“Aku dimana?” Sekelilingku masih sangat tampak sunyi, sepi, tanpa Kelam. Aku melangkah
pelan, mengikuti
kemana arah akan membawaku. Ini seperti bukan di duniaku, aku takut, aku masih
takut jika aku harus benar-benar sendiri disini. “Selamat datang dirumahmu”
tulisan ini terpampang jelas disamping Danau mimpiku. “Kau senang? Tinggalah
disini” aku mendengar bisikan ini, jelas ditelingaku. Aku masih mencari asal
suara itu, apakah ada penghuni ditempat ini? Ini tempat yang indah, Penuh
pepohonan, Bermacam warna bunga ditiap sudutnya, Danau yang memiliki suara
ketenangan, Benar aku suka tempat ini. Tapi dimanakah ini?
*****
Aku terbangun dari mimpiku “Mimpi ini lagi” gumamku. Jam dinding ku sudah menunjukkan angkanya di arah pukul 06.30 WIB. “Tya, kamu nggak lupa kan? Hari ini kamu masuk pagi” aku menyimpan kembali ponselku diatas meja samping tempat tidurku. Malas rasanya tapi, yasudahlah. Sebelum aku memulai semuanya, perkenalkan namaku “Tyas Dwi Sekar” teman-teman ku banyak memanggilku dengan sebutan “Tya”. Aku seorang Penyiar radio di salah satu Stasiun radio swasta di kotaku. Sebenarnya ini bukan benar-benar bakat ku, tapi sedikit impianku selain menjadi seorang penulis. Aku senang menyendiri, menghabiskan waktu dengan membaca buku karya penulis ternama di Indonesia, atau hanya sekedar membaca kumpulan puisi dari buku “Kuajak kau lari ke hutan dan tersesat bersama”. Memang terkesan sangat mellow yah hidupnya, tapi aku sangat menikmati. Selain itu, kamu akan menemukan beberapa kisah yang belum ku sebutkan saat ini. Aku perempuan yang menyukai Bulan ditengah sunyinya malam.
*****
“Tya,
siap2 tamu kita sudah datang” terkadang aku masih sangat kebingungan jika harus
berbicara dihadapan orang. Ketika aku mulai merasa, aku lebih sanggup berbicara
banyak hal hanya diatas kertas. Kali ini owner
dari hotel Cempaka menjadi salah satu narasumber kita. Kebetulan hotel ini
terletak disamping stasiun radio. Menurut info dari teman-teman penyiar lainnya
dia masih Muda (Katanyasih). “Selamat siang,” aku mendengar suara itu, jelas
sekali ketika aku masih alihkan pandangan ku dihadapan lembaran pertanyaan.
“Selamat siang, silahkan duduk mas” ucapku pelan dengan sedikit senyum yang ku
poles. Ternyata benar, dia masih muda, dengan penampilan yang menawan berkemeja
rapi dengan dasi berwarna dongker garis-garis. Yasudah lupakan, jangan terlalu
banyak mendeskripsikannya, aku tak mau terlihat seperti sedang mengaguminya.
“Bisa dimulai?”
Sedikit
aku menatap, tanpa berharap lama untuk menatapnya. “oh yah, maaf. Mari kita
mulai” Tombol On Air sudah menyala,
saatnya aku memulai semua dengan bertanya “Siapa namamu?”
*****
Terkadang aku tak pernah mengerti
jalan hidupku ini akan berakhir seperti apa. Bukan meragukan apa yang akan Tuhan
berikan kepadaku. Aku hanya tak cukup mengerti metode pembelajaran Sakit
hati seperti apa yang akan terus Tuhan berikan kepadaku. Ingat, aku bukan
menistakan cintaku kepada Tuhanku. Hanya saja, itu yang selama ini aku rasakan.
Kehidupan, Asmara, ah semua ku rasa FLAT. Tak semacam enaknya permen
nano-nano. Seketika rasa hancurku usang.
Ketika aku tau, cinta bisa mengubah segala pandangan burukku terhadap Tuhan.
Aku tak tau, apakah benar ini yang
namanya kemesraan dalam cinta .Pikirkan sesuatu yang harusnya tak perlu ku
fikirkan. Tapi bagaimana mungkin?
Aku saja tak sanggup kendalikan jiwa ku ketika Cinta benar-benar di depan mata.
Ketika aku merasa ingin membuat segala
sesuatu indah untuknya. Menyenandungkan ungkapan hati yang semakin lama, semakin
tak sanggup aku tahan kembali. GILA! Sudah sekian kali aku paksakan jiwaku tuk
tidak lagi berharap pada sesuatu hal. Sayangnya, ketika aku berusaha sekuat
jiwaku berlari dari Rasa itu, aku tak
pernah berhasil temukan celah tuk melarikan diri. Dan karenamu, aku belajar
untuk tidak menyembunyikan rasa yang sesungguhnya.
Ah semoga saja ini bukan mimpi burukku
menjelang fajar tiba. Sesekali aku
kembali tersadar dari lamunanku, kembali menatap kertas yang tlah penuh
dengan coretan dan baru kusadari,
namamu tertulis jelas disana. Huh,
sepertinya suara hatiku masih saja berusaha berkata bahwa aku benar-benar jatuh
hati padanya.
*****
“KAU TAK BISA MEMASAK DENGAN BENAR?!"
“KAU BOLEH MAKAN DILUAR JIKA TAK SUKA!
APA TAK BISA KAU BERKATA LEBIH SOPAN?”
“SAMPAH, TAK LAYAK DIMAKAN MANUSIA”
“TERUS SAJA, AKU LEBIH SUKA MAKAN
SAMPAH DARI PADA OCEHANMU YANG TERUS MEMBUAT KU SEMAKIN ENGGAN TINGGAL
BERLAMA-LAMA DISINI”
Begitulah suasana rumah ku tiap saat.
Mendengar perdebatan kedua orang tuaku tanpa tau, kapan waktu akan berdamai dan
memperbaiki hubungan mereka. Ku rasa bukan masalah waktu. Tapi perasaan mereka
yang terus saja, enggan tuk berusaha berdamai. Waktu saja lelah menghadapi
mereka yang terus tanpa henti selalu merasa paling benar dengan argument
masing-masing. Aku pernah berdoa, Semoga Tuhan tak lupa bahwa aku butuh
kebahagian, dan ketentraman.
Aku diam karena aku tak mau semakin
sakit berdiri diantara mereka. Karena seolah-olah aku tak ada walau sebenarnya
aku benar-benar ada diantara mereka. Aku bukan tak cukup berdoa untuk itu,
tanpa henti hatiku berharap. Semoga kemesraan dirumah ini ada disuatu hari
nanti.
Aku lebih memilih diam di balkon
rumah, diam menatapi langit penuh taburan bintang dan satu keindahan terangnya
purnama malam. Seketika ponsel ku berdering, nama Bagas tertera jelas di layar
ponsel ku “Hey tyaa, Pak Tomi pengen tau nomer mu nih. Gimana? Aku boleh kasi
enggak?” ucapnya dis eberang sana. Bagas adalah teman kecilku yang terpisah
sejak SMP dan kembali bertemu disatu stasiun yang sama. “Dalam hal apa?”
ucapku. “Kamu ini masih saja, ayo dong tyaa maju kedepan masa masih mau duduk
nggk bergerak kemana-mana. Siapatau nih jodohmu” gelak tawanya. Aku sedikit
menepiskan senyum tipis ketika dia berkata seperti itu. “berhenti untuk
menjodoh2kan ku bagas” ucapku lagi.
“Tya, coba lah beradaptasi dengan hal yang
baru. Aku tau tak mudah. Tapi aku yakin kamu pasti bisa kalau kamu benar2 mau
mencobanya. Jadi semangat yah. Hidup itu harus ada warnanya. Masa kamu nggk
bosan sama warna Hitam putih?”
“Iyaa bagass, ada waktunya. Tenang
saja”
“2 tahun ini apa masih butuh waktu?
Kurang berapa tahun lagi”
“Hmm”
“Segera lukiskan warna baru di
kanvasmu.”
“Terimakasih bagas”
“Selamat malam tya”
Suara bagas sudah mulai tak terdengar. Benar, aku tak mungkin terus berada di lingkaran ku. Seketika aku harus melukis garis baru. Aku harus membenahi garis waktu yang sudah mulai butuh pertolongan ku. Masa lalu tak boleh terus-terusan menjadi penjajah, dan aku diam tanpa perlawanan. Bagas benar, Reza harus segera dihapus dari memori yang terus meninggalkan luka. Aku harus sadar, aku tak ias terus-terusan membaca buku yang sama yang aku akan sangat mengerti, bagaimana akhir dari buku itu.
Reza adalah kisah pertama yang aku tulis di buku kenangan. Laki-laki yang ku anggap sangat sempurna. Memenuhi syarat kebahagiaanku. Tapi tanpa disadari, dia pula memenuhi syarat menjadi laki-laki terjahat di duniaku. Bodohnya aku lagi, aku masih saja terlena dengan kebahagiaan yang ia tawarkan padaku.
Ketika Hari pertunangan kita tlah tiba
saat itu, yang ku anggap kebahagiaan yang sesungguhnya akan benar-benar
tercipta. Ternyata lain, Reza
menciptakan kekelaman. Ketika ku tau, dia berbuat sesuatu yang ku anggap dia
tak pantas ku jadikan sumber kebahagiaan.
*****
“Tya, aka
ku jelaskan. Ini salah paham”,”dimana letak salah pahamnya? Apa menghamili
sahabatku sendiri kamu anggap masih salah paham?” tangisku masih saja jatuh
deras di pipiku. Harusnya aku tau , ini adalah hari bahagiaku dengannya, ketika
aku sudah mulai membuka hatiku kembali untuknya. Ketika dari awal aku tau dia
sudah mulai mengkhianati ucapannya sendiri. Parahnya lagi, aku sangat
menggantungkan bahagiaku kepadanya. Karena yang ku lihat hanya dia. Ketika aku
tau, harapanku sedikit demi sedikit pupus begitu saja oleh apa yang elah dia
lakukan kepadaku. Aku tak hancur, aku sudah rapuh. Benar-benar rapuh. Jatuh
seperti butiran debu tanpa terhitung berapa butir yang sudah beterbangan
terbawa angin.
Di waktu
yang sama, kehidupan keluarga ku semakin tak kunjung usai dengan kegaduhan yang
setiap saat selalu diciptakan oleh kedua orang tuaku. Ketika mama selalu
menyebutkan kata “Cerai”, aku selalu berteriak histeris. “Apa aka da sifat
kasian sedikit pun kalian terhadapku?apa aku benar-benar aka da dihadapan
kalian. Aku akan hidup seperti apa jika kalian terus-terusaan hidup di dunia
kalian masing-masing?” kau tau? Mereka hanya terdiam, dan kembali ke kamar
mereka masing-masing. Jadi kebahagiaan yang seperti apa lagi yang harus aku
harap-harapkan saat itu? Bahkan aku sudah tak tau, apa definisi bahagia saat
itu. Bahkan aku sudah mengharapkan, semoga tuhan ciptakan ruang untukku seorang diri. Yang aku mengerti,
ruang itu cukup sedikit meredakan rasa sakit yang saat itu mulai benar-benar
menjadi gunung dalam dimensiku. Yang aku rasa, aku hanya seorang diri saat itu,
tanpa sahabat, tanpa Reza, tanpa keluarga dan tanpa kebahagiaan.
Aku
sudah tau jelas, Definisi kelabu itu seperti apa, bahkan Sendu adalah teman
baikku saat itu, Sepi sudah menjadi sahabat karib ku. Dan aku menikmati
kehidupanku yang seperti ini. Aku tau, aku seperti malaikat yang merindukan
sayap, tuk terbang bebas diluaran sana. Penuh kebahagiaan, penuh impian, dan
penuh dengan teman di angkasa nanti. Tapi semua itu hanaya ilusi.
*****
“Hai, penyiar radio kemarin kan kamu?” aku menatap kearah asal suara itu, ketika aku mulai menaruh secangkir Mocca Latte ku. Aku mengangguk pelan, dan memoles sedikit senyum terbaikku. “Boleh aku duduk disini? Atau kamu sedang menunggu seseorang?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala, “Silahkan pak” aku menawarkan tempat duduk yang kosong di hadapanku “ah kamu ini , masih saja formal. Kita diluar jam kerja. Panggil saja tomi” Jelasnya. Suasana terlihat masih terasa dingin, ketika tak ada sepatah katapun yang terlontar dari kami berdua. Entah, aku yang memulai atau bagaimana.
“Apa
kamu sering kesini?”
“Lumayan sih”
“Sama siapa?”
“Selalu sendiri”
“Gada yang nemenin?”
“Kamu berharap siapa yang akan nemenin?” sedikit meneguk secangkir kopiku.
“Hehe aku juga gatau, tapi beneran boleh kan aku duduk disini?”
“With my pleasure”
Sepertinya dia sedikit canggung, dengan setiap jawaban yang ku lontarkan kepadanya.
“Kamu sudah lumayan lama menjalankan bisnis di perhotelan?” aku berusaha mencairkan suasana. Ku lihat dia sudah mulai menaruh senyumannya kembali. “ Baru 3 tahun, ini bisnis ayahku, cumin aku selalu di arik untuk terjun di dunia yang sama” aku menggangguk mengiyakan tanda mengerti atas penjelasannya. “Kalau kamu? Sudah lama jadi penyiar?” dia bertanya kembali padaku “baru satu tahun, sebenarnya bakatku bukan di dunia penyiaran. Tapi aku lagi berusaha tuk keluar dari zona aman ku saja” Jelasku. Aku rasa ini adalah pertemuan singkat tanpa banyak meninggalkan kesan. Tapi semoga harapan bagas, tak putus sampai disini saja. Semoga!
*****
TOK TOK !
TOK TOKK TOKK TOK!!
TOK TOKKK “Tyaaaaa, BANGUNNN”
Entah suara siapa, aku masih sedikit samar mendengarnya “tya bangun, cepat” biar ku tebak, Ini Bagas. Ada apa pagi-pagi ini dia datang kerumahku. Aku segera beranjak dari tempat tidur ku dan membuka pintu kamar.
“Tya?”
“Hm”
“Jangan malas-malas di hari libur”
“Libur ada karena kita di kasi rongga
untuk bernafas dan sedikit menikmati hidup” aku kembali berjalan kearah tempat
tidur ku.
“Apa menikmati hidupnya hanya di dalam kamar?”
“Kalau sudah terlalu nyaman? Kenapa tidak? Sudahlah ada apa pagi-pagi gini kamu sudah bertamu kemari” ungkapku. Dia mulai berjalan menghampiriku.
“Kita jalan-jalan” aku mengerntitkan dahi ku menatap nya. “Akan ku tunjukkan dunia itu indahnya seperti apa” aku melempa bantal gulingku ke arahnya “Dunia ya gin-gini aja. Apa yang harus di jelajahi” ucapku ketus.
“Nah ini nih, cuman punya satu aja aku teman model seperti kamu”
“Lalu? Kamu menyesal?”
“Ayolah tya jangan terlalu terbawa perasaan seperti itu. Hidup tak selamanya harus selalu dibawa serius kan? Ayo bangun, kita keliling komplek” dia mulai menarik paksa lenganku.
“Bagas” ucapku lirih. Dia mulai menatapku dengan seksama “Terimakasih sudah ikhlas menjadi temanku” lanjutku.
*****
Aku beristirahat di taman dekat rumah,
sambil lalu aku menunggu Bagas yang masih mencari minuman segar. Aku menatap
seseorang dari kejauhan, semakin dekat semakin jelas “Tomi” hatiku mulai
menyebut namanya. Ia melambaikan tangannya padaku, begitupun aku yang membalas
lambaiannya.
“Hai, sendirian?” aku menggelengkan
pelan kepalaku, ia mulai duduk tepat disampingku. “Sama siapa?” dia mulai
bertanya memastikan “Bagas” ucapku singkat, ia hanya mengangguk tanda mengerti.
“Dia teman dekatmu yah?” aku mulai melihat ke arah dia yang mulai mempertanyakan Bagas. ”ah maaf , bukan maksud lain. Aku hanya ingin tau, kalau merasa terganggu dengan pertanyaanku. Gpp gaperlu dijawab” jelasnya lagi. Aku sedikit memoles senyum ku dengan penjelasan dia barusan. “Dia teman kecil ku, lalu kita bertemu kembali saat dewasa” ucapku. Kami hanya terdiam beberapa saat ketika Bagas mulai datang dengan beberapa minuman segar yang ia bawa. “pak tomi yah?senang bertemu kembali” ucap ramah bagas padanya. “Bapak kok bisa disini? Olahraga juga disini pak”
“Kebetulan rumah ku di dekat sini. Ya setiap hari minggu aku selalu disini” Jelasnya.
Dia mulai beranjak dari sampingku “aku
duluan yah, sampai jumpa” ia mulai melangkah jauh dari hadapanku “ehm, sudah
ada progress nih sepertinya” Godanya.
Aku mencubit lengann bagas pelan “Eh, haha aku doakan yah semoga kamu
benar-benar bisa memperbaiki kisahmu yang sudah di hancurkan oleh tangan yang
tanpa mengenal dosa” ucapnya lagi.
Ponsel ku bergetar, tanda pesan masuk:
From: Tomi
“Kalau
ku ajak kamu untuk minum kopi nanti jam 18.00 WIB di Tempat kita bertemu tempo
hari. Apa kamu mau bilang iya?”
Aku mulai tersenyum membaca pesan singkat yang dikirim olehnya. Seketika aku cepat membalas pesan singkat itu.
To:
Tomi
“Boleh,
sampai bertemu nanti”
Jika kau bertanya, Kesan apa yang dia tinggalkan ketika aku pertama kali melihat Tomi? Dia berbeda, berbeda dalam hal menatap ku. Dia selalu ciptakan senyum bahagia di matanya. Dia ikhlas menatapku, sungguh. Tapi saat itu, aku enggan untuk tau hal lain dari dirinya. Misalkan, Jatuh cinta. Aku sedang enggan membahasnya di kehidupanku, tapi ketika itu pula Bagas menguatkan bahwa kesendiriaan tak cukup ampuh membayar dan membenahi luka yang sudah mulai membekas. Ku pikir, hidup ku harus lebih waspada pada hati yang liar yang ku maksud adalah, mereka yang suka lupa menempatkan hatinya pada siapa.
Aku
tak cukup memiliki banyak kekuatan untuk berbicara masalah hati di waktu
lampau, yang ku ingat hatiku sudah tanpa bentuk, rapuh, hancur, jatuh
berkeping-keping. Yang ku tau, aku sudah tak cukup pintar, bagaimana hatiku
akan terbuka kembali (suatu hari nanti). Aku hanya terlalu takut membuka, aku
takut semua akan sama pada akhirnya. Aku takut sendiri, walau aku tau aku
sangat menikmati kesendirian dimanapun aku berada. Alahkah bahagianya jika
dimengerti, aku sangat membutuhkan seorang malaikat yang mampu menerangi sudut
gelap hati ini.
“Kok diam? Jangan banyak melamun. Ayo kita pulang!” Bagas mulai menarik lenganku kita mulai beranjak dari tempat yang membuatku banyak berfikir, bahwa hidup tak selamanya harus gelap. Aku harus bisa merubahnya, dengan warna ku sendiri.
*****
[Coffee Shop]
Seperti biasa, aku selalu memesan Moccha Latte di tempat ini. Malam ini hujan turun, ditemani secangkir Moccha hangat di hadapanku. Tak lupa, aku selalu membawa buku diary ku. Kau tau? Kadang aku merasa, buku dan polpen adalah teman terbaik yang aku punya, ketika aku menghabiskan waktu hanya seorang diri, dan menuliskan segala hal yang aku rasa saat itu, semua benar-benar tumpah diatas tulisan, dan aku benar-benar lega. Sejenak lamunanku lenyap ketika seseorang menepuk pundakku pelan “Tya..” panggilnya aku menoleh ke arah pemilik suara itu. “Tomi..” balasku. Dia duduk tepat dihadapanku, sama seperti tempo hari.
“Well,
boleh kan aku ngajak kamu hanya sekedar menikmati secangkir kopi?” dia mulai
menanyakan hal yang sama dengan isi Pesan nya. “Harus aku jawab lagi?” dia
sedikit tertawa mendengar jawaban ku. “Kau tau tidak tya? Aku mendefinisikan
kamu seperti apa?” aku membenarkan posisi dudukku dan menggelengkan kepala
tanda kurang mengerti. “Kamu suka makan
apa jika sedang menikmati kesendirian?” cepat ku menjawab pertanyaan yang di
lontarkan tomi “Coklat?” dia mengangguk pelan, dan ku perhatikan dia sedang
berfikir.
“Kamu itu ibarat cake yang bertabur penuh coklat dan canon ball diatasnya, dan seluruh permukaannya tertutup sempurna dilapisi cream putih yang amat manis. Dari luar semua tampak putih dan tak bisa diketahui apa isi selainya. Tampilannya beragam. Ketika digigit, rasanya amat manis tak ada lagi campuran rasa lain” ungkapnya
“Kamu
sedang memikirkan menu baru di hotel mu dengan cara mendefinisikan aku seperti
apa yang kamu mau?” dia mulai tertawa mendengar ucapanku. Dan aku jujurnya,
masih bingung maksud dia apa.
“Bukan
tya, ah kamu ini. Ini sedang intermezzo saja’ dan aku benar tersenyum lepas,
setelah sekian lama.
“Kamu
begitu tertutup. Dibalik penampilanmu yang terlihat agak dewasa dan mencolok,
kamu sangat sulit ditebak. Kamu tau nggk tya? Kamu manis” sesaat aku mulai
terdiam kembali menatapnya. Aku bukan
sedang mengingat Reza, dia bukan seperti tomi pastinya. Reza bukan bukan orang
yang cukup memperhatikan ku. Dia acuh, dan hidupnya selalu dibawa serius. Dia
romantic, penuh kejutan. Tomi orang yang sepertinya sudah mulai lama
memperhatikan tingkah ku, dia memang pengusaha, tapi sepertinya dia lebih
senang menikmati hidupnya dengan gaya santai.
Entahlah, aku menemukan sosok baru yang sedang berusaha bermain dengan
dunia ku.
“Kok
kamu jadi diam? Apa kamu nggk suka? Eh apa receh sekali omonganku tadi? Maaf “Dia
memasang muka panik, dan aku tertawa. Iyah, benar-benar aku tertawa lagi
setelah sekian lama.
“Ah
bukan, aku hanya heran saja. Kamu ternyata bisa yah seperti itu” ucapku.
“Tya..”
aku menatapnya kembali “ jangan terlalu lama menutup toko” aku mulai tak
mengerti apa lagi yang akan dia katakan.”ibarat toko , kamu selalu memasang
tanda ‘closed’. Padahal ada seorang diluar sana yg ingin masuk. Kalau dibiarin tertutup terus-terusan , didalam
sana bakal banyak debu dan sarang yang malah bisa merusak isinya. “aku masih
terheran-heran mendengar ucapannya. Apa yang dia tau tentang ku. Kenapa
seolah-olah semua nya dia mengerti bagaimana aku.
“Aku
bukan mau mengusik mu”
“Apa maksud kamu?”
“Aku ingin membantu, agar kamu cepat keluar dari penjara kesunyiaanmu”
“Aku semakin nggk ngerti apa maksud kamu” aku pun mulai bertanya-tanya siapa dia sebenarnya.
“Jangan takut, aku tau kamu dari Bagas. Dia sepupuku, dia banyak cerita tentang mu”aku masih belum benar-benar percaya apa yang dia katakana. Tapi…
“Lalu apa maumu?” ucapku lirih
“Berbagilah cerita suka maupun duka dengan ku. Aku tak berani berikan seribu janji padamu. Aku hanya sanggup berikan satu kepastian. Aku pasti akan menemani pada 2 waktu mu ini. Di waktu suka maupun duka” aku masih tak cukup mengerti, apakah maksudnya dia ingin bergabung dengan dunia ku yang aku sedang mengharapkan malaikat penerang?
“Tenanglah, semua akan baik-baik saja dengan ku. Apa kamu mau percaya?” aku sedikit mengangkat kepalaku, menatap penuh lirih, dan aku sedang menguatkan hatiku dalam-dalam, semoga aku tak jatuh di tempat yang sama. “Kau mau membantu ku?” dia diam dan menganggukkan kepalanya, ku liha dia melukis senyum manis di bibirnya.
“Bantu aku, untuk memahami semua akan baik-baik saja jika kamu menemani” ucapku pelan. Hingga saat ini, aku sedang meneggakkan keyakinan, berusaha ciptakan kepercayaan, bahwa aku bisa bermain dengan waktu, mengakali waktu bahwa aku sedang tak mau mengingat masa lalu. Seperti lilin yang sumbunya disambar api, ia akan hilang, meleleh bersama waktu. Aku harus benar-benar menghapus bahwa Kesunyian tak selamanya akan menjadi penawar atas segala keterpurukan. Tak selamanya aku harus menikmati mimpi buruk, aku tau, kesenduanku serta pilu merindukan aroma baru. Aroma kemesraan dari hidup yang mulai berubah penuh warna. Aku tau, semua akan berubah, ketika cinta tertanam kembali. Terima kasih atas tawaran nya, aku sedang menyanggupi. Kopi ku sudah menjadi saksi, bahwa aku sudah mulai bernegosiasi atas nama cinta.
*****
“Bagas”
panggilku, aku berjalan menghampirinya. “Boleh aku bicara denganmu?” sementara
aku masih menatap nya yang mulai menertawakan ku, yang entah dalam hal apa dia
tertawa “kamu lucu deh, kok masih minta izin?” ungkapnya. “Kita bicara di lobby
yah, aku masih mau ambil barang dulu yang ketinggalan”.
*****
“Kenapa
nggak cerita kalau tomi masih salah satu keluargamu?” tanyaku pelan
“Jadi
kamu uda tau?”
“Aku
sedang bertanya, jadi jawab dulu pertanyaanku” ucapku cepat
“Dia sama denganmu, senang menikmati dunianya sendiri, selalu merasa kesendirian adalah teman terbaik sejak pacar kak tomi meninggal dunia karena sakit. Hebatnya, dia selalu menutupi semuanya tanpa ada orang yang menyadari bagaimana dia yang sebenarnya. Sejak kepergian kekasihnya itu, dia memutuskan untuk pergi jauh. Dia tinggal di Sydney, setelah berapa lama dia kembali lagi ke Indonesia. Bedanya, setelah kepulangannya dari sana kak tomi mau bangkit lagi. Dan dia sudah mulai berusaha mengubur dalam-dalam kenangan yang pernah ada. Ketika dia bercerita seperti itu, aku langsung teringat padam. Tanpa disengaja aku bercerita tentangmu. Dia mulai tertarik untuk mengetahui mu. Tya, semua itu aku lakukan bukan semata-mata aku kasian, aku hanya ingin kamu mulai benar-benar bangkit. Aku sayang sama kamu tya, sangat sayang. Kamu lebih dari teman kecilku. Aku tau bagaimana rumitnya kehidupanmu yang kamu lalui sendiri. Kamu sudah ku anggap adikku sendiri. Jadi, berusahalah bergerak kedepan. Aku tak bisa melihatmu terus-terusan berada di lingkaran mu tanpa peduli ruang disekitarmu yang sebenarnya sanggup berikan ruang lebih untukmu dari sekedar lingkaran yang kamu buat sendiri. Kak tomi, orang yang sangat tepat untuk memulai semuanya. Semangat, kamu harus bisa berjalan seperti tya yang aku kenal dulu” tanpa sadar aku menangis. Bagas pun mulai mengusap air mataku yang mulai jatuh sedikit demi sedikit. Semakin lama isak ku semakin deras. Bagas mulai memelukku erat, ia mengusap lembut kepalaku. Disaat itupun, aku tak miliki banyak kekuatan untuk mengeluarkan sepatah katapun. Aku miliki banyak harapan, tapi harapanku musnah ketika semua benar-benar terjadi dikehidupanku. Bukan hal biasa, ini rumit. Sampai diam adalah pilihan yang terbaik untukku saat itu. Menyedihkan bukan hidupku?
*****
Senja
mulai tampakkan warnanya, kelabu tanda akan meninggalkan dan takkan ada
sinarnya. Nanti, akan digantikan oleh seberkas cahaya rembulan. Disaat itupun
suara tangis mulai beradu bersama hembusan angin, menciptakan harmoni pilu bagi
siapapun yang mendengarnya. “aku iri dengan gelapnya langit, ia hilang saat
matahari yang terang itu datang. Tapi kenapa bulan yang indah itu masih mau
menemani ditiap harinya?” ucapku dalam hati. Ah, lagi-lagi keluhan. Apa masih
belum bosan juga diriku ini dengan kata “Mengeluh”. Aku mulai memejamkan mata,
membiarkan diri ini dihembus oleh angin. Biarkan mereka menusuk.
From
:Tomi
“Hai, kamu sedang apa? Aku temani? Aku sedang
menunggu kamu menjawab iya saat ini”
Aku tersenyum
tipis ketika aku membuka pesan dari orang yang ingin menjadi teman bermain di
duniaku. Belum sempat ku membalas, tiba-tiba aku merasa ada orang yang sedang
menepuk bahu ku pelan. “Kok lama balas pesanku? Aku daritadi nungguin di
belakangmu” ungkapnya. Aku sedikit mulai tertawa. Ini seperti kejutan, walau
aku tau dia sedang tidak berusaha memberiku kejutan. “duduk boleh?” aku
menggangguk pelan. Aku sedikit membenarkan posisi duduk ku “kamu sejak kapan di
belakangku?” aku mulai membuka pembicaraan. “hmm, dari kapan yah” dia mulai
pura-pura berfikir “hehe, aku
mengikutimu dari saat kamu keluar kantor” ungkapnya. Aku mulai terkejut, dan
sedikit terbata-bata “ berarti kamu …. Ta .. “ dia menaruh jemarinya ke bibirku
“Aku tau kamu mau bilang apa, jadi yasudah jangan dibahas. Kamu lupa sesuatu?”
dia bertanya kembali. Sedangkan aku sedang berusaha mengingat sesuatu.
“Berbagilah
cerita denganku, aku berikan kepastian. Dan aku pasti menemani mu di 2 waktumu.
Di waktu suka dan duka. Lupakan bahwa kamu tak lagi sendiri di dunia ini. Kamu
mau mengabulkan permintaanku itu kan?” dia menatapku, sangat dalam. Aku sedang
sekuat tenaga berusaha membalas tatapannya. Tapi aku terpaku begitu saja. “Apa kurang jelas perkataan ku?” aku sedikit
memberanikan diri menatapnya, dan dia masih konsisten memperhatikan ku. “aku
ingin jadi teman mu tya” ujarnya. “bukannya kita sudah menjadi teman?” Tanya ku
untuk memastikan. “tapi belum menjadi teman hidup kan?” aku mulai benar-benar
terkejut dan berusaha memahami apa yang baru saja ia ucapkan. “aku
menyayangimu, tanpa karena. Karena aku tak miliki alasan lain” jelasnya lagi.
Aku menundukkan kepalaku kembali. Berusaha menyikapi apa yang telah ia
ungapkan, tapi aku benar-benar bingung, harus dari mana. “kamu bersungguh-sungguh?” tanyaku lagi
memastikan. Dia mulai mendekatkan diri semakin dekat di hadapan ku, dan mulai
memegang kedua pundakku “apa aku kelihatan seperti bermain-main denganmu?” aku
mengangguk penuh keyakinan. Ku lihat dia menaikkan satu alisnya di hadapan ku
“Benarkah?”
“Iya, kamu sedang
benar-benar ingin bermain dengan dunia ku”
“Nggk boleh yah?”
aku mengangguk sedikit memoles bibirku dengan senyuman. Dia mulai terdiam.
“Jangan sekedar
bermain, menetaplah untuk jangka waktu yang kita tidak tau, kapan akan
berakhir” tegasku.
“Serius?”
“Apa aku keliatan sedang bermain-main?” dia mengelus kepalaku lembut, sambil lalu mengacak-ngacak rambutku.
“Kau tak sendiri, “ ujarnya
“Aku tau, kamu berusaha menjadi aku. Dan kau tak lupa menjadi dirimu sendiri. Dan kamu mulai kesulitan. Makanya kamu berusaha mencari solusi, bagaimana kamu mengubah kata ‘aku’ dan ‘Kamu’ menjadi ‘kita’ hehe pernyataan klasik yah” dia tertawa melihat tingkahku yang mulai menggaruk kepalaku yang sebenarnya sedang tidak gatal.
“Ceritakanlah
entang warna sore yang sedang kamu nikmati hari ini di kejauhan, dan aku akan
ceritakan betapa senjaku bukanlah yang terindah tanpa kamu duduk di sebelahku.
Ayo pulang, hari semakin gelap. Apa kamu masih mau tinggal disini seorang diri?
Eh aku lupa, ternyata kamu sudah tak sendiri lagi” ungkapnya
Sesaat kami
berjalan pelan, meninggalkan tempat yang tercipta penuh perbincangan. Darisana,
aku belajar tentang bagaimana caranya merelakan. Aku berusaha memaafkan diriku
sendiri, menghapus setiap tangis, berusaha berdiri, dan berjalan kembali.
Karena aku mulai benar=benar sadar, suatu hari nanti akan tiba saat disatu
titik dimana aku berhenti mengasihani diriku sendiri. Saat sudah tiba di titik
itu aku akan menemukan sebuah kalimat baru, kalimat yang jauh lebih indah dari
semua getir. Dan aku mulai benar-benar sadar atas kehadiran Tomi, bahwa aku
lebih besar dari sebuah rasa kehilangan, dia memberitahu bahwa hidupku lebih
agung dari sebuah rasa sakit hati. Sudahlah cukup, pada saat yang tepat manusia
akan benar-benar melupa pada satu hal yang membuat dirinya merasa terpuruk
disudut gelapnya ruang. Karena aku harus mulai tau dan belajar mencintai cinta.
Selamat malam Tya
Dwi Sekar, kau sedang berusaha menjadi dirimu yang baru. Atas dukungan orang yang
ikhlas menemanimu di 2 waktu: suka dan duka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi