Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Catatan Masyarakat Goa Dengan Mitos Nuansa Ilmiah

Selasa, 26 Juni 2018

Oleh: Birar
Kerjaan Keliling

Membaca Catatan Masyarakat Goa, seolah sedang melihat dua manusia ditengah lapangan yang berselimut mitos-mitos dan cengengesan sendiri. Mungkin, seperti Nickelodion mengeluarkan part Sepombob dan Parto sedang bermain perang salju. Namun, yang membedakan adalah dua penulis tidak sedang berperang, mereka hanya cengengesan ditengah lapangan. Kemudian, semakin jauh pada halaman berikutnya malah terbayang mereka telanjang bulat melepaskan selimut mitos yang membungkus tubuh mereka. Dan pada saat itu mereka seolah berbicara pada banyak orang, tapi sebenarnya mereka sedang berbicara pada mereka sendiri. Ya, seperti itu yang saya bayangkan.

Sebenarnya, dalam 334 halaman mereka tidak hanya menceritakan tentang mahasiswa, lebih luas. Banyak esai yang rasanya tidak dapat diamini mahasiswa generasi Tik-Tok. Karena, tulisan-tulisan yang berhasil mereka bukukan adalah representasi perjalanan mereka selama menjadi manusia, kebetulan saat itu mereka sedang menyandang gelar mahasiswa. Hal itu kita bisa lihat disetiap tulisan dicantumkan waktu dan tempat penulisan, agar seperti Catatan Pinggir ceritanya.

Notabene, tulisan-tulisan dalam buku ini jauh dari kata lucu. Namun, saya malah banyak tertawa ketika membacanya. Entah, mungkin gaya pikiran penulis yang liar ataupun tulisan mereka seolah menjadi pukulan keras bagi saya sendiri, dan bisa juga untuk calon pembaca yang budiman.

Tujuh pembahasan dalam satu buku cetakan pertama pada mei 2018 yang diterbitkan oleh Diandra Kreatif ini ditulis oleh seperti yang tercantum pada sampul buku. Ya, anda bisa lihat sendiri. Pada sampul juga ada tulisan Kumpulan Esai Untuk Mahasiswa dan Problematikanya, setelah membaca buku ini dengan dua kali duduk, rasanya tulisan itu salah. Mungkin, yang benar seperti ini, Kumpulan Esai Permasalahan Saya Ketika Menjadi Mahasiswa. Kira-kira seperti itu adanya. Toh, saya berani menjamin hanya beberapa ekor mahasiswa saja yang mengalami perjalanan unik ketika menyandang gelar tersebut. Walaupun seperti itu, buku Catatan Masyarakat Goa cocok dibaca oleh mahasiswa kaum aktivis kampus kelas rombengan, mitos pasar kampus, etika dan tata cara belajar, spiritualitas, dan lain sebagainya. Filsafat? Jangan kau tanyakan. Banyak tokoh dan pemikirannya mereka bawa dalam tulisan. Namun, meminjam quote dari salah satu penulis buku ini, ”Aku berfilsafat tapi kau tak paham, lalu buat apa?”

Dari teori dan pengalaman agar menjadi buku kumpulan esai ini tidak bisa  diragukan. Apalagi dari hal receh kepenulisan. Toh, mau bagaimanapun dua penulis adalah guru saya sendiri, yang mengajarkan banyak hal dalam seruputan kopi-kopi buruh pabrik. Layak memang jika mereka membicarakan aktivis kelas tempe, aktivis gaya-gayaan, dan banyak hal lainnya. Karena mereka memang pernah mengalami setiap fase itu (maaf, agak seperti testimoni).

Sedang saya hanya menangkap dua kekurangan pada buku ini. Pertama terkait judul yang mereka pilih. Mungkin, hanya segelintir orang yang bisa mengira-mengira apa maksud dari masyarakat goa. Kedua terkait ruang lingkup siapa yang dapat membacanya. saya kira buku ini layak untuk dibaca sampai kalangan orang tua. Agar mereka tahu dunia itu luas dengan fase kulit sampai minyak seperti pada kelapa. Tapi, setelah saya pikir untuk kesekian kalinya, jika semua disadarkan akan yang sejati maka dunia dengan sistemnya akan lebih kacau.

Irfa Ronaboyd Mahdihraja dan Citra D. Vresti Trisna, dua manusia dengan keanehannya masing-masing yang cukup saya kenal. Ada yang mengaku sebagai Don Boyd agar seperti tokoh dalam film mafia terkemuka, Good Father. Ada juga yang mengaku sebagai Che Gue Dalbo, agar seperti bambungan kelas Che Guevara ataupun Sayyid Qutb yang memilih menjadi bambungan saat ketimpangan sosial memang menjadi masa yang tidak dapat dipungkiri. Ya, bisa juga mereka seperti manusia yang sedang mengejar mimpi, seperti Alchemist karangan Paulo Celho. Walaupun saya yakin, semua itu hanya mitos untuk membungkus segala hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran. Akhirnya, mitos lebih dipilih. Seperti dalam perjalan Lara Croft pada film Tomb Raider mencari jejak ayahnya mencari makam Himiko. Toh, ternyata pada akhirnya Himiko dengan segala kekuatan mistiknya dapat dirasionalkan.

Pada awal-awal bab membaca buku ini saya berpikiran kalau mereka berdua seolah ingin menolak mitos dengan membangun mitos yang baru. Ya, rasanya dunia memang dibangun dengan mitos yang harus diamini oleh banyak orang agar mitos tersebut muncul pada permukaan dengan gaya ilmiah. Juga; seolah mereka ingin menyadarkan bahwa dunia juga diselimuti oleh sistem yang tidak dapat dihindari. Walaupun seperti itu, mereka juga sadar menyadarkan satu orang lebih susah daripada harus membunuh satu juta orang. Mereka juga sadar, segala upaya yang mereka lakukan akan bersifat sia-sia (Albert Camus banget, nih) tapi mereka tetap melakukan outsider istilahnya.

Syahdan, saat ini saya juga enggan mengamini menghapuskan segala mitos yang dibangun di muka bumi. Karena hal itu mengharuskan saya untuk membuat anti tesis mitos baru. Tapi, jika pembaca yang budiman ingin meruntuhkan suatu negara, lembaga, organisasi, ataupun apa saja yang dibangun dengan ideologi (baca: Mitos), maka pembaca cukup merancang mitos baru agar apapun itu runtuh. Ya, kembali lagi jika memang pembaca menginginkan hal tersebut. Dan kalaupun iya, saya sarankan untuk mulai mencari masa yang banyak untuk mengamini mitos baru yang anda ciptakan.

NB : Tulisan ini terpikirkan setelah menyelsaikan Catatan Masyarakat Goa dalam dua malam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi