Oleh: Faidi Ansori
Pelajar
Filsafat
Mahasiswa: Universitas
Trunojoyo Madura (UTM)
“Apapun memang harus kita lakukan dengan
kegilaan, dan Filsafat mengajarkan demikian”
(Bung Slenteng)
Berpikirlah!
Sekarang aku
akan berusaha untuk memaparkan kepada pembaca, namun mungkin aku hanya bisa
mengutip sekali dari teks atapun manusia, kalaupun itu diinginkan, akan tetapi
perlu kita ketahui bersama-sama, bahwa coretan ini murni dari kehendak diri
sebagai ciptahan Allah Swt. Kita harus benar-benar gila untuk melakukan dan
bertidak apapun. Proses kegilaan ini tentu akan aku paparkan dengan cara-cara
Filsafat, karena Filsafatlah yang mengajarkanku menjadi gila.
Sahabat-sahabati
yang terhormat!
Dengan penuh
kesengajaan, aku ingin mengajak pembaca sekalian kearah kegilaan, tentu juga
harus benar-benar gila, karena hakikat dari manusia itu sendiri dituntut untuk
menjadi gila oleh sang Pencipta, maka sebab itulah aku susun kalimat ini.
Kakanda-adinda yang aku cintai!
Konon, Filsafat
teramat sulit untuk dipelajari dan dikonsumsi masyarakat, sebab, Filsafat
dianggap akan mengantarkan pada jurang kesesatan umat manusia, bahkan ada
banyak orang yang mengatakan, jangan sampai serius kita mempelajari Filsafat
sampai kedalam akar-akarnya, jikalau otak kita tidak mampu, maka kita
dikhawirkan akan menjadi gila. Itulah nada awal yang aku dengar ketika
mempelajari kali pertama belajar tentang Filsafat. Namun disaat sekarangpun
teman-temanku tetap masih mempersepsikan, bahwa berfilsafat tetaplah dianggap
seperti itu. Tetapi aku bersyukur jika masih ada banyak orang yang mengatakan,
bahwa Filsafat menjerumuskan orang menjadi gila. Inilah alasan logis aku
menuliskan tentang “Belajar Filsafat
Memang Harus Gila”.
Kawan-kawanku
yang aku banggakan!
Setelah
prolog dalam pragraf diatas aku jelaskan, walaupun sedikit, namun kali ini akan
aku sampaikan kepada pembaca yang terhormat, bahwa Filsafat memberi pemahaman
terhadap kita agar tetap berada di ruang suasana cinta akan kebijaksanaan atau Filosofie. Itulah esensi sebenarnya
Filasafat itu sendiri. Filsafat tidak menuntut manusia ber-eksistensi, namun
mendidik untuk ber-esensi. Mungkin kalian pernah membaca coretannya Jean Paul
Sartre, buku tentang “Filsafat Eksistensialisme”, tapi bagiku “Berfilsafat Esensialisme”
itulah yang lebih penting.
Selesai dari
pembahasan Filsafat Esensialisme, lalu masih ada soal-soal lain tentang
Filsafat. Kawan diskusiku yang bernamakan Nona dan Lubit pernah berkata;
“Filsafat
itu aneh, sesat, dan negatif” demikan ucap mereka.
Semua
ucapannya bentul-betul tidaklah mendasar. Bahasa itu sungguh tidak berdata dan
tidak bermoral, tukasku.
“Dua kawanku
tersebut haruslah diberi asupan tentang Filsafat, agar tidak (dillun mudillun[1])”.
Itulah khayalku disela-sela diskusi.
Setelah aku
mendengarkan statment tersebut,
otakku berfikir dan terus berfikir, lalu timbul pertanyaan dalam hayal, dengan
cara apa aku dapat menyadarkan mereka agar dapat mengerti bahwa filsafat
mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan.
Setelah
kurun lebih dua tahun mempelajari Filsafat, aku baru menyadari bahwa Filsafat
adalah salahsatu jalan menuju cinta akan kebijaksaan. Apa yang aku sebut tadi,
tidak dapat dimengerti dan difahami oleh kita, jikalau tanpa melewati
pembelajaran Filsafat sampai keakar-akarnya.
Alam dan isinya
haruslah kita fikirkan sedalam mungkin, agar sampai bisa didapati siapakah
sumber dari segala yang ada. Maka yang harus kita lakukan hanya akan bisa
diperoleh dengan jembatan akal jawaban tersebut bisa dijawab.
Semua Ilmu
pengetahuan sumbernya adalah Filsafat, dan didalamnya pasti terdapat
pertanyaan-pertanyaan besar, seperti, apa, bagaimana, dan kenapa. Aku yakin
pembaca tidak akan pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu
kiranya kita fahami bahwa pertanyaan tersebut adalah pertanyaan Filsafat.
Sementara
itu, Ilmu pengetahuan merupakan output dari cara berfikir yang benar.
Seperti kita ketahui bersama, ciri khas daripada Ilmu adalah rasional, empiris,
dan sistematis. Perkembangan Ilmu tentu dimulai dari cara berfikir, perenungan,
pengalaman, dan riset; kemudian manusia mampu melahirkan berbagai macam Ilmu
pengatahuan seperti sosiologi, antropologi, fisika, dan kimia; matematika,
komunikasi, psikologi, dan ekonomi; dan lain-lain. Semua Ilmuan yang kita
temukan dan dipelajari didalam teks serta diskusi-diskusi yang ada sampai saat
ini, tidaklah bisa dipungkiri karena disebabkan kesungguhannya mempelajari
sesuatu, dan itu didahului dengan cara-cara Filsafat. Mereka tidak ngambang
untuk mengkaji dan meneliti apa yang ada, maka hasil daripada itu semua, mereka
mampu melahirkan ide-ide besar dan gerakan-gerakan nyata yang hidup sampai
sekarang.
Keberanian
dan kegilaan para Filsuf dan Ilmuan sampai saat ini mampu membesarkan dan
mengeksistensikan dirinya. Gila dibutuhkan dalam segala hal, maka soal-soal
aksiologi, epistimologi, dan ontologi hanya bisa dimiliki oleh segenap manusia
yang menggunakan akalnya di suasana dimensi baik (Etika) dan benar (Rasional).
Filsafat
mengajarkan keseriusan, kegigihan, kereliguisan, estitika, dan etika; logika,
dialektika, kebenaran, dan kebaikan; dan tentu juga kegilaan, yang kalau boleh,
aku sebut tingkatan kema’rifatan. Tidak bisa kiranya kita dapat pengakuan
publik jikalau selamanya menjadi pengekor, penginduk, dan budak. Orang gila
karena Filsafat tidak bisa akan diatur oleh ketidaktahuan, ketidaketisan,
ketidakjelasan, ketidakberanian, dan ketidakadilan. Namun, manusia Filsafat
akan menerima segala yang ada jikalau masih ada didalam arah cinta dan
kebijaksanaan.
Seorang
Filsuf harus mempu melampaui kebisaan banyak orang dalam berfikir dan
bertindak. Keberagamaan, keberilmuan, dan akhlaq seorang Filsuf haruslah pada
puncaknya.
Tidaklah
kita akan menemukan manisnya belajar dan bekerja jikalau tanpa kesungguhan,
sedangkan kesungguhan akan berusaha menjauh dari aktifitas yang mengganggu
tercapainya ujung kesuksesan. Kesungguhan yang aku maksudkan adalah rasa gila.
Bercinta harus didasari ketertarikan, dan kenal adalah jalan kedua, namun
keberhasilanya jika kita benar-benar gila kepada siapa yang kita cinta. Objek
dari kegilaan adalah Satu, dan yang lain bukan miliknya. Begitulah Filsafat
mengajarkan.
Seorang
pelajar Filsafat dituntut dan dibutuhkan kegilaanya.
Seorang Filsuf adalah yang
paling waras dari yang waras. Berfilsafatlah, dan gilalah menggunakan akal yang
sehat!
Maaf! Tulisan ini masih belum selesai. Anda tunggu edisi selanjutnya biar tidak salah faham.
Aku tutup dulu ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi