak berusaha melepaskan pelukannya,
tapi apa daya tubuhnya begitu kuat sehingga aku tak mampu melepasnya. Dia tidak
hanya memelukku, tetapi dia juga mengusap lembut rambutku yang tak pernah
dilakukan oleh siapapun kepadaku, apalagi Gio. Dimas mampu membiusku dengan
aroma parfum yang kucium dari bajunya, aku bersandar dalam pelukannya yang
begitu tenang buatku.
“Sini
Ji, biar aku obati lukamu itu” katanya sambil melepaskan pelukannya dengan
lembut dan menuntunku untuk duduk di sofa.
“Tidak
perlu Dim, nggak sakit kok” kataku dengan singkat.
“Ji...ku
mohon.” Pintanya memelas.
“Dim.
I am okay. I can hadle it by myself. Don’t worry.” Kataku dengan memberinya
senyuman agar dia percaya denganku.
“Baiklah,
aku tidak bisa memaksamu. Tapi aku mohon, yang satu ini jawab pertanyaanku
dengan jujur Ji. Aku hanya ingin membantumu.” Pintanya padaku.
“Baiklah,
aku berusaha Dim.” Jawabku singkat.
“Aku
tau kamu adalah anak dari om Redy, dan aku ingin tau mengapa kau meninggalkan
om Redy sendiri dan memilih pindah ke Jakarta Ji?
“Aku
tidak bisa mengatakan kepadamu Dim, nama itu sungguh membuatku muat!” bentakku
padanya.
“Tapi
kamu berjanji untuk menjawabnya Ji.
Ayahmu sedang sekarat Ji, ku mohon kembalilah ke ayahmu Ji.” Kata Dimas dengan
memegang kedua tanganku.
“Apa
hubungannya si dia dengan dirimu Dim? Sampai kau begitu peduli dengan dia?’
tanyaku penasaran.
“Sebenarnya,
om Redy adalah teman baik ayahku sejak kecil Ji. Mereka sama-sama hidup di Lisbon,
sebelum akhirnya pindah ke Jakarta dan aku ke Brasil. Apa kau ingat kafe tempat
kita bertemu saat kau dengan Gio? Itu adalah kafe milik papaku Ji, dan semasa
kecil kita juga pernah bertemu disana Ji. Apa kau mengingatnya?” jelas Dimas
padaku.
“Lebih
baik sekarang kau pergi Dim! Dan katanya pada dia, bahwa aku tidak akan pernah
memaafkan atau bahkan bertemu dengan dia! Cepat pergi!!!” bentakku padanya dan
menyuruhnya untuk segera mengangkat kaki dari apartemenku. Aku sudah terlalu
muak dengan penjelasan Dimas.
Kali
ini aku merasa begitu lemah aku tertunduk lemas dan seketika air mataku
menagalir deras dipipi. Aku tidak menangis laki-laki yang sekarat itu, tetapi
aku teringat dengan semua yang telah dia lakukan kepadaku. Cacian, perlakuan
kasar, pelecehan sudah ku terima sejak aku masih kecil. Semua cambukan kini
kembali teringat betapa sakit dan perihnya luka itu. Dia adalah laki-laki
pertama yang membuatku membenci dan ingin mengutuknya. Dia tidak pernah
memberitahuku siapa ibuku sebenarnya, aku tidak pernah mengenal seseorang yang
telah melahirkanku dan semua itu karena lelaki itu. Lelaki yang semua
kebencianku kulimpahkan padanya, tak ada kata maaf yang mampu meluluhkan kata
maafku padanya.
Kini
semua ingatan kembali mengungkit masa lalu yang begitu kelam dimana aku lahir
dan dibesarkan disekeliling orang-orang yang tidak memiliki rasa belas kasihan
kepada anak-anak. Dia “yang menyebut diri sebagai ayah kandungku” merupakan salah
satu ngota komunitas yang aku tidak tahu apa yang mereka sembah, yang aku tau
merekan hanya saling berbagi dan membiarkan anaknya disetubuhi oleh anggota
lain. Mereka tidak peduli bahwa dia masih anak-anak, karena bagi mereka berbagi
hubungan intim dengan anak-anak adalah sesuatu hal yang menjadi prioritas.
Salah satu korbannya adalah diriku yag dimana saat itu ayahku menyerahkan
diriku kepada temannya karena waktu itu giliran ayahku untuk melakukan kegiatan
yang disebut “berbagi”, dan menyerahkan aku sebagai alat untuk memuaskan nafsu
teman ayahku dengan cara menyetubuhi tubuhku. Tak ada rasa penyesalan dari
wajahnya saat itu, yang ada hanyalah rasa bangga karena telah mengorbankan
diriku. Aku sangat terhina saat itu, tetapi aku tidak dapat melakukan apapun
karena aku hanya seorang anak kecil yang sangat lemah. Itulah alasannya mengapa
aku tak mau menjadi lemah ketika aku sedang terhina.
Yang
membuatku semakin muak dengan keadaan ini adalah ketika aku tau bahwa seorang
laki-laki yang pernah kutabrak di kafe adalah seseorang yang dengan senangnya
menikmati tubuhku dikala ayahku menyerahkanku padanya. Laki-laki yang aku kutuk
dengan berbagai macam cacian kotor yang terlontar dari mulutku ketika dia
melakukan hal hina itu padaku. Dan yang paling membuatku merasa bahwa aku
terlahir tak akan pernah lepas dari lingkaran hina adalah laki-laki itu adalah
ayah Dimas, yang ternyata dia teman masa kecilku dulu. Mengapa Tuhan selalu
mempermainkan hidupku?.
Sambil
meneguk whisky, ingatan disebuah gedung berwarna putih dengan teriakan seorang
anak kecil meminta pertolongan kepada ayahnya tetapi tak dihiraukan dan menatap
dengan membisu. Teringat seorang anak kecil yang sangat lemah terbaring diatas
ranjang yang begitu lebar dan tiba-tiba datang seorang laki-laki yang seharusnya
aku panggil om dengan perlahan menghampiri anak kecil itu. Dia melakukan semua
yang seharusnya tidak akan pernah dilakukan oleh orang waras kepada anak kecil,
sang anak hanya mampu menangis kesakitan dan seketika aku berteriak “Stop!
Berhenti! Aku tidak mau mengingat kejadian dimana aku kehilangan harga diriku
karena ulah seorang ayah” teriaku dengan sangat kencang hingga menggema
diseluruh ruangan sambil membentukkan kepalaku ketembok dengan sekeras mungkin.
“Mengapa
Tuhan menciptakanku hanya untuk merasakan rasa hina ini?” pertanyaan ini sering
sekali aku lontarkan hingga saat ini dimana semua kembali teringat. Kekejaman,
hinaan, kekerasan dan semua hal buruk yang sudah membuatku sangat depresi. Aku
ingin mengakhiri semua ini, segera aku mengambil ponsel dan menulis sebuah
pesan singkat kepada Gio yang isinnya bahwa aku ingin mengakhiri semua hubungan
yang selama ini telah menyiksa ku. Aku tidak ingin berhungan dengan siapapun,
aku ingin pergi menjauh dari semua orang dan aku hanya ingin mendapatkan
kebebasanku yang selama ini tak pernah kuraih. Kini sudah pukul 11:30 malam dan
aku memutuskan untuk merendamkan tubuhku di air hangat disebuah bathup. Aku
berjalan ke kamar mandi dan menyalakan air hangat otomatis untuk mengisi penuh
bathup sembil melepas semua pakaian yang tertempel ditubuhku. Kini semuanya
sudah siap, dan aku perlahan masuk didalam bathup dan merebahkan tubuhku bathup
yang penuh dengan air hangat. Aku merasa begitu tenang dan aku menutup mataku,
dengan perlahan aku meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi didalam
diriku sehingga aku dapat terlahir kembali menjadi seseorang yang lebih berguna
di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi