Oleh: Aryo
Gendeng
“Aduh, aduh, aduh” suara lirih
Pak Raji karena rasa sakit yang nyeri dari perutya. Perut yang kembung itu
membebani Pak Raji untuk berjalan. Pak Raji tidak bisa kencing dan kentut.
Penyakit apa lagi ini? kok bisa ada orang yang sakitnya seprti itu? Apa mungkin
penyakit ini yang dinamaka santet? Ayau kencing manis? Aku juga tidak tau! Yang
aku tau, Kak Rosidi menangis sambil memegang perut bapaknya yaitu pak Raji.
Adapaun Sumrati istri dari Rosidi juga bercucuran air mata ketika melihat
Mertuanya itu menjerit kecil sambil memegang perutnya. Tidak beda pula
dengan Sutiha istri Pak Raji, bukan hanya melepas air mata melainkan menangis
sambil berguling-guling ke lantai lantaran penyakit yang meimpa suaminya. Aku
harus bagaimana ketika melihat semua telah buntu akal? Apakah aku harus usul
untuk membawa Pak Raji ke rumah sakit terdekat? Tidak! itu tidak bisa! aku di
sini siapa? Aku hanya anak kecil yang suaranya tidak dibtutuhkan, dengan sangat
terpaksa aku harus diam meski aku sudah tak tahan dengan buntunya akal mereka
lantaran kepanikan mereka berlarut-larut!
Setelah satu jam aku bergumam
dalam hati. Tiba-tiba seorang dengan kopyah putih dan pakaian serba putih
disertai dengan ikat kepala putih (Sorban) datang dan masuk dari pintu depan
rumah. dia duduk disebelah kiri bu’ Sutihah yang baru saja berhenti berguling-guling.
Ternyata yang berpakaian serba putih itu aba bi’in. abanya sepupu ku. Ba bi’in
namanya, dia baru dua bulan datang dari tanah mekah. Dengan gaya santai
layaknya pak kiayi, dia memberi masukan kepada pak Raji dan keluarganya “Lebih
baik dia dibawa ke dokter atau rumah sakit terdekat.” begitulah masukannya,
masukan tersebut diterima dengan tidak memberatkan hati pak Raji dan
keluarganya, terutama kak Rosidi “memang itu, rencana saya paman, tapi saya
lupa karena kebinguan tadi. sepertinya tak ada harapan lagi untuk bapakku!
Baiklah ayo cepat mumpung masih tidak terlalu malam”. lontaran kak rosidi
membuka otak-otak yang berlarut-larut membuntu tadi.
Di bawah bulan yang memekar
Mobil-Mobil berjalan dengan ke elokan dan gaya masing-masing. Mobil truk dengan
gaya gagah seperti gajah. Mobil sedan dengan gaya Siputnya. Pemandang diluar
mobil sangat indah banyak lampu-lampu yang menempel di depan mobil berjalan
dengan kencag. 15 menit perjalanan menuju Puskesmas terdekat. Puskesmas
Jerengik kabupaten Sampag Setibanya disana Pak Raji sekeluarga disambut dengan
baik oleh perawat dan petugas PUSKESMAS. Pak Raji diangkat bersama oleh
perawatnya ranjang yang beroda empat. Entah apa nama dari ranjang itu! dan
darimana asal usul ranjang yang bisa berjalan itu! yang jelas ranjang itu
sangat berguna di puskemas.
“Eh, jangan masuk dulu, Pak Raji
masih diperiksa oleh Dokter” perawat yang ikut mengangkat pak raji melarang
saya dan keluarga Pak Raji masuk kedalam ruangan yang di tempati pak raji.
“Oh, kok bisa. Saya kan
keluarganya?” usaha kak rosidi untuk mesuk ke dalam ruangan itu.
“Bukan begitu pak, tapi jangan
memganggu dokter yang berusaha menemukan penyakit ayah sampean!” penjelasan
perawat itu membuat kepala kak rosidi mengangguk mengerti dengan larangan
perawat itu.
“Baiklah akan aku tunggu di luar
kalau seperti itu” ucap Kak rosidi dengan mebebbankn tubuhb ke kursi disamping
kanannya.
Penyakit apakah yang mendekap pak
raji? Apakah dokter akan menemukannya? atau tuhan yang memberitukan kepada
dokter lewat pengetahuan yang dititipkannya? Sungguh termasuk orang yang Musrik
kita ini. Mendahulukan diri dalam suatu hal. Padahal kita ini seperti korek
yang tidak akan menyala kecuali ada yang menyalakan. Mudah-mudahan tuhan
mengampuni kita semua atas ketakabburan kita.
8 menit Kami menunggu di depan
kamar yang di tempti pak raji, sehingga dokter itu keluar dengan wajah yang
tidak mengenakan hati.
“Bagaimana dok?” pertanyaan kak
rosidi memberhentikan dokter yang semula menuju ke ruangannya.
“Ia, begini. Pak Raji sudah
terlalu lama mengidap penyakit itu. penyakitnya kencing batu. Jadi ak Raji
harus segera dirujuk ke rumah sakit Kota” jawaban dari pak dokter membuat kak
Rosidi mengerti apa yang harus dilakukan setelah itu.
“Baiklah aku akan merujuk ke
rumah sakit kota dok” ucap kak Rosidi kepada pak dokter. Dan mau mengurus
keperluan yang dibutuhkan untuk dapat dirujuk ke rumah sakit kota.
Dalam perjalanan Pak Raji meminta
berhenti di Desa kelampes dekat rumahnya pak Raji. Setelah berhenti.
“Brek. maaf ya semua aku tak mau
ke rumah sakit! Tidak!” ucap Pak Raji dengan lari menuju lorong kecil utaranya
jalan raya. Semua orang kaget ketika meliahat pak Raji lari dengan hanya
memakai kolor dan sarung yang di sandangnya. Anehnya lagi orang-orang yang
menemani Pak Raji dalam mobil itu tidak mengejar Pak Raji. Entah karena heran
atau karena apa aku juga tidak tau. Secara sepontan aku membelokan sepeda motor
yang ku kendarai ke arah yang sama dengan pak raji, tapi beda jalan. Saya akan
memotong jalan dan akan memberentikan pak raji. aduh, kenapa motor ini kok
berhenti mendadak, apa yang terjadi apakah motor yang ku kendarai mogok. Apa,
adu, dengan sangat terpaksa aku harus mengamarkan motorku ke bengkel. Aku
langsung melarikan motor ku ke bengkel terdekat. Langsung saja aku mengejar pak
raji yang lari ke utara tadi. Lo kemana Pak Raji? Apakah mungkin dia sudah
sampai ke rumahnya? Atau dia ngumpet di rumah tetangga? Mudah-mudahan dia
langsung pulang kerumahnya.
*** **
“Hahaha. Kenapa kama lari cak?”
aku lari karena aku tak yakin dengan para dokter itu.” “kok bisa”
“Pasti nanti di suruh ngurus KK,
inilah itulah, pokoknya banyak deh yang harus diurus nati itu” “oh, terus
gimana ini” “kini hanya tuhan harapanku”.
Suara-suara siapa itu yang di
teras duduk di kursi warna biru? Pak Selamet, dan Pak Raji berbincang-bincang .
“Aku punya kenalan kiyai cak,
semua orang yang berobat ke sana pasti sembuh” pernyataan pak Selamet memberi
harapan dan minat yang besar untuk pak raji.
“Benarkah” pak raji merespon
pernyataan pak selamet dengan memolototkan kepalanya.
“Tapi, anak dan istri Pak
Raji masih belum pulang” pak selamet mengingatkan Pak Raji tentang anak
dan istri yang di tinggalkan.
“Tak usa menunggu merekalah, biar
mereka menunggu di jalan nanti, ayo berangkat” Pak Raji menepuk pundak pak Selamet,
tanpa memikirkan keselamatan anaknya.
“Ok” dengantersenyum pak Selaamet
membalas pernyataan pak raji.
“Pak, tunggu” Aku pun mengejar
mereka dengan panggilan yang disertai dengan lambaian tangan.
“Iya. ada apa ya cong?” tanya pak
Selamet sambil memperhatikan nafasku yang ngos ngosan.
“Ba, ba, bapak berdua, mau
kemana?” tanya ku kembali kepada mereka. Sambil mengatur nafas yang ngos ngosan.
“kami mau brobat. Mau minta
pendapat pada kiayi”
“Bolehkah saya ikut?” dengan
harapan yang sangat, aku ajukan kepada mereka agar bisa bersilaturahmi dengan
kiayi.
“Ok, boleh tapi kamu bawa sepeda
sendiri ya?” dengan diterimanya aku bercabis kepada kiyayi, aku disuruh membawa
sepeda sendiri.
“Baiklah” dengan sangat
tergesah-gesah aku naik sepeda mengikuti mereka.
Satu jam aku mengikuti mereka
menuju rumah kiayi. Akhirnya samapilah kami dengan selamat. Pak kiyai itu sudah
tua. Kira-kira sudah berumur 50 tahun. Dia sangat senang dengan baju lusuh
hitamnya. jenggotnya menjadi ciri khas kiyai itu. kami disambut dengan baik
bahkan kiyayi itu memberi hidangan untuk kami santap. solusi daripada
penyembuhan penyakit yang dibawa pak raji itu ada. Pak Raji di kasih jamu. Kata
beliau, jamu racikan sendiri. Pak Raji bukan hanya dikasih jamu tapi di kasih
mantra juga. Setelah satujam setengah kami berbincang-bincang dengan kiayi itu.
kami pamit untuk undur diri. Bergegaslah kami dari rumah megah pak kiyai itu.
*****
Apa yang terjadi dirumah Pak
Raji! Kok banyak orang! Apakah ada orang yang hajatan! atau ada orang
meninggal! Mereka menangis! Menangis karena apa mereka itu? Apakah menangis
karena ketidak sembuhan pak raji? Oh, ternyata mereka menangis karena Pak Raji
menghilang tadi. Mereka pikir pak raji bunuh diri lantaran penyakitnya
memberatkan beban mereka. Tidak bapak-bapak dan ibu-ibu. Pak Raji tidak akan
melakukan hal yang konnyol. Mungkin karena tidak berpamitan waktu ke rumah pak
kiyai. Mereka jadi tidak tau dengan kepergian pak raji.
Setelah 3 hari jamu yang dikasih
pak kiayi di minum, Pak Raji sudah tidak sakit perut lagi. Namun perutnya masih
kembung. Pas keesokan harinya hari ke empat setelah jamu itu diminum. Pak Raji
merasakan sakit yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sakit itu berada di tepat
pusar perut. 5 jam lamanya Pak Raji ditanjak sakit itu. meski aku tidak tau
rasa sakit perut pak raji, tapi aku tau dan mendengar suara tangisan pak raji.
5 menit kemudian datang seorang ibu tua dengan pakaian yang tak layak di pakai.
beliau membawa segelas air yang berwarna kuning . gelas itu bwerikan ke tangan
pak raji. Dan pak raji pun mengambil dan langsung meminumnya. Setelah satu
menit kemudian ada suara kentut yang bunyinya panjang “Tuuuuuuuuut” siapakah
yang ketut itu. apak Pak Raji yang kentut. Apakah mungkin air kuning di gelas
tadi yang menyembuhkan? dan siapakah ibu tua tadi? Dia mirip dengan Pak Raji.
oh, ternyata ibu itu ibunya Pak Raji. terus air itu, air apa? Apakah mungkin
kencing! Sebab warnanya sama dengan kencing. Ia ternyata ibu itu membawa air
kencing untuk Pak Raji. Jadi memang benar kata tuhan. Rido tuhan akan tersiram
apabila rido ibunya terlontar. Sembuhlah penyakit pak raji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi