Oleh: Birar
Kerjaan Keliling
Membaca Catatan Masyarakat Goa, seolah sedang
melihat dua manusia ditengah lapangan yang berselimut mitos-mitos dan cengengesan sendiri. Mungkin, seperti
Nickelodion mengeluarkan part Sepombob dan Parto sedang bermain perang salju.
Namun, yang membedakan adalah dua penulis tidak sedang berperang, mereka hanya cengengesan ditengah lapangan. Kemudian,
semakin jauh pada halaman berikutnya malah terbayang mereka telanjang bulat
melepaskan selimut mitos yang membungkus tubuh mereka. Dan pada saat itu mereka
seolah berbicara pada banyak orang, tapi sebenarnya mereka sedang berbicara
pada mereka sendiri. Ya, seperti itu yang saya bayangkan.
Sebenarnya, dalam 334
halaman mereka tidak hanya menceritakan tentang mahasiswa, lebih luas. Banyak
esai yang rasanya tidak dapat diamini mahasiswa generasi Tik-Tok. Karena, tulisan-tulisan
yang berhasil mereka bukukan adalah representasi perjalanan mereka selama
menjadi manusia, kebetulan saat itu mereka sedang menyandang gelar mahasiswa.
Hal itu kita bisa lihat disetiap tulisan dicantumkan waktu dan tempat
penulisan, agar seperti Catatan Pinggir ceritanya.
Notabene, tulisan-tulisan
dalam buku ini jauh dari kata lucu. Namun, saya malah banyak tertawa ketika
membacanya. Entah, mungkin gaya pikiran penulis yang liar ataupun tulisan
mereka seolah menjadi pukulan keras bagi saya sendiri,
dan bisa juga untuk calon pembaca yang budiman.
Tujuh pembahasan dalam
satu buku cetakan pertama pada mei 2018 yang diterbitkan oleh Diandra Kreatif
ini ditulis oleh seperti yang tercantum pada sampul buku. Ya, anda bisa lihat
sendiri. Pada sampul juga ada tulisan Kumpulan Esai Untuk Mahasiswa dan
Problematikanya, setelah membaca buku ini dengan dua kali duduk, rasanya
tulisan itu salah. Mungkin, yang benar seperti ini, Kumpulan Esai Permasalahan Saya Ketika Menjadi Mahasiswa. Kira-kira
seperti itu adanya. Toh, saya berani menjamin hanya beberapa ekor mahasiswa
saja yang mengalami perjalanan unik ketika menyandang gelar tersebut. Walaupun
seperti itu, buku Catatan Masyarakat Goa cocok
dibaca oleh mahasiswa kaum aktivis kampus kelas rombengan, mitos pasar kampus,
etika dan tata cara belajar, spiritualitas, dan lain sebagainya. Filsafat?
Jangan kau tanyakan. Banyak tokoh dan pemikirannya mereka bawa dalam tulisan.
Namun, meminjam quote dari salah satu penulis buku ini, ”Aku berfilsafat tapi
kau tak paham, lalu buat apa?”
Dari teori dan
pengalaman agar menjadi buku kumpulan esai ini tidak bisa diragukan. Apalagi dari hal receh
kepenulisan. Toh, mau bagaimanapun dua penulis adalah guru saya sendiri, yang
mengajarkan banyak hal dalam seruputan kopi-kopi buruh pabrik. Layak memang
jika mereka membicarakan aktivis kelas tempe, aktivis gaya-gayaan, dan banyak
hal lainnya. Karena mereka memang pernah mengalami setiap fase itu (maaf, agak
seperti testimoni).
Sedang saya hanya
menangkap dua kekurangan pada buku ini. Pertama terkait judul yang mereka
pilih. Mungkin, hanya segelintir orang yang bisa mengira-mengira apa maksud
dari masyarakat goa. Kedua terkait ruang lingkup siapa yang dapat membacanya.
saya kira buku ini layak untuk dibaca sampai kalangan orang tua. Agar mereka
tahu dunia itu luas dengan fase kulit sampai minyak seperti pada kelapa. Tapi,
setelah saya pikir untuk kesekian kalinya, jika semua disadarkan akan yang
sejati maka dunia dengan sistemnya akan lebih kacau.
Irfa Ronaboyd
Mahdihraja dan Citra D. Vresti Trisna, dua manusia dengan keanehannya
masing-masing yang cukup saya kenal. Ada yang mengaku sebagai Don Boyd agar
seperti tokoh dalam film mafia terkemuka, Good Father. Ada juga yang mengaku
sebagai Che Gue Dalbo, agar seperti bambungan kelas Che Guevara ataupun Sayyid
Qutb yang memilih menjadi bambungan saat ketimpangan sosial memang menjadi masa
yang tidak dapat dipungkiri. Ya, bisa juga mereka seperti manusia yang sedang
mengejar mimpi, seperti Alchemist karangan Paulo Celho. Walaupun saya yakin,
semua itu hanya mitos untuk membungkus segala hal yang tidak bisa dijangkau
oleh akal pikiran. Akhirnya, mitos lebih dipilih. Seperti dalam perjalan Lara
Croft pada film Tomb Raider mencari jejak ayahnya mencari makam Himiko. Toh,
ternyata pada akhirnya Himiko dengan segala kekuatan mistiknya dapat
dirasionalkan.
Pada awal-awal bab
membaca buku ini saya berpikiran kalau mereka berdua seolah ingin menolak mitos
dengan membangun mitos yang baru. Ya, rasanya dunia memang dibangun dengan
mitos yang harus diamini oleh banyak orang agar mitos tersebut muncul pada
permukaan dengan gaya ilmiah. Juga; seolah mereka ingin menyadarkan bahwa dunia
juga diselimuti oleh sistem yang tidak dapat dihindari. Walaupun seperti itu,
mereka juga sadar menyadarkan satu orang lebih susah daripada harus membunuh
satu juta orang. Mereka juga sadar, segala upaya yang mereka lakukan akan
bersifat sia-sia (Albert Camus banget, nih) tapi mereka tetap melakukan outsider istilahnya.
Syahdan, saat ini saya
juga enggan mengamini menghapuskan segala mitos yang dibangun di muka bumi.
Karena hal itu mengharuskan saya untuk membuat anti tesis mitos baru. Tapi,
jika pembaca yang budiman ingin meruntuhkan suatu negara, lembaga, organisasi,
ataupun apa saja yang dibangun dengan ideologi (baca: Mitos), maka pembaca
cukup merancang mitos baru agar apapun itu runtuh. Ya, kembali lagi jika memang
pembaca menginginkan hal tersebut. Dan kalaupun iya, saya sarankan untuk mulai
mencari masa yang banyak untuk mengamini mitos baru yang anda ciptakan.
NB : Tulisan
ini terpikirkan setelah menyelsaikan Catatan
Masyarakat Goa dalam dua malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi