Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Algo Lembrado (Sesuatu Yang Teringat)

Selasa, 26 Juni 2018


Oleh: Melynda Kristina
Mahasiswa: Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
Jurusan: Sastra Inggris
Semester: VI

‘Suara nyaring dari sebuah gramofon lawas terdengar sendu diseluruh ruangan’
But I am a creep, I am a weirdo
What the hell am I doing here ?
I don’t belong here....

Duduk diatas sebuah sofa di dekat jendela apartement pribadi dengan segelas yang tertuang martini diiringi lagu legend dari radiohead adalah sesuatu yang selalu aku lakukan dikala senja tiba. Lagu ini selalu mengingatkanku tentang segala hal buruk yang telah terjadi didalam diriku yang selalu membuatku berfikir bahwa aku tak seharusnya berada disini. Aku larut dalam diam hingga seseorang diluar sana menekan tombol bel, akupun dengan sekejap tersadar dari lamunan dan berjalan menuju sudut pintu untuk melihat siapa yang datang. Aku sedikit terkejut dengan kehadiran sang kekasih pujaan hatiku yang kadang membuatku merasa sangat tidak nyaman berada disampingnya.

“Woiii... Jill, kekasihmu berada didepanmu, tapi kau tak mau memeluknya? Sentak Gio”

Dengan kaget aku langsung memeluknya dalam diam, begitu kasarnya diapun langsung melepas pelukanku dan masuk kedalam apartment untuk mencari sesuatu yang sudah pasti itu adalah bir. Ya memang aku telah membeli banyak jenis bir yang selalu aku taruh disebuah almari khusus hingga penuh mulai dari vodka, martini, brandy, whisky, scotch dan terlalu banyak hingga aku tak mampu untuk menghafalnya, walau aku adalah seorang pecandu bir. Entah sejak kapan aku berani mendeklarasikan diriku sebagai pecandu bir, hingga aku tak mampu lepas darinya. Dia sudah mendarah daging ditubuhku.

“Mengapa kau begitu lama untuk memilih bir Gi?”  tanyaku pelan.

“Aku tidak sedang mencari bir Jil” jawab Gio.

“Lantas, apa yang sedang kau cari Gi?’ tanyaku sekali lagi dengan penasaran.

“Sudahlah! diamlah kau disitu Ji, jangan banyak bertanya!” jawab Gio dengan nada yang sangat tinggi.

Aku langsung diam seribu bahasa dan beranjak pergi e sofa tempat dimana aku menghabiskan senjaku bersama sang martini. Itulah Gio, walau aku adalah kekasih yang selalu dia cintai “katanya”, tapi perlakuan yang buruk dan bentakkan selalu dilontarkan kepadaku setiap aku berada disisinya. Hal yang sangat mustahil jika Gio bersikap manis kepadaku atau hanya ketika dia sedang menginginkan tubuhku untuk memuaskannya. Kita memang belum melakukan pernikahan, tapi kita sudah sering melakukan hubungan layak suami istri, ini adalah hal yang sangat wajar terjadi di kota besar tempat aku tinggal. Bagaimanapun Gio, aku tetap mencintai dia walau kadang aku ingin lepas dari pelukannya.

“Jill.. apa kau mau ikut denganku?” tanya kekasihku yang membuatku terkejut.

“Kemana sayang?” jawabku dengan senyum manis.

“Ke sebuah bar dipusat kota Ji. Kalau kamu mau ikut, cepat ganti pakaianmu!” jelas Gio.

Tanpa menjawab pertanyaannya aku langsung bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaianku. Gio pun keluar apartment dan menungguku di lobby, dengan sekaleng bir yang dia ambil dari almari birku. Dengan cepat aku bergegas dan siap-siap agar Gio tidak terlalu lama menungguku, karena itu akan membuatku mendapatkan malapetaka ketika dia sedang marah karena aku yang terlalu lama berdandan. Kurang lebih sepuluh menit, aku langsung keluar kamar menuju lobby lantai dasar. Aku memasuki lift dari lantai 25, dan aku melihat seseorang yang sangat tak asing di kepalaku, kita saling memandang dalam diam dan otakku tak berhenti mencari jawaban siapa orang yang sedang disampingku ini. Belum sampai aku menemukan jawaban siapa orang itu, lift pun sudah sampai dilantai dasar, aku keluar dan melihat Gio sudah melambaikan tangan kepadaku. Kamipun langsung menuju  tempat parkir dan pergi menuju bar.

“Sayang.. gila ya Jakarta macet parah! Yang seharusnya bisa ditempuh 30 menit ini 2 jam belum juga sampai tempatnya !” kataku sedikit kesal karena macetnya kota jakarta yang selalu membuatku berfikir untuk kembali ke kota kecilku kala itu.

“Bentar lagi sampai bar kok cil” kata dia dengan panggilan sayang yang selalu dia lontarkan untukku (kecil).

“Nah.. itu dia barnya cil, cepet turun gih cil. Udah ditunggu temen nih.” Lanjutnya.

Sambil menoleh ke arah bar yang ditunjuk oleh Gio, aku sepertinya sangat mengenal bar ini. Tapi seingatku selama aku berada di Jakarta, baru kali ini aku menginjakkan kakiku disini, entahlah mungkin aku yang lupa. Bar itu bernama “La Vue Roftop Bar” yang terletak diatap sebuah hotel di sudut kota Jakarta. Akupun turun dari mobil dan kami segera pergi menuju bar untuk mencari teman Gio. Entah siapa yang ingin Gio temui, aku tidak terlalu peduli akan hal itu aku hanya fokus ke setiap detail tempat itu, tempat yang tidak asing sangat tidak asing tapi aku tak mampu mengingat tempat itu dengan tepat. Seseorang disudut bar melambai ke arah kita, Gio pun segera menarik tanganku dengan sedikit kasar agar kita segera sampai di tempat sudut cafe.

“Sorry ya baru dateng, biasalah namanya juga Jakarta macetnya parah banget.” Kata Gio kepada temannya.

“Iya gapapa kok Gi, santai aja. Aku juga baru sampai sini kok.” tangkas temannya.

“Ji, kenalin ini Dimas temanku waktu kecil. Dia baru balik dari Brasil.” Kata Gio padaku sambil menunjuk temannya.

Akupun langsung menydorkan tangan kananku untuk berjabat tangan sambil memperkenalkan diriku” Hai..Aku Jian, salam kenal ya.” Kataku sedikit kaku didampingi dengan senyum sedikit kupaksa.

Dimas pun langsung meraih tanganku dengan senyumannya yang membentuk lubang dikedua pipinya sembari berkata “Hai Ji, aku Dimas”.

Aku dan Dimas tetap dalam posisiku berjabat tangan sambil diam dalam tatap. Tiba-tiba suara bernada keras terlontardari mulut Gio “Woy! Lama banget jabat tangannya” sambil diiring suara tawa terbahak-bahak yang diikuti aku dan Dimas.

Aku dan Gio dipersilahkan duduk oleh Dimas, aku terdiam dengan kedua bola mataku tak bisa diam disatu arah melihat seisi bar sambil mengingat-ingat kenangan bar ini yang tak kunjung ku temukan. Aku memang pelupa atau bisa disebut pikun dini, ya sejak kecil daya ingatku memang dibawah rata-rata yang membuatku sangat sulit untuk mengiat apapun sekalipun itu hanya sebuah hal yang sepele. Gio dan Dimas asyik bercerita mengenang masalalu mereka berdua ketika masih kecil. Aku tidak terlalu mendengrakan cerita mereka, karena mereka tak menghiraukanku seakan dunia milik mereka berdua dan aku hanyalah sebuah patung yang tak terlihat.

Aku berfikir untuk berkeliling di dalam bar dengan alasan pergi ke kamar mandi, dan tetap mereka tak bergeming untuk melihatku pergi. Aku berjalan menyusuri setiap langkah bar ini dengan sedikit ingatan terbesit di dalam kepalaku. Seorang laki-laki berumur sekitar 30 tahun muncul di kepalaku, aku tidak tahu siapa dia dan kenapa dia muncul dipikiranku. Semakin mencoba mengingat siapa dia, semakin terasa berat isi kepalaku, dan aku memutuskan untuk berhenti mengingatnya. Dan kembali ke tempat dimana Gio dan Dimas berada.

“Braaaakkkkkk!!” suara pecahan gelas dari seorang pria paruh baya yang tidak sengaja aku menabraknya.

Dengan rasa takut akan amarah si pria tersebut, aku dengan cepat melontarkan permintaan maafku, “Maaf pak, saya benar-benar tidak sengaja”. Dengan kepala tertunduk.

“Bukan sepenuhnya kesalahan kamu, tenang saja.” Kata si pria itu dengan nada yang lembut.

Belum sampai aku membalas rasa terimakasihku, seorang wanita berusia 30 tahunan di belakangku langsung menyambar dengan nada yang sedikit keras, “Hei, apa kau tak pakai matamu untuk melihat?, Apa kau tau siapa yang kamu tabrak? Dia adalah owner hotel dan bar ini!” bentaknya dibelakangku, sambil ku sedikit melirik kearahnya yang sibuk meminta maaf kepada si pria itu. Hal ini membuatku semakin merasa bersalah dan terus ku lontarkan minta maaf berkali-kali kepada pria itu. Hingga akhirya dia mengijinkan ku pergi agar masalah ini tidak diperpanjang oleh manajer yang telah membentakku tanpa tau kejadian yang sebenarnya. Sedikit menyesal dan banyak amarah, aku kembali dengan kepala tertunduk tanpa melihat wajah si pria separuh baya itu.

Gio tetap sama, sibuk dengan dunia masalalunya bersama Dimas temannya. Aku meminta kepada Gio untuk segera kembali pulang, aku tak mau terlalu lama disini. Aku mulai cemas dan takut akan tempat ini. “Bawa aku pergi dari tempat ini Gi!”pintaku dengan nada agak tinggi.

Gio dengan sigap dan terkejut menolehkan pandangan sinisnya kepadaku, sambil melontarkan makian yang terlalu kasar bagiku “Kau gadis jalang! Apa kau tidak lihat aku sedang menghabiskan waktuku untuk mengenang masa laluku bersama sahabat kecilku? Kalau kau ingin pulang, pulanglah sendiri, jangan kau bermanja seperti bocah!”.

Aku terdiam, aku menatap kedua bola matanya, dan akupun pergi dalam sunyi. Aku tidak menangis, aku sudah tidak punya air mata dan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku mengeluarkan air mata. Sekejam apapun perlakuan dan perkataan Gio yang dilontarkan kepadaku, aku hanya hanya bisa menelannya dalam pikiranku. Aku sudah kebal dengan semua itu, hidupku terlalu sesak jika harus memikirkan perkataan si laki-laki tak tau diri itu tapi hatiku tak dapat berpaling darinya. Akupun memutuskan untyk kembali ke apartment dengan taksi.

Sesampai di apartment, aku melepaskan semua pakaianku tanpa tersisa satu helai kain lalu aku berjalan menuju sebuah ranjang untukku merebahkan tubuhku. Sebenarnya ingin sekali aku menutup mataku ini, tapi bayangan laki-laki itu muncul lagi kali ini dia bersama papa dan mamaku disebuah ruangan, terus muncul dan muncul hingga membuat kepaku terasa sangat berat dan tak mampu manahannya lagi. Segera aku memejamkan kedua bola mataku, tapi belum sampai aku menutupnya, ponselku berdiring menandakan adanya panggilan sekilas aku melihat itu Gio, lalu aku tolak panggilan itu dan aku matikan ponselku. Kali ini aku ingin sendiri, ijinkan aku menikmati tidurku bersama dengan ranjang dan tubuhku yang tanpa berbusan.

“Aaahhh... kepalaku terasa berat sekali?” gumamku pada diriku sendiri.

Baru ingat kalau semalam aku menghabiskan sebotol vodka dalam waktu kurang dari 15 menit, ah bodoh sekali aku ini. Baru saja aku menyalakan ponselku, sudah ada 50 kali panggilan dan 100 pesan dari Gio yang isinya permintaan maaf yang berakhir makian. Aku tidak membalas satu pesanpun dari dia. Aku malah asyik berselancar di google mencari resep makanan yang cocok setelah mabuk, aku mendapatkannya. Aku mulai menyiapkan semua bahan untuk membuat sup hangat agar tubuhku merasa lebih baik setelah hangover karena bir, walau sedikit sempoyongan aku tetap bertekat untuk memasak sup. Sambil sesekali aku teringat akan sesosok laki-laki paruh baya itu. Entah siapa dan apa hubungannya dengan diriku. Aku ingin mengingatnya, tetapi semakin aku mencoba untuk mengingatnya, semakin terasa sakit kepala yang ku rasakan.

“Ting..tong...” suara bel apartemenku berbunyi berkali kali.

Kali ini aku sangat yakin kalau seseorang yang sedang berada dibalik pintu apartementku itu adalah Gio. Aku sebenarnya enggan untuk membukanya, tapi bunyi bel ini sungguh membuatku pusing. Kakiku melangkah ke arah pintu dan segera membukanya. Berkali-kali aku selalu dikejutkan oleh ulah Gio, tapi kali ini bukan Gio tapi Dimas sahabat kecil Gio. Apa yang sedang dia inginkan dan apa yang sedang dia lakukan disini. Ini membuatku menjadi semakin tertekan. Aku tidak mempersilahkan Dimas untuk masuk ke apartementku, karena jika Gio tau, aku akan dibunuh olehnya.

“Eh Dimas, ada apa ya dim ? Apa kamu sedang mencari Gio? dia tidak sedang berada disini dim” kataku dengan sedikit senyuman.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, tetapi melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku “Apa Kau Jian Sahara anak dari om Redy?”.

Bisa aku pastikan bahwa kali ini dia benar-benar serius dengan pertanyaan itu. Aku bingung untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku tak ingin mendengar nama orang yang disebut oleh Dimas. “Apa kau kesini hanya untuk melontarkan pertanyaan yang tidak berguna itu? Kalau kau tak ada urusan yang sangat penting, lebih baik pergilah dari sini Dim” kataku.

“Bagimu memag tidak penting Ji, tapi bagiku sangatlah penting! Jika kamu tidak ingin memberitahuku, aku pastikan kalau aku akan mendapat jawaban itu sendiri!" tantangnya padaku.

Aku hanya bisa menatap Dimas tanpa berbicara apapun dan membiarkan dia pergi dari apartemenku. Dengan menyebut nama orang itu, membuatku semakin ingin memecahkan kepalaku, aku sudah berusaha melupakan nama itu, tapi tetap saja ada seseoarang yang membuatku mengingatnya. Tak ada secercah cahaya di dalam hidupku, semua penuh dengan rasa amarah, dendam, penyesalan, dan kehancuran. Semua terasa begitu buruk dan tak berguna didalam hidupku. Aku tiba-tiba teringat dengan sepucuk surat yang tertempel di pintu apartemenku 5 tahun yang silam, aku tidak pernah tau siapa seseorang yang berhasil membuat hidupku bertahan hanya dengan kata-kata yang ditulis tangan dan ditempel dengan selotip hitam itu. Aku sangat ingat betul kata-kata ajaib itu, dan selalu aku ucapkan dalam hati ketika aku dalam keaadaan terpuruk seperti obat penanenang yang mengalir didalam diriku.

“Ketika banyak hal tumbuh dalam dirimu, beberapa hal harus belajar kau redam... lampu sorot, tepuk tangan, pesawat terbang yang lepas landas, mobil yang hilang diujung jalan, teman yang pudar dilingkaran, dan hal-hal yang sakit tapi tak berdarah”.
*****
“Ahh... nyenyak banget tidurku semalam” gumamku sendiri dengan suara lemas dan merentangkan tubuhku sambil sesekali menguap karena masih terlalu pagi aku terbangun. Kemudian aku sengaja melihat ponselku, dan ternyata ada 89 pesan messager dan 102 missed call dari Gio, ulah dia memang benar-benar diluar akal sehat, takkan ada seseorang yang sanggup melakukan hal yang sama sperti Gio, itulah yang aku suka dari dia yang selalu bertindak diluar akal sehat manusia biasa.

“Astaga... karena terlalu nyenyak aku tak terbangun karena ponselku berbunyi terus selamaman. Aku harus segera menelepon balik si Gio, aku tau dia pasti akan marah padaku”. Kataku dalam hati, sambil mencoba menelepon Gio, tapi nomor Gio tidak aktif. Aku mecoba mengirim pesan padanya kalau semalam aku tertidur karena sedang tidak enak badan, dan aku berfikir bahwa Gio pasti masih tertidur pulas diranjangnya dengan memakai boxer berwarna abu-abu kesayangannya dan aku membayangkan betapa sexynya kekasihku Gio.

Jam sudah menunjukkan pukul 10:15, dan aku sudah siap untuk pergi keluar mencari udara segar seorang diri, tanpa gangguan dari Gio. Aku berencana untuk pergi menikmati secangkir kopi dan beberapa potong kue, aku pun bersiap untuk berangkat dan kali ini aku tidak ingin mengendarai mobil karena aku tau Jakarta selalu macet everytime. Aku berjalan menyusuri koridor hingga keluar dari apartemen dan berkeliling entah kemana arah langka kakiku ingin berpijak, hingga akhirnya aku memutuskan untuk sinngah disebuah cafe. Aku langsung saja duduk dan memesan secangkir capucino latte dan beberapa potong kue, aku kali ini memilih tempat duduk didekat jendela agar aku bisa leluasa mengamati ssekelilingku. Suasana kafe saat itu masih sangat sepi karena baru saja buka, dan aku merasa sangat damai berada ditempat itu hingga seseorang yang aku kenal masuk kedalam kafe tempatku menikmati secangkir kopi, tetapi herannya semua pegawai dikafe itu menyambutnya denga sebutan pak direktur. Oh jadi dia adalah pimpinan dari kafe ini. Tak sempat aku menghabiskan kopi dan rotiku, aku berusaha membayar semuanya kekasir tetapi Dimas mengetahui bahwa itu adalah aku, dan ini membuatku semakin tak nyaman.

“Jil, tetaplah disitu! Jangan menghindar dariku! Aku ingin tahu sebuah kebenaran yang sesngguhnya!” pinta Dimas padaku sembari dia jalan mendekat ke arahku.

Aku tak menjawab dan tetap pada posisiku berdiri didepan mbak-mbak kasir yang super lemot, aku tak tahan dengan semua ini, dan aku memutuskan untuk pergi dengan menaruh uang diatas meja kasir. Tetapi Dimas menarik tanganku hingga aku tertarik dan berada didalam pelukannya, kami saling diam dan menatap selama beberapa detik, hinnga Dimas sedikit mendekatkan bibirnya ditelingaku yang membuatku geli dan dia berbisik bahwa dia telah mengetahui siapa aku sebenarnya. Tentu saja mataku melotot dan terkejut mendengar ucapan Dimas itu. Hatiku menjadi gelisah, rasa ketakutan itu mulai muncul, dan akhirnya aku mendorong Dimas dengan sekuat tenaga hingga dia terjatuh di lantai, aku segera lari dari tempat itu dan pulang ke apartemen dengan perasaan yang benar-benar kacau.

“Kenapa perasaan semacam ini muncul lagi setelah aku berhasil membuangnya jauh-jauh? Apa tujuan dia mengingatkanku pada masa itu? Apa dia ingin menghancurkan hidupku lebih hancur lagi?” tanyaku dalam hati sambil meminum satu botolbir berjenis vodka.

Aku berusaha untuk menenangkan diriku sembari merentangkan badan di sofa favoritku, sambil sesekali meneguk vodka yang berada di genggamanku. Aku merasa sedikit lebih tenang dengan meminum ini, namun tiba-tiba seseorang menekan tombol bel pintu apartemenku berulang-ulang dan aku meyakini ini adalah Gio. Aku beranjak dari sofa dan berjalan dengan sedikit rasa malas untuk membuka pintu. Benar seorang lelaki dibalik pintu itu adalah Gio, dia menatapku dengan tatapan aneh yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Dia hanya diam menatapku, dan kuberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

“Hai sayang... Tumben kamu datang kesini?” tanyaku pelan sembari memberi senyuman manis kepadanya.

Gio tidak menjawab pertanyaanku dan dia tetap diam mematung dengan menatapku. Kali ini tatapannya  begitu menakutkan, bak singa dengan tatapan dingin yang penuh gairah untuk menyantap mangsanya. Aku bisa merasakan tatapan Gio yag berbeda dan sangat berbeda. Tanpa bicara satu katapun dia menarikku masuk kedalam apatemen dan mengunci pintunya, aku merasa sedikit gelisah dan takut akan sikap Gio yang seperti ini dia terlihat sangat marah kepadaku tanpa ku ketahui kesalahan apa yang telah kuperbuat. Apakah gara-gara semalam aku tidak menjawab dan membalas pesannya? Apakah dia sampai semarah itu kepadaku? Aku tidak tahu, dan aku hanya pasrah tanpa memberontak sedikitpun. Aku tidak pernah mengira kalau Gio akan melakukan hal semacam ini kepadaku. Dia melemparkanku ke tembok hingga aku menatap tembok dan tubuhku terjatuh dilantai dan dia membangkitkanku dan melemparkanku lagi ke tembok hinga berulang kali. Dia belum merasa puas dengan melemparkanku ke tembok, dia kedua pipiku hingga terasa begitu panas. Terakhir dia melemparkan aku kesofa hingga kepalaku terbentur kaca di dekat sofa. Kini tubuhku penuh memar dan sedikit berdarah diujung bibirku tetapi tidak melawan dia sedikitpun dan aku tidak mengeluarkan air mata setetespun apalagi berteriak meminta ampun kepada Gio. Aku menikmati setiap sentuhan kasar yang dia lakukan pada tubuhku walaupun aku tahu ini bukan sentuhan cinta namun ini adalah kekerasan yang dilakukan Gio dan itu sangat menyakitkan, namun aku menyukai semua ini.

“Apa kau merasa sakit?” tanya Gio padaku.

Bukannya menjawab, tetapi aku tertawa keras sekeras-kerasnya “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.......”.

“Mengapa kau tertawa? Apa kau sudah tak waras!” kata Gio.

“Sebenarnya apa tujuanmu melakukan semua ini Gi?” tanyaku dengan sedikit tertawa.

“Aku ingin melihatmu terluka dan menangis Ji!” jawab Gio

“Apa hanya itu ? hahaha...” tanyaku tertawa keras hingga membuat Gio semakin marah dan kembali menampar kedua pipiku, dan kali ini dia juga menampar bibirku dengan sebuah buku tebal setebal kamus oxford di meja samping sofa.

“Apa kau pikir aku akan menangis dan merasa dilecehkan dengan semua yang telah kau lakukan kepadaku ini Gi? Hahaha... Kamu salah Gi, aku justru menikmati semua yang telah kau lakukan kepadaku ini, membuatku semakin bergairah, rawr.... Hahahah....

“Lebih baik kau pegi dari sini Gi, aku tak ingin melimpahkan gairahku padamu saat ini!” timpalku.

Giopun tidak menolak permintaanku dan dia akhirnya pergi keluar dari apartemenku. Sejujurnya, luka-luka ini sangat menyakitkan namun aku tak ingin terlihat lemah di depan Gio. aku sudah sangat menderita di masa lalu, dan aku tidak ingin terlihat lemah didepannya. Kembali berbaring di sofa dengan rasa sakit dan meneguk sebotol vodka yang tadi belum habis aku minum. Aku terhanyut dalam lamunan dan memikirkan semua hal yang telah terjadi di dalam hidupku, mengingatkanku pada beberapa sosok orang yang ada di dalam pikiranku dan aku sedikit teringat siapa seseorang yang selama ini aku cari jawabannya. Aku tetap melamun dengan diiringi sebuah lagu dari Scorpion-Born to Touch Your Feeling, yang menjadi salah satu lagu favoritku ketika aku tinggal di Lisbon (salah satu kota Di Portugal) 8 tahun yang lalu ketika aku duduk di bangku smp. Aku terhanyut dalam lantunan lagu ini hingga aku tertidur pulas seperti tanpa beban diatas sofa.

Langit tampak begitu gelap diselimuti awan-awan hitam yang bersiap menjatuhkan butiran-butiran air ke bumi dan jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul 10 malam. Aku membuka mataku dan seketika tertuju ke jendela kaca apartemenku, pemandangan yang begitu indah dengan butiran-butiran air hujan yang tertempel rapi di dinding kaca. Tak ingin melewatkan momen langkah ini, aku segera mengambil sebotol bir di lemari dan segera kembali duduk disofa sambil menikmati setiap butiran air hujan tertempel di kaca dan terjatuh perlahan. Andai saja aku adalah bagian dari tetesan air hujan itu, aku tak akan merasakan rasa sakit yang berulang kali.

“Tingtong.....” suara bel berbunyi

“Apakah dia adalah Gio? Aku enggan sekali menatap wajahnya.” kataku pada diri sendiri.
Tiba-tiba ponselku berdering, ada sebuah panggilan telefon dari nomor asing. Sebenarnya aku enggan untuk mengangkatnya, tetapi ini sudah panggilan yang ke 10, dan akhirnya akupun mengangkatnya.

“Hallo, maaf dengan siapa?” tanyaku

“Ji, ini aku Dimas. Tolong bukain pintunya ya aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting. Sekali saja Ji, mohon.” Pintanya padaku.

“Baiklah, tunggu sebentar.” Jawabku dengan terpaksa.

Setelah aku membuka pintu, dan ternyata benar Dimas datang seorang diri ke apartemenku. Dia menatapku dengan sendu dan penuh rasa iba. Aku lantas mengalihkan pandangan dia da segera menyuruhnya untuk masuk dan duduk sembari aku mengambil satu kaleng bir heinemann yang kutaruh di meja. Dia terus menatapku dalam bisu, dan sesekali melihatku dari atas sampai bawah.

“Ji...” panggilnya dengan lembut.

“Hmm... iya Dim, gimana? Kataku padanya.

“Gio yang melakukan semua ini Ji?” tanyanya lagi.

Aku enggan menjawabnya, tapi aku menimpalnya dengan pertanyaan agar dia teralihkan dari pertanyaan yang tidak akan pernah aku jawab.

“Apa yang mau kau sampaikan kepadaku Dim?” tanyaku dengan santai.

Dimas tidak menjawab pertanyaanku, tapi dia bangkit dari sofa secara perlahan dan memelukku dengan perasaan iba. Aku memberontak berusaha melepaskan pelukannya, tapi apa daya tubuhnya begitu kuat sehingga aku tak mampu melepasnya. Dia tidak hanya memelukku, tetapi dia juga mengusap lembut rambutku yang tak pernah dilakukan oleh siapapun kepadaku, apalagi Gio. Dimas mampu membiusku dengan aroma parfum yang kucium dari bajunya, aku bersandar dalam pelukannya yang begitu tenang buatku.

“Sini Ji, biar aku obati lukamu itu” katanya sambil melepaskan pelukannya dengan lembut dan menuntunku untuk duduk di sofa.

“Tidak perlu Dim, nggak sakit kok” kataku dengan singkat.

“Ji...ku mohon.” Pintanya memelas.

“Dim. I am okay. I can hadle it by myself. Don’t worry.” Kataku dengan memberinya senyuman agar dia percaya denganku.

“Baiklah, aku tidak bisa memaksamu. Tapi aku mohon, yang satu ini jawab pertanyaanku dengan jujur Ji. Aku hanya ingin membantumu.” Pintanya padaku.

“Baiklah, aku berusaha Dim.” Jawabku singkat.

“Aku tau kamu adalah anak dari om Redy, dan aku ingin tau mengapa kau meninggalkan om Redy sendiri dan memilih pindah ke Jakarta Ji?

“Aku tidak bisa mengatakan kepadamu Dim, nama itu sungguh membuatku muat!” bentakku padanya.

“Tapi kamu berjanji untuk menjawabnya  Ji. Ayahmu sedang sekarat Ji, ku mohon kembalilah ke ayahmu Ji.” Kata Dimas dengan memegang kedua tanganku.

“Apa hubungannya si dia dengan dirimu Dim? Sampai kau begitu peduli dengan dia?’ tanyaku penasaran.

“Sebenarnya, om Redy adalah teman baik ayahku sejak kecil Ji. Mereka sama-sama hidup di Lisbon, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta dan aku ke Brasil. Apa kau ingat kafe tempat kita bertemu saat kau dengan Gio? Itu adalah kafe milik papaku Ji, dan semasa kecil kita juga pernah bertemu disana Ji. Apa kau mengingatnya?” jelas Dimas padaku.

“Lebih baik sekarang kau pergi Dim! Dan katanya pada dia, bahwa aku tidak akan pernah memaafkan atau bahkan bertemu dengan dia! Cepat pergi!!!” bentakku padanya dan menyuruhnya untuk segera mengangkat kaki dari apartemenku. Aku sudah terlalu muak dengan penjelasan Dimas.

Kali ini aku merasa begitu lemah aku tertunduk lemas dan seketika air mataku menagalir deras dipipi. Aku tidak menangis laki-laki yang sekarat itu, tetapi aku teringat dengan semua yang telah dia lakukan kepadaku. Cacian, perlakuan kasar, pelecehan sudah ku terima sejak aku masih kecil. Semua cambukan kini kembali teringat betapa sakit dan perihnya luka itu. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku membenci dan ingin mengutuknya. Dia tidak pernah memberitahuku siapa ibuku sebenarnya, aku tidak pernah mengenal seseorang yang telah melahirkanku dan semua itu karena lelaki itu. Lelaki yang semua kebencianku kulimpahkan padanya, tak ada kata maaf yang mampu meluluhkan kata maafku padanya.

Kini semua ingatan kembali mengungkit masa lalu yang begitu kelam dimana aku lahir dan dibesarkan disekeliling orang-orang yang tidak memiliki rasa belas kasihan kepada anak-anak. Dia “yang menyebut diri sebagai ayah kandungku” merupakan salah satu ngota komunitas yang aku tidak tahu apa yang mereka sembah, yang aku tau merekan hanya saling berbagi dan membiarkan anaknya disetubuhi oleh anggota lain. Mereka tidak peduli bahwa dia masih anak-anak, karena bagi mereka berbagi hubungan intim dengan anak-anak adalah sesuatu hal yang menjadi prioritas. Salah satu korbannya adalah diriku yag dimana saat itu ayahku menyerahkan diriku kepada temannya karena waktu itu giliran ayahku untuk melakukan kegiatan yang disebut “berbagi”, dan menyerahkan aku sebagai alat untuk memuaskan nafsu teman ayahku dengan cara menyetubuhi tubuhku. Tak ada rasa penyesalan dari wajahnya saat itu, yang ada hanyalah rasa bangga karena telah mengorbankan diriku. Aku sangat terhina saat itu, tetapi aku tidak dapat melakukan apapun karena aku hanya seorang anak kecil yang sangat lemah. Itulah alasannya mengapa aku tak mau menjadi lemah ketika aku sedang terhina.

Yang membuatku semakin muak dengan keadaan ini adalah ketika aku tau bahwa seorang laki-laki yang pernah kutabrak di kafe adalah seseorang yang dengan senangnya menikmati tubuhku dikala ayahku menyerahkanku padanya. Laki-laki yang aku kutuk dengan berbagai macam cacian kotor yang terlontar dari mulutku ketika dia melakukan hal hina itu padaku. Dan yang paling membuatku merasa bahwa aku terlahir tak akan pernah lepas dari lingkaran hina adalah laki-laki itu adalah ayah Dimas, yang ternyata dia teman masa kecilku dulu. Mengapa Tuhan selalu mempermainkan hidupku?.

Sambil meneguk whisky, ingatan disebuah gedung berwarna putih dengan teriakan seorang anak kecil meminta pertolongan kepada ayahnya tetapi tak dihiraukan dan menatap dengan membisu. Teringat seorang anak kecil yang sangat lemah terbaring diatas ranjang yang begitu lebar dan tiba-tiba datang seorang laki-laki yang seharusnya aku panggil om dengan perlahan menghampiri anak kecil itu. Dia melakukan semua yang seharusnya tidak akan pernah dilakukan oleh orang waras kepada anak kecil, sang anak hanya mampu menangis kesakitan dan seketika aku berteriak “Stop! Berhenti! Aku tidak mau mengingat kejadian dimana aku kehilangan harga diriku karena ulah seorang ayah” teriaku dengan sangat kencang hingga menggema diseluruh ruangan sambil membentukkan kepalaku ketembok dengan sekeras mungkin.

“Mengapa Tuhan menciptakanku hanya untuk merasakan rasa hina ini?” pertanyaan ini sering sekali aku lontarkan hingga saat ini dimana semua kembali teringat. Kekejaman, hinaan, kekerasan dan semua hal buruk yang sudah membuatku sangat depresi. Aku ingin mengakhiri semua ini, segera aku mengambil ponsel dan menulis sebuah pesan singkat kepada Gio yang isinnya bahwa aku ingin mengakhiri semua hubungan yang selama ini telah menyiksa ku. Aku tidak ingin berhungan dengan siapapun, aku ingin pergi menjauh dari semua orang dan aku hanya ingin mendapatkan kebebasanku yang selama ini tak pernah kuraih. Kini sudah pukul 11:30 malam dan aku memutuskan untuk merendamkan tubuhku di air hangat disebuah bathup. Aku berjalan ke kamar mandi dan menyalakan air hangat otomatis untuk mengisi penuh bathup sembil melepas semua pakaian yang tertempel ditubuhku. Kini semuanya sudah siap, dan aku perlahan masuk didalam bathup dan merebahkan tubuhku bathup yang penuh dengan air hangat. Aku merasa begitu tenang dan aku menutup mataku, dengan perlahan aku meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi didalam diriku sehingga aku dapat terlahir kembali menjadi seseorang yang lebih berguna di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi