Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Warnamu Tak Lagi Indah Dipandang

Rabu, 22 Agustus 2018


Oleh : Homaidi

Tanpa ada keinginan untuk merendahkan siapapun, judul diatas hadir atas susunan premis persoalan yang kiranya membuat miris, terutama penulis sendiri. Hal ini berawal dari persoalan, kegelisahan, dan penyesalan tentunya kepada golongan yang identitasnya pada sebuah warna.

Bukan permasalahan pigmen kulit yang kiranya dapat menghantarkan pada rasisme, bukan. Melainkan persoalan sederhana pada sekelumit organisasi mahasiswa dengan identitasnya masing-masing. Baik itu berupa warna dominan pada bendera atau atribut dan logo yang menyertainya. Karena memang tidak dipungkiri kita hidup pada simbol-simbol. Jika dikaji lebih jauh simbol dapat mengantarkan pada pembentukan pola pikir, paradigm, dan sampai pada taraf ideologi. Sudah, saya rasa kita semua menyepakati hal demikian. Jadi, sampai sini saya perkenankan anda untuk tidak membantah. Hehehe, ~

Syahdan, permasalahan yang sering muncul adalah fanatic yang mengarah pada radikalisme mobilisasi masa. Jika senada dengan Prof. Mahfud, maka sebenarnya fanatik itu boleh dan sah saja. Yang tidak boleh adalah jika sudah memasuki radikal. Sekarang kita ambil contoh, dalam sekelumit dunia mahasiswa kita kenal dengan organisasi mahasiswa GMNI, HMI, dan PMII. Tentunya tiga nama tersebut sudah tidak asing ditelinga kita semua. Jauh sebelum hari ini tiga oraganisasi tersebut sudah dominan identitasnya dari hal warna misalnya, GMNI yang identik dengan merah-hitam, HMI dengan hijau-hitam, dan PMII dengan kuning-biru. Juga; mereka hadir dengan ideologi mereka masing-masing, karena memang ideologi ibaratkan ruh dalam organisasi tersebut.

Salahkah hal demikian? Ya, jelas tidak salah. Hanya orang yang kurang belajar sejarah saja yang bilang kalau hal itu salah. Organisasi itu hadir atas suatu persoalan dan ingin menawarkan sebuah solusi atas ketimpangan sosial khususnya. Dulu, biar saya ceritakan di Indonesia sempat terjadi mobilisasi warna, misalnya pada masa Golkar (sengaja  saya coret biar susah dibacanya). Saat itu partai tersebut sedang mendominasi birokrasi pemerintahan. Akhirnya, banyak gedung dan bahkan sampai rumah harus berwarna sesuai warna benderanya. Apakah anda masih ingat? Kalau tidak mungkin umur saya saja yang terlalu tua. Sekarang kita pakai logika dasar dan berbicara sesuai kenyataan lapangan, hal itu masih dalam taraf wajar dan alamiah. Seperti: saya memiliki organisasi dan kebetulan saya mendapat kedudukan penting dalam pemerintahan, otomatis alamiah yang muncul adalah memasukan yang senada dengan saya (dari organisasi yang sama). Hal ini masih taraf alamiah. Namun, kecacatan pola pikirnya seperti jika sudah memaksakan orang lain untuk senada dengan kita. Terlebih jika semua memiliki inisiatif yang sama, bisa dipastikan sikut-sikutan menjadi agenda berikutnya.

Tidak sampai situ, hal ini akan berdampak pada budaya musyawarah kita, yang nantinya akan mengedepankan egosentris daripada mufakat sosial. Sering terjadi tidak sepakat dengan argument orang yang tidak senada organisasi dengan kita. Sangat disayangkan memang. Walaupun juga pernah bapak kita terdahulu sering tidak sepemikiran, misalnya Soekarno – Hatta. Tapi, yang jelas ketidakselarasan tersebut hadir atas dasar persatuan.

Begini saja, biar kita saling mengingatkan. Semua orang ataupun organisasi yang punya alur pemikiran itu ibaratkan alat kelamin. Semua memilikinya. Tapi, jangan paksa orang lain untuk memeluk alat kelaminmu. Jelas saudara?

Bukalah pandangan kita seluas-luasnya dengan tidak melihat sesuatu dari presepektif egosentris diri sendiri hingga menybabkan konflik yang berkepanjangan. Tak ada yang sahal. Yang salah adalah pemahaman pendek berlandaskan ego dan nafsu. Maka marilah bersama-sama merubah cara pandang kita agar diri kita dan orang lain terselamatkan dari rasa benci, sedikit demi sedikit. Membenci atas dasar warna adalah suatu rasa yang perlu ditanyakan pada diri sendiri. Jika sudah terlanjur memiliki rasa benci, maka pahamilah bahwa rasa benci tersebut bukanlah rasa dari diri kita akan tetapi rasa dari egoisme kita. Diri dan egoisme kita adalah hal yang berbeda, maka buanglah setiap hal yang tidak datang dari diri kita (setiap hal yang bedasar dari egoisme).

Sampai sini, saya kira anda bisa menagkap arah dan maksud tujuan saya. Jadi, jangan repot-repot menanyakan solusi

*Editor: Bung Time
Hadzaanallahu Waiyaakum
Wassalamualaikum


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi