Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Belajar Filsafat Memang Harus Gila I

Rabu, 23 Mei 2018

Oleh: Faidi Ansori
Pelajar Filsafat
Mahasiswa: Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

 “Apapun memang harus kita lakukan dengan kegilaan, dan Filsafat mengajarkan demikian”
(Bung Slenteng)
Berpikirlah!
Sekarang aku akan berusaha untuk memaparkan kepada pembaca, namun mungkin aku hanya bisa mengutip sekali dari teks atapun manusia, kalaupun itu diinginkan, akan tetapi perlu kita ketahui bersama-sama, bahwa coretan ini murni dari kehendak diri sebagai ciptahan Allah Swt. Kita harus benar-benar gila untuk melakukan dan bertidak apapun. Proses kegilaan ini tentu akan aku paparkan dengan cara-cara Filsafat, karena Filsafatlah yang mengajarkanku menjadi gila.

Sahabat-sahabati yang terhormat!
Dengan penuh kesengajaan, aku ingin mengajak pembaca sekalian kearah kegilaan, tentu juga harus benar-benar gila, karena hakikat dari manusia itu sendiri dituntut untuk menjadi gila oleh sang Pencipta, maka sebab itulah aku susun kalimat ini.

Kakanda-adinda yang aku cintai!
Konon, Filsafat teramat sulit untuk dipelajari dan dikonsumsi masyarakat, sebab, Filsafat dianggap akan mengantarkan pada jurang kesesatan umat manusia, bahkan ada banyak orang yang mengatakan, jangan sampai serius kita mempelajari Filsafat sampai kedalam akar-akarnya, jikalau otak kita tidak mampu, maka kita dikhawirkan akan menjadi gila. Itulah nada awal yang aku dengar ketika mempelajari kali pertama belajar tentang Filsafat. Namun disaat sekarangpun teman-temanku tetap masih mempersepsikan, bahwa berfilsafat tetaplah dianggap seperti itu. Tetapi aku bersyukur jika masih ada banyak orang yang mengatakan, bahwa Filsafat menjerumuskan orang menjadi gila. Inilah alasan logis aku menuliskan tentang “Belajar Filsafat Memang Harus Gila”.

Kawan-kawanku yang aku banggakan!
Setelah prolog dalam pragraf diatas aku jelaskan, walaupun sedikit, namun kali ini akan aku sampaikan kepada pembaca yang terhormat, bahwa Filsafat memberi pemahaman terhadap kita agar tetap berada di ruang suasana cinta akan kebijaksanaan atau Filosofie. Itulah esensi sebenarnya Filasafat itu sendiri. Filsafat tidak menuntut manusia ber-eksistensi, namun mendidik untuk ber-esensi. Mungkin kalian pernah membaca coretannya Jean Paul Sartre, buku tentang “Filsafat Eksistensialisme”, tapi bagiku “Berfilsafat Esensialisme” itulah yang lebih penting.

Selesai dari pembahasan Filsafat Esensialisme, lalu masih ada soal-soal lain tentang Filsafat. Kawan diskusiku yang bernamakan Nona dan Lubit pernah berkata;

“Filsafat itu aneh, sesat, dan negatif” demikan ucap mereka.

Semua ucapannya bentul-betul tidaklah mendasar. Bahasa itu sungguh tidak berdata dan tidak bermoral, tukasku.

“Dua kawanku tersebut haruslah diberi asupan tentang Filsafat, agar tidak (dillun mudillun[1])”. Itulah khayalku disela-sela diskusi.

Setelah aku mendengarkan statment tersebut, otakku berfikir dan terus berfikir, lalu timbul pertanyaan dalam hayal, dengan cara apa aku dapat menyadarkan mereka agar dapat mengerti bahwa filsafat mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan.

Setelah kurun lebih dua tahun mempelajari Filsafat, aku baru menyadari bahwa Filsafat adalah salahsatu jalan menuju cinta akan kebijaksaan. Apa yang aku sebut tadi, tidak dapat dimengerti dan difahami oleh kita, jikalau tanpa melewati pembelajaran Filsafat sampai keakar-akarnya.

Alam dan isinya haruslah kita fikirkan sedalam mungkin, agar sampai bisa didapati siapakah sumber dari segala yang ada. Maka yang harus kita lakukan hanya akan bisa diperoleh dengan jembatan akal jawaban tersebut bisa dijawab.

Semua Ilmu pengetahuan sumbernya adalah Filsafat, dan didalamnya pasti terdapat pertanyaan-pertanyaan besar, seperti, apa, bagaimana, dan kenapa. Aku yakin pembaca tidak akan pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu kiranya kita fahami bahwa pertanyaan tersebut adalah pertanyaan Filsafat.

Sementara itu, Ilmu pengetahuan merupakan output dari cara berfikir yang benar. Seperti kita ketahui bersama, ciri khas daripada Ilmu adalah rasional, empiris, dan sistematis. Perkembangan Ilmu tentu dimulai dari cara berfikir, perenungan, pengalaman, dan riset; kemudian manusia mampu melahirkan berbagai macam Ilmu pengatahuan seperti sosiologi, antropologi, fisika, dan kimia; matematika, komunikasi, psikologi, dan ekonomi; dan lain-lain. Semua Ilmuan yang kita temukan dan dipelajari didalam teks serta diskusi-diskusi yang ada sampai saat ini, tidaklah bisa dipungkiri karena disebabkan kesungguhannya mempelajari sesuatu, dan itu didahului dengan cara-cara Filsafat. Mereka tidak ngambang untuk mengkaji dan meneliti apa yang ada, maka hasil daripada itu semua, mereka mampu melahirkan ide-ide besar dan gerakan-gerakan nyata yang hidup sampai sekarang.
Keberanian dan kegilaan para Filsuf dan Ilmuan sampai saat ini mampu membesarkan dan mengeksistensikan dirinya. Gila dibutuhkan dalam segala hal, maka soal-soal aksiologi, epistimologi, dan ontologi hanya bisa dimiliki oleh segenap manusia yang menggunakan akalnya di suasana dimensi baik (Etika) dan benar (Rasional).

Filsafat mengajarkan keseriusan, kegigihan, kereliguisan, estitika, dan etika; logika, dialektika, kebenaran, dan kebaikan; dan tentu juga kegilaan, yang kalau boleh, aku sebut tingkatan kema’rifatan. Tidak bisa kiranya kita dapat pengakuan publik jikalau selamanya menjadi pengekor, penginduk, dan budak. Orang gila karena Filsafat tidak bisa akan diatur oleh ketidaktahuan, ketidaketisan, ketidakjelasan, ketidakberanian, dan ketidakadilan. Namun, manusia Filsafat akan menerima segala yang ada jikalau masih ada didalam arah cinta dan kebijaksanaan.

Seorang Filsuf harus mempu melampaui kebisaan banyak orang dalam berfikir dan bertindak. Keberagamaan, keberilmuan, dan akhlaq seorang Filsuf haruslah pada puncaknya.

Tidaklah kita akan menemukan manisnya belajar dan bekerja jikalau tanpa kesungguhan, sedangkan kesungguhan akan berusaha menjauh dari aktifitas yang mengganggu tercapainya ujung kesuksesan. Kesungguhan yang aku maksudkan adalah rasa gila. Bercinta harus didasari ketertarikan, dan kenal adalah jalan kedua, namun keberhasilanya jika kita benar-benar gila kepada siapa yang kita cinta. Objek dari kegilaan adalah Satu, dan yang lain bukan miliknya. Begitulah Filsafat mengajarkan.
Seorang pelajar Filsafat dituntut dan dibutuhkan kegilaanya.

Seorang Filsuf adalah yang paling waras dari yang waras. Berfilsafatlah, dan gilalah menggunakan akal yang sehat!

Maaf! Tulisan ini masih belum selesai. Anda tunggu edisi selanjutnya biar tidak salah faham.

Aku tutup dulu ya.

[1] Sesat Menyesatkan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi