Oleh:
Faidi Ansori
Bertanyalah pada penghuni alam
semesta yang berakal, apakah salahku tak bisa dimaafkan barang sedikit disebabkan kemarahanku pada perempuan yang bernama Rahma Linda Astutik karena sudah menyakiti
hatinya, memukul perasaannya, dan membuka rahasia cintanya terhadap lelaki
lain diluar sana, padahal diantara kita terdapat hubungan yang tampak jelas.
Aku hanya menunggu kapan saatnya datang seorang perempuan yang sama seperti sebagian tubuh dan perasaanku.
Aku hanya menunggu kapan saatnya datang seorang perempuan yang sama seperti sebagian tubuh dan perasaanku.
Bertahun-tahun menanti kedatangan
bulan purnama terasa menanti sesuatu yang tak menentu, tentu hal itu merupakan penantian
yang mengesalkan, tetapi bersikap santai pada diri sendiri akan dirasa indah
jika dijalani walaupun sebenarnya tidak mudah dengan sabar sambil mengelus-ngelus dada.
Itulah yang dialami Anwar
Bachtiar saat menanti kekasih yang dianggapnya bisa melangkah maju bersama-sama menuju kejalan perubahan.
Awal pertemuan Rahma Linda dan Bachtiar
boleh dikatakan terjadi saat terlaksananya agenda diskursi ke-Dwipantara-an yang
bertempat di Pendopo Sriwijaya, Desa. Karang Hutan, Kec. Ramamanggun, Kab.
Pararajo.
Dalam pertemuan itu Rahma Linda duduk
menghadap arah timur didekat Srikandi-srikadi, sementara tempat duduk agak jauh
menghadap kearah selatan mendengarkan keseriusan diskusi yang berlangsung.
Linda tak mengenakan kerudung,
wajahnya ayu, pipinya merona dan memandang serius perbincangan kawan-kawanku
soal keribetan politik kampus. Tapi pada saat itu aku hanya bisa mengakataan didalam kalbu “alangkah sungguh ayunya si Rahma Linda itu, kalau semakin aku melihatnya maka aku khawatir akan jatuh cinta untuk selamanya", demikian kata
hatiku.
Dibenak kepalaku samasekali
tak pernah terbersit untuk bertemu lagi denganya, tapi entah kenapa, pelabuhan
Tanjung Kulon mempertemukan kita ditempat itu. Pada saat yang tidak disangka,
saat itu aku sedang bersama kawan sejawat yaitu Rangga, Arjun, dan Bapak Tukang Becak. Ketiga-tiganya adalah kawan diskusiku.
Lampu warkop yang agak
remang-remang tempatku ngopi kedatangan tamu yang tak diundang. Dua perempuan
mengendarai Beat berwarna hijau
menuju pojok selatan.
“Sepertinya itu Yasiroh, tapi
siapakah yang dibonceng anak itu”. pikirku.
Sejenak mata menangkap kerudung
dan baju yang tak asing dilihat, karena aku malu untuk memanggil Yasiroh, ku meminta Agga untuk memanggil.
“Rang, Rangga, itu sepertinya
Yasiroh adikmu, coba panggil kesini,” pintaku pada Rangga.
Rangga yang sedang khusyu’ membalaskan pesan WhatsApp temannya, tak samasekali merasa terusik dengan panggilanku.
“Rangga, coba lihat anak itu,
siapa mereka,” ucapku pada Rangga sambil memukul-mukul bahunya,”, Rangga dengan
spontan menoleh ke telunjukku yang memusat kearah dua perempuan itu.
“Wah, ya Bang, itu Yasiroh,”
jawabnya dengan singkat.
“Coba, suruh anak itu kesini,
biar kita ngopi bareng-bareng, lagian biar diskusi kita lebih romantis,” suruhku pada Rangga.
Rangga mencoba meyisiri kontak telfon di handphone miliknya, tanpa menunggu lama dalam hitungan detik Rangga kemudian menelfon Yasiroh.
“Halo, ngapain kamu disini,
jomlo ya,” ucap Rangga dengan senyum manis sambil berlagak cengengesan sebagai
sambutan hangatnya sang kakak.
Tapi aku tidak tahu jawaban
dari Yasiroh, namun 3 menit kemudian Yasiroh datang bersama temannya, eh
ternyata! Itu Rahma Linda, wanita yang aku lirik dipermumpulan diskursi ke-Dwipantaraan dulu.
Dua anak itu berlagak dengan
bawaan tawa khas, datangnya pun dengan tertawa lebar. Kedatangan mereka mebuat
bangku diskusi jadi terhenti padahal pada waktu itu kita lagi khusuk membahas tentang
komunisme, islamisme, dan anarxisme, tetapi mereka lalu datang dan menyambut salam.
“Assalamu alaikum Bang?” tukas
salam Yasiroh.
Serantak serempak kita
menjawab “Walaikum salam”
Setelah itu Yasiroh meyodorkan tangannya disusul temannya. Tapi teman yang bersama Yasiroh
sepertinya malu untuk berkenalan, tapi perempuan itu terlihat memirah pipinya
pertanda malu kalau cangkroan dengan kita. Untung saja kita dapat mengerti keadaan
temannya Yasiroh sehingga mereka diseruh nntuk cepat-cepat duduk bersama dan bergabung dalam diskusi
soal kesejaraan Indonesia.
Tapi tetap pada soal biasanya,
Rangga tak bisa diajak diskusi kalau sudah ada perempuan berparaskan ayu apalagi saat itu tepat sekali adalah kawannya Yasiroh. Dengan lagak kegenitan Rangga mulai luncurkan
rayunan gombal ‘Prank’-nya.
“Dik, sepertinya kita pernah
ketumu sebelumnya tah?” tanya Rangga.
Perempuan itu tersenyum
seakan-akan muncul ketertarikan untuk menjawab pertanyaan kawanku tadi.
“Ya tah Mas, dimana ya?.”
Tanya perempuan itu dengan nada penasaran.
“Itu tuh didalam mimpiku. Aku ada sana disampingmu dipelaminan,” gombal Rangga seperti sambil tersenyum lebar.
Perempuan itu tersenyum dalam,
dan menyembunyikan getaran hatinya. Saat Rangga ngobrol dengan perempuan itu tak
lama kemudian bangku diskusi kesejarahan dan pemikiran mulai tak menentu arah. Aku alihkan kesempatan
itu kedalam pembahasan lain, tapi entah kenapa sebelum aku meranjak untuk membawa kediskusi lainnya mulutku tak sengaja menanyakan nama temannya Yasiroh.
“Adik sepertinya pernah aku
lihat dulu di pertemuan diskurtif para
aktivis. Apakah penglihtanku benar?,” tanyaku dengan penasaran. Dia
sejenak berfikir sambil mendengar bunyi ombak pantai pelabuhan sebelah timur, dan menjawab;
“Ya Mas. Sampean yang dulu hadir dipertemuan
itu dan duduk didekat disebelah kiri mas-ku kan?”, jawab dia sambil bertanya untuk
memastikan.
"Ya Dik jawabku,"
"Ya Dik jawabku,"
Dari saking enaknya kita ngobrol, aku sampai lupa menanyakan nama serta jurusan anak itu. Tak lama kemudia
aku tanyakan namanya.
“Dik, namamu siapa”
“Aku Rahma Linda Astutik mas. Mas boleh panggil aku Linda,” jawabnya dengan nada halus.
“Ooo ya, sampean bukankah Mas
Bachtiar tah?” tanya dia balik
“Ooo ya, betul sekali”
jawabku.
“Adik Jurusan apa?” tanyaku penasaran.
“Adik Jurusan apa?” tanyaku penasaran.
“Aku jurusan Arkeologi Mas, ya kebetulan satu
kelas dengan Yasiroh,” jawabnya
“Berarti sama donk denganku,”
sambungku
“Ya Mas,” jawab dia dengan
singkat.
Malam sudah meranjak tua,
jam sudah menunjukkan 01:03, sementara hembusan air laut amat menyengat
memasuki pori-pori kulit, dan diskusi kesejarahan serta pemikiran mulai terlihat kaku.
Aku melihat kawan-kawan sudah mulai tak bisa kuat menolak dinginnya tiupan angin laut, dan terlihat bosan kalau tetap dilanjutkan diskusi kesejarahan.
Aku sadar bahwa kawan-kawan tidak akan kuat untuk melanjutkan diskusi di Warkop pinggir pelabuhan itu. Aku ajak mereka semua pulang.
Aku melihat kawan-kawan sudah mulai tak bisa kuat menolak dinginnya tiupan angin laut, dan terlihat bosan kalau tetap dilanjutkan diskusi kesejarahan.
Aku sadar bahwa kawan-kawan tidak akan kuat untuk melanjutkan diskusi di Warkop pinggir pelabuhan itu. Aku ajak mereka semua pulang.
****
Pelabuhan menjadi saksi kedua atas
pertemuanku dengan Linda.
Angin berhembus keras. Hujan
tak henti-hentinya setiap hari dan malam bercucuran. Perbincangan
diwarung kopi tetap seperti biasanya aku lakukan dibulan-bulan sebelumnya, tapi
sudah hampir dua bulan aku mencoba berdiam diri, ingin merasakan bagaimana bertindak
dan berbicara dengan cara diam.
Hari-hari ku sempatkan untuk
membuka lembaran-lembaran teks sejarah ke-Indonesia-an. Aku ingin sekali
menyelesaikan sejarah para tokoh pahlwan revolusi. Nama yang cukup kental
dialam pikiranku antara lain; Bung Karno, Bung Hatta, Tjokroaminoto, Bung Syahrir,
Bung Yamin, Tan Malaka, Tjipto Mangoenkoesoemo, Tirto, Alimin, Darsono, Semaun, Kh. Hasyim Asy'ari, Kh. Ahmad Dahlan, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh yang telah disebut diatas adalah
pahlawan kekagumanku. Saat aku main-main kewarung kopi dapatlah
aku pinjaman buku yang berjudul “Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan” karya
Restu Gunawan. Buku itu dapat pinjaman dari adik tingkatku di Kampus.
Hari-hari mulai tak memungkinkan aku berbicara banyak, sementara targetku menyelesaikan buku harus segera deselesaikan. Membaca buku di kos-kos-an bukan tradisiku, karamain adalah tempatku menguji kekhusyu’an membaca, mengerti, dan memahami.
Tempat untuk membaca sudah ada. Aku tertuju pada kantin kampus Universtas Batara Bayu (UBB). Disanalah tempat yang harus menjadi unjianku membaca buku.
Hari-hari mulai tak memungkinkan aku berbicara banyak, sementara targetku menyelesaikan buku harus segera deselesaikan. Membaca buku di kos-kos-an bukan tradisiku, karamain adalah tempatku menguji kekhusyu’an membaca, mengerti, dan memahami.
Tempat untuk membaca sudah ada. Aku tertuju pada kantin kampus Universtas Batara Bayu (UBB). Disanalah tempat yang harus menjadi unjianku membaca buku.
Setelah 10 menit dikamar
mandi, badanku sudah bersih. Saatnya aku berakat kekantin kampus.
Selasai memasang baju aku beranjak berangkat. Namun ditengah
perjalanan pikiranku dirasa mulai bimbang dan tidak tahu darimana datangnya pikiran
untuk tidak berselera menuju kantin. Tapi aku tetap memaksa kebimbanganku itu. Alhasih, sampailah aku di kanting Kampus
UBB.
Sesampainya disana aku melihat
pergaulan para mahasiswa tidak lagi seperti kala dulu saat aku masih menjadi
mahasiswa baru sekitar tahun 2008. Warung-warung kopi kemahasiswaan saat ini
tidak menunjukkan sebagai pribadi yang punya karakter dan berjiwa kemahasiswaan,
tetapi yang dilihat menipisnya budaya diskusi, rapat-rapat,
musyawarah, dan membaca buku, tetapi yang banyak aku lihat hanyalah handphone miring yang
menguasi lingkungan kantin.
Aku tidak ingin terjebak dengan
keadaan konyol itu. Maaf aku bukan sengaja menyinggung anda yang memiringan handphone,
silahkan dilanjutkan sampai miring sama orang-orangnya, hehehehe.
Setelah aku menoleh keadaan kantin, lalu ku pesan kopi dan enam batang rokok untuk menemaniku membaca. Aku melihat
kekanan-kekiri, depan dan belakang ternyata sudah banyak yang ditempati mahasiswa. Hanya dipojok timur
tempat kosong yang bisa ku duduki.
Sambil menghisap batang rokok dengan pelan-pelan aku membaca buku tentang biografi Bung Yamin.
Sambil menghisap batang rokok dengan pelan-pelan aku membaca buku tentang biografi Bung Yamin.
Kopi pesanan sudah diantarkan, sekali aku cicipi kopi itu, sambil melihat kekanan-kiri hanya akulah yang sendiri, sementara disebelah barat tempat dudukku ada sekumpulan organisasi yang khusuk lagi bermusyawaroh.
Lembaran buku yang sedang aku dibaca
sudah meranjak 18 halaman, buku itu amat sangat menarik. Sekitar 20 menit aku duduk membaca
karya Restu Gunawan itu sambil mengingat-ingat tanggal, bulan, dan tahun. Sungguh buku itu
teramat-amat bagus..
Dibuku tersebut Ilmu baru bisa aku dapat tentang
sejarah republik ini. Dibuku Karya Restu Gunawan yang berjudul “Muhammad Yamin
dan Cita-cita Persatuan” disebutkan bahwa orang yang pertama kali menggunakan
istilah republik ini bukanlah Tan Malaka, tatapi Tjipto Mangoenkoesoemo pada
tahun 1913, sementara Tan Malaka baru mendengungkan pada tahun 1925 dengan diterbitkannya Naar de Republik Indonesia.
Semakin khusyu’ aku
membacanya, ternyata aku tidak sadar ada perempuan yang menyambangi, ternyata perempuan itu yang pernah kemarin sempat ngobrol
ngopi denganku dipelabuhan, tapi dia hanya menyodorkan tangannya lalu berlangsung mau
berpametan langsung pulang kekosan-nya.
“Mas, aku ke kos duluan ya? Aku
mau istirahat” tukas dia dengan senyum manis dibibirnya.
Aku terkejut melihat Linda,
dia nampak manis sore itu, aku hampir tidak bisa menanggapi pamitannya.
Seketika itu juga aku ajak dia untuk berbicara lain upaya dia tidak pulang, aku suruh dia untuk duduk didekatku sambil bercerita tentang pujaan hatinya walaupun tidak sempat mengatakan ada status diantara keduanya. Tapi yang aneh, dia amat mengagumi dan mencintai kawan diskusiku.
Seketika itu juga aku ajak dia untuk berbicara lain upaya dia tidak pulang, aku suruh dia untuk duduk didekatku sambil bercerita tentang pujaan hatinya walaupun tidak sempat mengatakan ada status diantara keduanya. Tapi yang aneh, dia amat mengagumi dan mencintai kawan diskusiku.
Kawanku Rahib sungguh sangat
diinginkan Linda, setiap hari dan malam Linda selalu menghubunginya, dan kalau tidak dibalas oleh si Rahib Linda langsung bermain chatan nge-bom. Itu aku
ketahui dengan mata kepala sendiri. Bahkan aku tahu apa yang menjadi cerita
asli dari kawanku Rahib tentang Linda, dan juga apa yang diinginkan Rinda dari
Rahib.
Rahib selalu terbuka untukku,
namun saat aku bersama Linda, linda selalu menampakkan manis diwajahnya. Ngobrol
denganku lumayan lama, bahwkan nangis-nangis didepanku. Aku memaklumi jika seorang perempuan menangis dan tersedu-sedu itu karena mengingat dan
menceritakan siapa yang ia sayangi. Maka ia akan menunjukkan kepada orang lain,
termasuk terhadapku.
Aku tidak tega melihat Linda
menangis didepan mataku, aku tak kuasa untuk membersihkan air matanya yang
menetes sampai kelehernya. Itu karena bukan milikku.
Luapan kekaguman, kebencian,
kecintaan, dan kekecewaan sudah bercampur, berkumpul, dan meluar menjadi air
mata. Itulah yang aku bisa lihat dari Linda, tapi sayang aku tak bisa menyentuhnya.
Aku tak tahu bagaimana rasanya
dikecewakan oleh seorang kekasih, tapi itu yang aku rasakan saat Linda
menangisi dan meratapi lelaki yang ia sayangi.
Sore itu aku ajak dia bercanda, sehingga air matanya habis dengan sendirinya. Ditengah-tengah diskusi
berlanjut Linda minta foto Selfie denganku. Dan aku mulai sadar bahwa itu adalah
candaan sebagai hiburan seorang perempuan.
*****
Liburan kampus cukup lama
sekitar satu minggu lebih berlibur menjadi kesempatan Linda untuk pulang
kampung, aku berpesan kepadanya.
“Jika aku nanti tidak bisa
membalas chat-mu, itu berati bukan karena
aku tidak bisa membalas, tetapi aku tidak lagi punya handphone,” tulisku
pada Linda lewat chat WhatsApp.
“Oooya Mas, gak apa-apa” balas
Linda dengan singkat.
Satu minggu aku tidak sempat
menilik kabar dan melihat kecantikan wajah Linda. Satu minggu lebih itu bukan tidaklah
merindu, toh kalaupun ada, itu berarti hanya satu detik dari perasaanku.
Selepas satu minggu lebih aku
tak bertemu, tak disangka malam harinya aku ngopi di warung depan peritigaan
Kampus UBB, aku heran dibuat kepalang, kedatangan Lindan dan Yasiroh
mengejutkan diskusiku bersama kawan-kawan.
Linda membawa dua buah es krim
rasa jagung. Saya masih ingat dengan
kuatnya perasaan kebaikan Dik Linda. Aku melihat pancaran matanya sungguh bersinar indah. Dengan melihat matanya aku tidak pernah bosan. Itulah yang tidak bisa aku lupakan hingga saat ini.
Saat Linda datang aku sungguh
melihatnya lagi bersinar-sinar. Berbicara dengan posisi berdediri sambil menyampaikan
bahwa dia ridu padaku.
“Aku kangen sama Mas-nya” ucapnya dengan gaya manja.
Tersentak hatiku melihat
posisi Linda berbicara seperti yang tadi. Aku tak habis fikir, apa yang membuat
dia berbicara seperti itu, tapi aku tidak terkalu mencoba percaya akan tingkah
tersebut.
*****
Pertemuan demi pertemuan aku
tak mampu menahan rasa yang paling dalam dari perasaan sebenarnya didalam
kedalaman hati. Aku merasa Linda cocok jika ada disampingku, walau pun terkadang
dia bersikab manja. Tapi itulah Linda.
Pertemuan berikutnya aku
berjumpa dengan kata-kata bising digendang telinga. Dua kali ucapan itu
diulangin, aku selalu berfikir apakah perjumpaan adalah kesemuan, atau
perpisahan adalah kepastian.
Aku disindir agar hubungan itu
harus cepat-cepat berlebelkan. Antara aku dan Linda harus dipandang sepasang
dua makhluk yang dieratkan dengan pengikatan. Maka pada malam Jumat aku
tetapkan untuk mengajak Linda jalan-jalan.
Sekitar pukul 12:47 disatu
warung, aku ajak dia untuk berbincang-bincang, tempat sederhana dilapisi banner dan warung yang terbuat dari
bambu sederhana menjadi saksi aku menyebut nama tuhan meminta Linda dihati
kepada tuhan.
Sekitar 16 menit aku ngobrol
dengan ketidak seriusan. Namun ketidakseriusan tidak akan membawakan hasil,
maka saat itu aku berani memancing pertanyaan terhadapnya dengan
pertanyaa-pertanyaan mendekati keseriusan.
“Dik, bolehkah aku bertanya dua
hal kepadamu,” tanyaku dengan santai sambil merokok
“Oooya Mas, mau nanya apa
Mas,” tanya dia dengan senyum cantik.
Sambil aku melirik ke-kanan-kiri,
depan-belakang, pertanyaan itu aku lontarkan.
“Kamu mau memilih yang mana
antara sayang, suka, dan cinta,?” tanyaku dengan serius.
Dia menjawab dengan lumayan panjang,
namun yang aku tangkap hanya dua kata, itulah
“Kata sayang”.
Pertenyaan kedua membuatku
tidak mudah dilontarkan. Aku tidak ingin terjebak dengan kata pacaran walaupun kita berhubungan dan terikat, aku
harus berhati-hati menunjuk hati disebalah sana agar tidak salah meleset.
Dia sudah ada didepanku. Aku tidak lagi bisa mundur dari pendirianku. Aku harus mengatakan apa adanya. Cinta didalam hati semakin dipendam maka akan semakin rusak.
Dia sudah ada didepanku. Aku tidak lagi bisa mundur dari pendirianku. Aku harus mengatakan apa adanya. Cinta didalam hati semakin dipendam maka akan semakin rusak.
Kesempatan datangnya senja tidak perlu dielakkan dengan memejamkan mata.
Linda sudah ada bersamaku,
tangannya aku sentuh dengan ketulusan. Aku pandang dengan dua mata dibawah alis
keindahan. Inginku senja dan langit malam menjadi milik kita.
Dengan tidak perlu basa basi
aku bertanya dengan hati deg-degan
“Dik? Jawablah pertanyaaku.
Apakah adik bisa menerima rasa cintaku untuk memilikumu,? Tanyaku penuh
keraguan.
Dia hanya terdiam, sambil
tidak nyaman duduk didekatku dan atas apa yang aku sampaikan.
“Engkau hanya aku minta jawaban
singkat antara ‘iya dan tidak,” sambungku dalam pertanyaan lagi.
Dia hanya termenung, berfikir,
dan melihat ruangan terbuka itu. Sekitar 15 menit aku menunggu jawabnnya, lalu
baru dia mengatakan
“Ya ayo, jalani saja mas,” tutur
dia dengan serius.
Aku sambut jawaban itu dengan
pertanyaan lagi, “Aku tidak ingin meminta jawaban itu, karena jawaban yang aku
minta ‘iya atau tidak’,” tanyaku padanya.
Empat menit kemudian dia
menjawab, “Iya Mas,” jawab dia dengan singkat.
Itulah yang aku harapkan, maka
syukurku tak kuasa untuk diucapkan dengan perkataan dari amat gembiranya hatiku.
******
Hari demi hari, malam demi
malam aku jalani dengannya sebagaimana dua pasang sahabat, sepertinya dia hanya
bersanding untukku dalam menemani kerinduan dan warung kopi. Malam hanyalah
pertemuan, namun entah kenapa hubungan ini tidak bertahan lama sampai tiga minggu.
Linda mengangapku tidak lagi
satu frekuensi?. Perkataan itu membuatku bertanya-tanya ada apa dengan diriku?.
Benarkah hidup berpasang-pasangan itu haruslah sama. Atau karena disebabkan
alasan lain sehingga dia mengatakan seperti itu?.
Malam harinya aku ajak dia
untuk ketemu denganku. Kenapa aku bisa dikatakan seperti itu. Aku pensaran dengan filosofi perkataan 'frekuensi' tak lama kemudia
dia tak membalasnya. Dia sudah membenci. Chatan WA-ku sudah tidak dibalas. Kusamperi
dia ke-kosan-nya, hingga bolak balik sampai dua kali, baru setelah itu dia keluar dan aku ajak keluar untuk ngobrol
dengan baik-baik tentang perkataan 'frekuensi'.
Sesampainya diwarung kopi, ku
sapa dia dengan pertanyaan.
“Kenapa adik kok seperti itu,
apa salahku?,” aku tenyakan dia dengan santun.
Tapi entah kenapa pertanyaan
demi pertanyaan aku lontarkan, dia hanya mengangguk dan tak menghargaiku.
Kekesalan mulai mengangkat, persolan
yang dari kemari-kemarin aku simpan tak bisa dipendampan, akhirnya saat itu
pula aku luapkan amarahku terhadapnya.
Pertanyaan yang sebenarnya
tidak boleh aku tanyakan ke Linda, soal dua kawan sejawatku
yang dulunya dia sukai, aku paksa ia tanyakan dan harus dijawab dengan kejujuran. Apakah Linda sebenarnya masih
mencintai dua kawan sejawatku.
Entah kenapa dia hanya terdiam.
Aku sudah curiga dia masih mencintai dua kawanku yang sengaja disembunyikan. Khayalku
sungguh sambil nerawang, mungkinkah Linda tipekal seorang perempuan yang bisa
suka pada semua lelaki yang baru dia temui lalu nyaman dengannya sebagai tempat
pelarian, atau memang dia ingin mengujiku, ataukah pula dia sudah tidak
mencintaiku karena tidak satu frekuensi.
Itulah malam yang ku tak bisa
menahan diri untuk memarahi Linda, hingga semua tentang linda, baik foto-foto, nomer handphone aku hapus
didepannya. Ini aku akui sebagai tindakan yang sangat menyakitkan, tapi aku
lakukan karena kecintaanku pada Rahma Linda.
Dari kemarin hari dia sudah
lupa denganku, tambah hari tak lagi menghubungiku, hingga saat ini komunikasi
kita tak kunjung terhubung. Aku ada untuknya dan dia tidak ada untukku. Dia sudah
benar-benar melupakanku, hilang ditelan waktu.
Apakah ini yang disebut cinta
dan belajar dari cinta itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi