Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Datang Dengan Senyuman, Benci Karena Ketidaksamaan Frekuensi

Selasa, 28 Mei 2019



Oleh: Faidi Ansori

Bertanyalah pada penghuni alam semesta yang berakal, apakah salahku tak bisa dimaafkan barang sedikit disebabkan kemarahanku pada perempuan yang bernama Rahma Linda Astutik karena sudah menyakiti hatinya, memukul perasaannya, dan membuka rahasia cintanya terhadap lelaki lain diluar sana, padahal diantara kita terdapat hubungan yang tampak jelas.

Aku hanya menunggu kapan saatnya datang seorang perempuan yang sama seperti sebagian tubuh dan perasaanku.

Bertahun-tahun menanti kedatangan bulan purnama terasa menanti sesuatu yang tak menentu, tentu hal itu merupakan penantian yang mengesalkan, tetapi bersikap santai pada diri sendiri akan dirasa indah jika dijalani walaupun sebenarnya tidak mudah dengan sabar sambil mengelus-ngelus dada.

Itulah yang dialami Anwar Bachtiar saat menanti kekasih yang dianggapnya bisa melangkah maju bersama-sama menuju kejalan perubahan.

Awal pertemuan Rahma Linda dan Bachtiar boleh dikatakan terjadi saat terlaksananya agenda diskursi ke-Dwipantara-an yang bertempat di Pendopo Sriwijaya, Desa. Karang Hutan, Kec. Ramamanggun, Kab. Pararajo.

Dalam pertemuan itu Rahma Linda duduk menghadap arah timur didekat Srikandi-srikadi, sementara tempat duduk agak jauh menghadap kearah selatan mendengarkan keseriusan diskusi yang berlangsung.

Linda tak mengenakan kerudung, wajahnya ayu, pipinya merona dan memandang serius perbincangan kawan-kawanku soal keribetan politik kampus. Tapi pada saat itu aku hanya bisa mengakataan didalam kalbu “alangkah sungguh ayunya si Rahma Linda itu, kalau semakin aku melihatnya maka aku khawatir akan jatuh cinta untuk selamanya", demikian kata hatiku.

Dibenak kepalaku samasekali tak pernah terbersit untuk bertemu lagi denganya, tapi entah kenapa, pelabuhan Tanjung Kulon mempertemukan kita ditempat itu. Pada saat yang tidak disangka, saat itu aku sedang bersama kawan sejawat yaitu Rangga, Arjun, dan Bapak Tukang Becak. Ketiga-tiganya adalah kawan diskusiku.

Lampu warkop yang agak remang-remang tempatku ngopi kedatangan tamu yang tak diundang. Dua perempuan mengendarai Beat berwarna hijau menuju pojok selatan.
“Sepertinya itu Yasiroh, tapi siapakah yang dibonceng anak itu”. pikirku.

Sejenak mata menangkap kerudung dan baju yang tak asing dilihat, karena aku malu untuk memanggil Yasiroh, ku meminta Agga untuk memanggil.

“Rang, Rangga, itu sepertinya Yasiroh adikmu, coba panggil kesini,” pintaku pada Rangga.

Rangga yang sedang khusyu’ membalaskan pesan WhatsApp temannya, tak samasekali merasa terusik dengan panggilanku.

“Rangga, coba lihat anak itu, siapa mereka,” ucapku pada Rangga sambil memukul-mukul bahunya,”, Rangga dengan spontan menoleh ke telunjukku yang memusat kearah dua perempuan itu.

“Wah, ya Bang, itu Yasiroh,” jawabnya dengan singkat.

“Coba, suruh anak itu kesini, biar kita ngopi bareng-bareng, lagian biar diskusi kita lebih romantis,” suruhku pada Rangga.

Rangga mencoba meyisiri kontak telfon di handphone miliknya, tanpa menunggu lama dalam hitungan detik Rangga kemudian menelfon Yasiroh.

“Halo, ngapain kamu disini, jomlo ya,” ucap Rangga dengan senyum manis sambil berlagak cengengesan sebagai sambutan hangatnya sang kakak.

Tapi aku tidak tahu jawaban dari Yasiroh, namun 3 menit kemudian Yasiroh datang bersama temannya, eh ternyata! Itu Rahma Linda, wanita yang aku lirik dipermumpulan diskursi ke-Dwipantaraan dulu.

Dua anak itu berlagak dengan bawaan tawa khas, datangnya pun dengan tertawa lebar. Kedatangan mereka mebuat bangku diskusi jadi terhenti padahal pada waktu itu kita lagi khusuk membahas tentang komunisme, islamisme, dan anarxisme, tetapi mereka lalu datang dan menyambut salam.

“Assalamu alaikum Bang?” tukas salam Yasiroh.

Serantak serempak kita menjawab “Walaikum salam”

Setelah itu Yasiroh meyodorkan tangannya disusul temannya. Tapi teman yang bersama Yasiroh sepertinya malu untuk berkenalan, tapi perempuan itu terlihat memirah pipinya pertanda malu kalau cangkroan dengan kita. Untung saja kita dapat mengerti keadaan temannya Yasiroh sehingga mereka diseruh nntuk cepat-cepat duduk bersama dan bergabung dalam diskusi soal kesejaraan Indonesia.

Tapi tetap pada soal biasanya, Rangga tak bisa diajak diskusi kalau sudah ada perempuan berparaskan ayu apalagi saat itu tepat sekali adalah kawannya Yasiroh. Dengan lagak kegenitan Rangga mulai luncurkan rayunan gombal ‘Prank’-nya.

“Dik, sepertinya kita pernah ketumu sebelumnya tah?” tanya Rangga.
Perempuan itu tersenyum seakan-akan muncul ketertarikan untuk menjawab pertanyaan kawanku tadi.

“Ya tah Mas, dimana ya?.” Tanya perempuan itu dengan nada penasaran.

“Itu tuh didalam mimpiku. Aku ada sana disampingmu dipelaminan,” gombal Rangga seperti sambil tersenyum lebar.

Perempuan itu tersenyum dalam, dan menyembunyikan getaran hatinya. Saat Rangga ngobrol dengan perempuan itu tak lama kemudian bangku diskusi kesejarahan dan pemikiran mulai tak menentu arah. Aku alihkan kesempatan itu kedalam pembahasan lain, tapi entah kenapa sebelum aku meranjak untuk membawa kediskusi lainnya mulutku tak sengaja menanyakan nama temannya Yasiroh.

“Adik sepertinya pernah aku lihat dulu di pertemuan diskurtif  para aktivis. Apakah penglihtanku benar?,” tanyaku dengan penasaran. Dia sejenak berfikir sambil mendengar bunyi ombak pantai pelabuhan sebelah timur, dan menjawab;

“Ya Mas. Sampean yang dulu  hadir dipertemuan itu dan duduk didekat disebelah kiri mas-ku kan?”, jawab dia sambil bertanya untuk memastikan.

"Ya Dik jawabku," 

Dari saking enaknya kita ngobrol, aku sampai lupa menanyakan nama serta jurusan anak itu. Tak lama kemudia aku tanyakan namanya.

“Dik, namamu siapa”

“Aku Rahma Linda Astutik mas. Mas boleh panggil aku Linda,” jawabnya dengan nada halus.

“Ooo ya, sampean bukankah Mas Bachtiar tah?” tanya dia balik

“Ooo ya, betul sekali” jawabku.

“Adik Jurusan apa?” tanyaku penasaran.

“Aku jurusan Arkeologi Mas, ya kebetulan satu kelas dengan Yasiroh,” jawabnya

“Berarti sama donk denganku,” sambungku

“Ya Mas,” jawab dia dengan singkat.

Malam sudah meranjak tua, jam sudah menunjukkan 01:03, sementara hembusan air laut amat menyengat memasuki pori-pori kulit, dan diskusi kesejarahan serta pemikiran mulai terlihat kaku.

Aku melihat kawan-kawan sudah mulai tak bisa kuat menolak dinginnya tiupan angin laut, dan terlihat bosan kalau tetap dilanjutkan diskusi kesejarahan.

Aku sadar bahwa kawan-kawan tidak akan kuat untuk melanjutkan diskusi di Warkop pinggir pelabuhan itu. Aku ajak mereka semua pulang.

****
Pelabuhan menjadi saksi kedua atas pertemuanku dengan Linda.

Angin berhembus keras. Hujan tak henti-hentinya setiap hari dan malam bercucuran. Perbincangan diwarung kopi tetap seperti biasanya aku lakukan dibulan-bulan sebelumnya, tapi sudah hampir dua bulan aku mencoba berdiam diri, ingin merasakan bagaimana bertindak dan berbicara dengan cara diam.

Hari-hari ku sempatkan untuk membuka lembaran-lembaran teks sejarah ke-Indonesia-an. Aku ingin sekali menyelesaikan sejarah para tokoh pahlwan revolusi. Nama yang cukup kental dialam pikiranku antara lain; Bung Karno, Bung Hatta, Tjokroaminoto, Bung Syahrir, Bung Yamin, Tan Malaka, Tjipto Mangoenkoesoemo, Tirto, Alimin, Darsono, Semaun, Kh. Hasyim Asy'ari, Kh. Ahmad Dahlan, dan lain-lain.

Tokoh-tokoh yang telah disebut diatas adalah pahlawan kekagumanku. Saat aku main-main kewarung kopi dapatlah aku pinjaman buku yang berjudul “Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan” karya Restu Gunawan. Buku itu dapat pinjaman dari adik tingkatku di Kampus.

Hari-hari mulai tak memungkinkan aku berbicara banyak, sementara targetku menyelesaikan buku harus segera deselesaikan. Membaca buku di kos-kos-an bukan tradisiku, karamain adalah tempatku menguji kekhusyu’an membaca, mengerti, dan memahami.

Tempat untuk membaca sudah ada. Aku tertuju pada kantin kampus Universtas Batara Bayu (UBB). Disanalah tempat yang harus menjadi unjianku membaca buku.

Setelah 10 menit dikamar mandi, badanku sudah bersih. Saatnya aku berakat kekantin kampus. Selasai memasang baju aku beranjak berangkat. Namun ditengah perjalanan pikiranku dirasa mulai bimbang dan tidak tahu darimana datangnya pikiran untuk tidak berselera menuju kantin. Tapi aku tetap memaksa kebimbanganku itu. Alhasih, sampailah aku di kanting Kampus UBB.

Sesampainya disana aku melihat pergaulan para mahasiswa tidak lagi seperti kala dulu saat aku masih menjadi mahasiswa baru sekitar tahun 2008. Warung-warung kopi kemahasiswaan saat ini tidak menunjukkan sebagai pribadi yang punya karakter dan berjiwa kemahasiswaan, tetapi yang dilihat menipisnya budaya diskusi, rapat-rapat, musyawarah, dan membaca buku, tetapi yang banyak aku lihat hanyalah handphone miring yang menguasi lingkungan kantin.

Aku tidak ingin terjebak dengan keadaan konyol itu. Maaf aku bukan sengaja menyinggung anda yang memiringan handphone, silahkan dilanjutkan sampai miring sama orang-orangnya, hehehehe.

Setelah aku menoleh keadaan kantin, lalu ku pesan kopi dan enam batang rokok untuk menemaniku membaca. Aku melihat kekanan-kekiri, depan dan belakang ternyata sudah banyak yang ditempati mahasiswa. Hanya dipojok timur tempat kosong yang bisa ku duduki.

Sambil menghisap batang rokok dengan pelan-pelan aku membaca buku tentang biografi Bung Yamin.

Kopi pesanan sudah diantarkan, sekali aku cicipi kopi itu, sambil melihat kekanan-kiri hanya akulah yang sendiri, sementara disebelah barat tempat dudukku ada sekumpulan organisasi yang khusuk lagi bermusyawaroh.

Lembaran buku yang sedang aku dibaca sudah meranjak 18 halaman, buku itu amat sangat menarik. Sekitar 20 menit aku duduk membaca karya Restu Gunawan itu sambil mengingat-ingat tanggal, bulan, dan tahun. Sungguh buku itu teramat-amat bagus..

Dibuku tersebut Ilmu baru bisa aku dapat tentang sejarah republik ini. Dibuku Karya Restu Gunawan yang berjudul “Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan” disebutkan bahwa orang yang pertama kali menggunakan istilah republik ini bukanlah Tan Malaka, tatapi Tjipto Mangoenkoesoemo pada tahun 1913, sementara Tan Malaka baru mendengungkan pada tahun 1925 dengan diterbitkannya Naar de Republik Indonesia.

Semakin khusyu’ aku membacanya, ternyata aku tidak sadar ada perempuan yang menyambangi, ternyata perempuan itu yang pernah kemarin sempat ngobrol ngopi denganku dipelabuhan, tapi dia hanya menyodorkan tangannya lalu berlangsung mau berpametan langsung pulang kekosan-nya.

“Mas, aku ke kos duluan ya? Aku mau istirahat” tukas dia dengan senyum manis dibibirnya.
Aku terkejut melihat Linda, dia nampak manis sore itu, aku hampir tidak bisa menanggapi pamitannya.

Seketika itu juga aku ajak dia untuk berbicara lain upaya dia tidak pulang, aku suruh dia untuk duduk didekatku sambil bercerita tentang pujaan hatinya walaupun tidak sempat mengatakan ada status diantara keduanya. Tapi yang aneh, dia amat mengagumi dan mencintai kawan diskusiku.

Kawanku Rahib sungguh sangat diinginkan Linda, setiap hari dan malam Linda selalu menghubunginya, dan kalau tidak dibalas oleh si Rahib Linda langsung bermain chatan nge-bom. Itu aku ketahui dengan mata kepala sendiri. Bahkan aku tahu apa yang menjadi cerita asli dari kawanku Rahib tentang Linda, dan  juga apa yang diinginkan Rinda dari Rahib.

Rahib selalu terbuka untukku, namun saat aku bersama Linda, linda selalu menampakkan manis diwajahnya. Ngobrol denganku lumayan lama, bahwkan nangis-nangis didepanku. Aku memaklumi jika seorang perempuan menangis dan tersedu-sedu itu karena mengingat dan menceritakan siapa yang ia sayangi. Maka ia akan menunjukkan kepada orang lain, termasuk terhadapku.

Aku tidak tega melihat Linda menangis didepan mataku, aku tak kuasa untuk membersihkan air matanya yang menetes sampai kelehernya. Itu karena bukan milikku.
Luapan kekaguman, kebencian, kecintaan, dan kekecewaan sudah bercampur, berkumpul, dan meluar menjadi air mata. Itulah yang aku bisa lihat dari Linda, tapi sayang aku tak bisa menyentuhnya.

Aku tak tahu bagaimana rasanya dikecewakan oleh seorang kekasih, tapi itu yang aku rasakan saat Linda menangisi dan meratapi lelaki yang ia sayangi.

Sore itu aku ajak dia bercanda, sehingga air matanya habis dengan sendirinya. Ditengah-tengah diskusi berlanjut Linda minta foto Selfie denganku. Dan aku mulai sadar bahwa itu adalah candaan sebagai hiburan seorang perempuan.

*****
Liburan kampus cukup lama sekitar satu minggu lebih berlibur menjadi kesempatan Linda untuk pulang kampung, aku berpesan kepadanya.

“Jika aku nanti tidak bisa membalas chat­­-mu, itu berati bukan karena aku tidak bisa membalas, tetapi aku tidak lagi punya handphone,” tulisku pada Linda lewat chat WhatsApp.

“Oooya Mas, gak apa-apa” balas Linda dengan singkat.

Satu minggu aku tidak sempat menilik kabar dan melihat kecantikan wajah Linda. Satu minggu lebih itu bukan tidaklah merindu, toh kalaupun ada, itu berarti hanya satu detik dari perasaanku.

Selepas satu minggu lebih aku tak bertemu, tak disangka malam harinya aku ngopi di warung depan peritigaan Kampus UBB, aku heran dibuat kepalang, kedatangan Lindan dan Yasiroh mengejutkan diskusiku bersama kawan-kawan.

Linda membawa dua buah es krim rasa jagung. Saya masih ingat dengan kuatnya perasaan kebaikan Dik Linda. Aku melihat pancaran matanya sungguh bersinar indah. Dengan melihat matanya aku tidak pernah bosan. Itulah yang tidak bisa aku lupakan hingga saat ini.

Saat Linda datang aku sungguh melihatnya lagi bersinar-sinar. Berbicara dengan posisi berdediri sambil menyampaikan bahwa dia ridu padaku.

“Aku kangen sama Mas-nya” ucapnya dengan gaya manja.

Tersentak hatiku melihat posisi Linda berbicara seperti yang tadi. Aku tak habis fikir, apa yang membuat dia berbicara seperti itu, tapi aku tidak terkalu mencoba percaya akan tingkah tersebut.
*****
Pertemuan demi pertemuan aku tak mampu menahan rasa yang paling dalam dari perasaan sebenarnya didalam kedalaman hati. Aku merasa Linda cocok jika ada disampingku, walau pun terkadang dia bersikab manja. Tapi itulah Linda.

Pertemuan berikutnya aku berjumpa dengan kata-kata bising digendang telinga. Dua kali ucapan itu diulangin, aku selalu berfikir apakah perjumpaan adalah kesemuan, atau perpisahan adalah kepastian.

Aku disindir agar hubungan itu harus cepat-cepat berlebelkan. Antara aku dan Linda harus dipandang sepasang dua makhluk yang dieratkan dengan pengikatan. Maka pada malam Jumat aku tetapkan untuk mengajak Linda jalan-jalan.

Sekitar pukul 12:47 disatu warung, aku ajak dia untuk berbincang-bincang, tempat sederhana dilapisi banner dan warung yang terbuat dari bambu sederhana menjadi saksi aku menyebut nama tuhan meminta Linda dihati kepada tuhan.

Sekitar 16 menit aku ngobrol dengan ketidak seriusan. Namun ketidakseriusan tidak akan membawakan hasil, maka saat itu aku berani memancing pertanyaan terhadapnya dengan pertanyaa-pertanyaan mendekati keseriusan.

“Dik, bolehkah aku bertanya dua hal kepadamu,” tanyaku dengan santai sambil merokok

“Oooya Mas, mau nanya apa Mas,” tanya dia dengan senyum cantik.
Sambil aku melirik ke-kanan-kiri, depan-belakang, pertanyaan itu aku lontarkan.

“Kamu mau memilih yang mana antara sayang, suka, dan cinta,?” tanyaku dengan serius.
Dia menjawab dengan lumayan panjang, namun yang aku tangkap hanya dua kata, itulah 
“Kata sayang”.

Pertenyaan kedua membuatku tidak mudah dilontarkan. Aku tidak ingin terjebak dengan kata pacaran walaupun kita berhubungan dan terikat, aku harus berhati-hati menunjuk hati disebalah sana agar tidak salah meleset.

Dia sudah ada didepanku. Aku tidak lagi bisa mundur dari pendirianku. Aku harus mengatakan apa adanya. Cinta didalam hati semakin dipendam maka akan semakin rusak. 
Kesempatan datangnya senja tidak perlu dielakkan dengan memejamkan mata.

Linda sudah ada bersamaku, tangannya aku sentuh dengan ketulusan. Aku pandang dengan dua mata dibawah alis keindahan. Inginku senja dan langit malam menjadi milik kita.

Dengan tidak perlu basa basi aku bertanya dengan hati deg-degan

“Dik? Jawablah pertanyaaku. Apakah adik bisa menerima rasa cintaku untuk memilikumu,? Tanyaku penuh keraguan.

Dia hanya terdiam, sambil tidak nyaman duduk didekatku dan atas apa yang aku sampaikan.

“Engkau hanya aku minta jawaban singkat antara ‘iya dan tidak,” sambungku dalam pertanyaan lagi.

Dia hanya termenung, berfikir, dan melihat ruangan terbuka itu. Sekitar 15 menit aku menunggu jawabnnya, lalu baru dia mengatakan

“Ya ayo, jalani saja mas,” tutur dia dengan serius.

Aku sambut jawaban itu dengan pertanyaan lagi, “Aku tidak ingin meminta jawaban itu, karena jawaban yang aku minta ‘iya atau tidak’,” tanyaku padanya.

Empat menit kemudian dia menjawab, “Iya Mas,” jawab dia dengan singkat.

Itulah yang aku harapkan, maka syukurku tak kuasa untuk diucapkan dengan perkataan dari amat gembiranya hatiku.
******
Hari demi hari, malam demi malam aku jalani dengannya sebagaimana dua pasang sahabat, sepertinya dia hanya bersanding untukku dalam menemani kerinduan dan warung kopi. Malam hanyalah pertemuan, namun entah kenapa hubungan ini tidak bertahan lama sampai tiga minggu.

Linda mengangapku tidak lagi satu frekuensi?. Perkataan itu membuatku bertanya-tanya ada apa dengan diriku?. Benarkah hidup berpasang-pasangan itu haruslah sama. Atau karena disebabkan alasan lain sehingga dia mengatakan seperti itu?.

Malam harinya aku ajak dia untuk ketemu denganku. Kenapa aku bisa dikatakan seperti itu. Aku pensaran dengan filosofi perkataan 'frekuensi' tak lama kemudia dia tak membalasnya. Dia sudah membenci. Chatan WA-ku sudah tidak dibalas. Kusamperi dia ke-kosan-nya, hingga bolak balik sampai dua kali, baru setelah itu dia keluar dan aku ajak keluar untuk ngobrol dengan baik-baik tentang perkataan 'frekuensi'.

Sesampainya diwarung kopi, ku sapa dia dengan pertanyaan.

“Kenapa adik kok seperti itu, apa salahku?,” aku tenyakan dia dengan santun.

Tapi entah kenapa pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan, dia hanya mengangguk dan tak menghargaiku.

Kekesalan mulai mengangkat, persolan yang dari kemari-kemarin aku simpan tak bisa dipendampan, akhirnya saat itu pula aku luapkan amarahku terhadapnya.

Pertanyaan yang sebenarnya tidak boleh aku tanyakan ke Linda, soal dua kawan sejawatku yang dulunya dia sukai, aku paksa ia tanyakan dan harus dijawab dengan kejujuran. Apakah Linda sebenarnya masih mencintai dua kawan sejawatku.

Entah kenapa dia hanya terdiam. Aku sudah curiga dia masih mencintai dua kawanku yang sengaja disembunyikan. Khayalku sungguh sambil nerawang, mungkinkah Linda tipekal seorang perempuan yang bisa suka pada semua lelaki yang baru dia temui lalu nyaman dengannya sebagai tempat pelarian, atau memang dia ingin mengujiku, ataukah pula dia sudah tidak mencintaiku karena tidak satu frekuensi.

Itulah malam yang ku tak bisa menahan diri untuk memarahi Linda, hingga semua tentang linda, baik foto-foto, nomer handphone aku hapus didepannya. Ini aku akui sebagai tindakan yang sangat menyakitkan, tapi aku lakukan karena kecintaanku pada Rahma Linda.

Dari kemarin hari dia sudah lupa denganku, tambah hari tak lagi menghubungiku, hingga saat ini komunikasi kita tak kunjung terhubung. Aku ada untuknya dan dia tidak ada untukku. Dia sudah benar-benar melupakanku, hilang ditelan waktu.

Apakah ini yang disebut cinta dan belajar dari cinta itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi