Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

SENDU

Jumat, 01 Juni 2018

Oleh: Ulfah S Fadly

“Aku dimana?” Sekelilingku masih sangat tampak sunyi, sepi, tanpa Kelam. Aku melangkah pelan, mengikuti kemana arah akan membawaku. Ini seperti bukan di duniaku, aku takut, aku masih takut jika aku harus benar-benar sendiri disini. “Selamat datang dirumahmu” tulisan ini terpampang jelas disamping Danau mimpiku. “Kau senang? Tinggalah disini” aku mendengar bisikan ini, jelas ditelingaku. Aku masih mencari asal suara itu, apakah ada penghuni ditempat ini? Ini tempat yang indah, Penuh pepohonan, Bermacam warna bunga ditiap sudutnya, Danau yang memiliki suara ketenangan, Benar aku suka tempat ini. Tapi dimanakah ini?

*****

Aku terbangun dari mimpiku “Mimpi ini lagi” gumamku. Jam dinding ku sudah menunjukkan angkanya di arah pukul 06.30 WIB. “Tya, kamu nggak lupa kan? Hari ini kamu masuk pagi” aku menyimpan kembali ponselku diatas meja samping tempat tidurku. Malas rasanya tapi, yasudahlah. Sebelum aku memulai semuanya, perkenalkan namaku “Tyas Dwi Sekar” teman-teman ku banyak memanggilku dengan sebutan “Tya”. Aku seorang Penyiar radio di salah satu Stasiun radio swasta di kotaku. Sebenarnya ini bukan benar-benar bakat ku, tapi sedikit impianku selain menjadi seorang penulis. Aku senang menyendiri, menghabiskan waktu dengan membaca buku karya penulis ternama di Indonesia, atau hanya sekedar membaca kumpulan puisi dari buku “Kuajak kau lari ke hutan dan tersesat bersama”. Memang terkesan sangat mellow yah hidupnya, tapi aku sangat menikmati. Selain itu, kamu akan menemukan beberapa kisah yang belum ku sebutkan saat ini.  Aku perempuan yang menyukai Bulan ditengah sunyinya malam.

*****

“Tya, siap2 tamu kita sudah datang” terkadang aku masih sangat kebingungan jika harus berbicara dihadapan orang. Ketika aku mulai merasa, aku lebih sanggup berbicara banyak hal hanya diatas kertas. Kali ini owner dari hotel Cempaka menjadi salah satu narasumber kita. Kebetulan hotel ini terletak disamping stasiun radio. Menurut info dari teman-teman penyiar lainnya dia masih Muda (Katanyasih). “Selamat siang,” aku mendengar suara itu, jelas sekali ketika aku masih alihkan pandangan ku dihadapan lembaran pertanyaan. “Selamat siang, silahkan duduk mas” ucapku pelan dengan sedikit senyum yang ku poles. Ternyata benar, dia masih muda, dengan penampilan yang menawan berkemeja rapi dengan dasi berwarna dongker garis-garis. Yasudah lupakan, jangan terlalu banyak mendeskripsikannya, aku tak mau terlihat seperti sedang mengaguminya. “Bisa dimulai?”
Sedikit aku menatap, tanpa berharap lama untuk menatapnya. “oh yah, maaf. Mari kita mulai” Tombol On Air sudah menyala, saatnya aku memulai semua dengan bertanya “Siapa namamu?”

*****

Terkadang aku tak pernah mengerti jalan hidupku ini akan berakhir seperti apa. Bukan meragukan apa yang  akan Tuhan  berikan kepadaku. Aku hanya tak cukup mengerti metode pembelajaran Sakit hati seperti apa yang akan terus Tuhan berikan kepadaku. Ingat, aku bukan menistakan cintaku kepada Tuhanku. Hanya saja, itu yang selama ini aku rasakan. Kehidupan, Asmara, ah semua ku rasa FLAT. Tak semacam enaknya permen nano-nano.  Seketika rasa hancurku usang. Ketika aku tau, cinta bisa mengubah segala pandangan burukku terhadap Tuhan.

Aku tak tau, apakah benar ini yang namanya kemesraan dalam cinta .Pikirkan sesuatu yang harusnya tak perlu ku fikirkan. Tapi bagaimana mungkin? Aku saja tak sanggup kendalikan jiwa ku ketika Cinta benar-benar di depan mata. Ketika aku merasa  ingin membuat segala sesuatu indah untuknya. Menyenandungkan ungkapan hati yang semakin lama, semakin tak sanggup aku tahan kembali. GILA! Sudah sekian kali aku paksakan jiwaku tuk tidak lagi berharap pada sesuatu hal. Sayangnya, ketika aku berusaha sekuat jiwaku berlari dari  Rasa itu, aku tak pernah berhasil temukan celah tuk melarikan diri. Dan karenamu, aku belajar untuk tidak menyembunyikan rasa yang sesungguhnya.

Ah semoga saja ini bukan mimpi burukku menjelang fajar tiba. Sesekali aku  kembali tersadar dari lamunanku, kembali menatap kertas yang tlah penuh dengan coretan  dan baru kusadari, namamu  tertulis jelas disana. Huh, sepertinya suara hatiku masih saja berusaha berkata bahwa aku benar-benar jatuh hati padanya.

*****

“KAU TAK BISA MEMASAK DENGAN BENAR?!"

“KAU BOLEH MAKAN DILUAR JIKA TAK SUKA! APA TAK BISA KAU BERKATA LEBIH SOPAN?”

“SAMPAH, TAK LAYAK DIMAKAN MANUSIA”
“TERUS SAJA, AKU LEBIH SUKA MAKAN SAMPAH DARI PADA OCEHANMU YANG TERUS MEMBUAT KU SEMAKIN ENGGAN TINGGAL BERLAMA-LAMA DISINI”

Begitulah suasana rumah ku tiap saat. Mendengar perdebatan kedua orang tuaku tanpa tau, kapan waktu akan berdamai dan memperbaiki hubungan mereka. Ku rasa bukan masalah waktu. Tapi perasaan mereka yang terus saja, enggan tuk berusaha berdamai. Waktu saja lelah menghadapi mereka yang terus tanpa henti selalu merasa paling benar dengan argument masing-masing. Aku pernah berdoa, Semoga Tuhan tak lupa bahwa aku butuh kebahagian, dan ketentraman.

Aku diam karena aku tak mau semakin sakit berdiri diantara mereka. Karena seolah-olah aku tak ada walau sebenarnya aku benar-benar ada diantara mereka. Aku bukan tak cukup berdoa untuk itu, tanpa henti hatiku berharap. Semoga kemesraan dirumah ini ada disuatu hari nanti.

Aku lebih memilih diam di balkon rumah, diam menatapi langit penuh taburan bintang dan satu keindahan terangnya purnama malam. Seketika ponsel ku berdering, nama Bagas tertera jelas di layar ponsel ku “Hey tyaa, Pak Tomi pengen tau nomer mu nih. Gimana? Aku boleh kasi enggak?” ucapnya dis eberang sana. Bagas adalah teman kecilku yang terpisah sejak SMP dan kembali bertemu disatu stasiun yang sama. “Dalam hal apa?” ucapku. “Kamu ini masih saja, ayo dong tyaa maju kedepan masa masih mau duduk nggk bergerak kemana-mana. Siapatau nih jodohmu” gelak tawanya. Aku sedikit menepiskan senyum tipis ketika dia berkata seperti itu. “berhenti untuk menjodoh2kan ku bagas” ucapku lagi.

“Tya, coba lah beradaptasi dengan hal yang baru. Aku tau tak mudah. Tapi aku yakin kamu pasti bisa kalau kamu benar2 mau mencobanya. Jadi semangat yah. Hidup itu harus ada warnanya. Masa kamu nggk bosan sama warna Hitam putih?”

“Iyaa bagass, ada waktunya. Tenang saja”

“2 tahun ini apa masih butuh waktu? Kurang berapa tahun lagi”

“Hmm”

“Segera lukiskan warna baru di kanvasmu.”

“Terimakasih bagas”

“Selamat malam tya”

Suara bagas sudah mulai tak terdengar. Benar, aku tak mungkin terus berada di lingkaran ku. Seketika aku harus melukis garis baru. Aku harus membenahi garis waktu yang sudah mulai butuh pertolongan ku. Masa lalu tak boleh terus-terusan menjadi penjajah, dan aku diam tanpa perlawanan. Bagas benar, Reza harus segera dihapus dari memori yang terus meninggalkan luka. Aku harus sadar, aku tak ias terus-terusan membaca buku yang sama yang aku akan sangat mengerti, bagaimana akhir dari buku itu.

Reza adalah kisah pertama yang aku tulis di buku kenangan. Laki-laki yang ku anggap sangat sempurna. Memenuhi syarat kebahagiaanku. Tapi tanpa disadari, dia pula memenuhi syarat menjadi laki-laki terjahat di duniaku. Bodohnya aku lagi, aku masih saja terlena dengan kebahagiaan yang ia tawarkan padaku.

Ketika Hari pertunangan kita tlah tiba saat itu, yang ku anggap kebahagiaan yang sesungguhnya akan benar-benar tercipta.  Ternyata lain, Reza menciptakan kekelaman. Ketika ku tau, dia berbuat sesuatu yang ku anggap dia tak pantas ku jadikan sumber kebahagiaan.

*****

“Tya, aka ku jelaskan. Ini salah paham”,”dimana letak salah pahamnya? Apa menghamili sahabatku sendiri kamu anggap masih salah paham?” tangisku masih saja jatuh deras di pipiku. Harusnya aku tau , ini adalah hari bahagiaku dengannya, ketika aku sudah mulai membuka hatiku kembali untuknya. Ketika dari awal aku tau dia sudah mulai mengkhianati ucapannya sendiri. Parahnya lagi, aku sangat menggantungkan bahagiaku kepadanya. Karena yang ku lihat hanya dia. Ketika aku tau, harapanku sedikit demi sedikit pupus begitu saja oleh apa yang elah dia lakukan kepadaku. Aku tak hancur, aku sudah rapuh. Benar-benar rapuh. Jatuh seperti butiran debu tanpa terhitung berapa butir yang sudah beterbangan terbawa angin.

Di waktu yang sama, kehidupan keluarga ku semakin tak kunjung usai dengan kegaduhan yang setiap saat selalu diciptakan oleh kedua orang tuaku. Ketika mama selalu menyebutkan kata “Cerai”, aku selalu berteriak histeris. “Apa aka da sifat kasian sedikit pun kalian terhadapku?apa aku benar-benar aka da dihadapan kalian. Aku akan hidup seperti apa jika kalian terus-terusaan hidup di dunia kalian masing-masing?” kau tau? Mereka hanya terdiam, dan kembali ke kamar mereka masing-masing. Jadi kebahagiaan yang seperti apa lagi yang harus aku harap-harapkan saat itu? Bahkan aku sudah tak tau, apa definisi bahagia saat itu. Bahkan aku sudah mengharapkan, semoga tuhan ciptakan ruang  untukku seorang diri. Yang aku mengerti, ruang itu cukup sedikit meredakan rasa sakit yang saat itu mulai benar-benar menjadi gunung dalam dimensiku. Yang aku rasa, aku hanya seorang diri saat itu, tanpa sahabat, tanpa Reza, tanpa keluarga dan tanpa kebahagiaan.

Aku sudah tau jelas, Definisi kelabu itu seperti apa, bahkan Sendu adalah teman baikku saat itu, Sepi sudah menjadi sahabat karib ku. Dan aku menikmati kehidupanku yang seperti ini. Aku tau, aku seperti malaikat yang merindukan sayap, tuk terbang bebas diluaran sana. Penuh kebahagiaan, penuh impian, dan penuh dengan teman di angkasa nanti. Tapi semua itu hanaya ilusi.

*****

“Hai, penyiar radio kemarin kan kamu?” aku menatap kearah asal suara itu, ketika aku mulai menaruh secangkir Mocca Latte ku. Aku mengangguk pelan, dan memoles sedikit senyum terbaikku. “Boleh aku duduk disini? Atau kamu sedang menunggu seseorang?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala, “Silahkan pak” aku menawarkan tempat duduk yang kosong di hadapanku “ah kamu ini , masih saja formal. Kita diluar jam kerja. Panggil saja tomi” Jelasnya. Suasana terlihat masih terasa dingin, ketika tak ada sepatah katapun yang terlontar dari kami berdua. Entah, aku yang memulai atau bagaimana.

“Apa  kamu sering kesini?”

“Lumayan sih”

“Sama siapa?”

“Selalu sendiri”

“Gada yang nemenin?”

“Kamu berharap siapa yang akan nemenin?” sedikit meneguk secangkir kopiku.

“Hehe aku juga gatau, tapi beneran boleh kan aku duduk disini?”

With my pleasure

Sepertinya dia sedikit canggung, dengan setiap jawaban yang ku lontarkan kepadanya.

“Kamu sudah lumayan lama menjalankan bisnis di perhotelan?” aku berusaha mencairkan suasana. Ku lihat dia sudah mulai menaruh senyumannya kembali. “ Baru 3 tahun, ini bisnis ayahku, cumin aku selalu di arik untuk terjun di dunia yang sama” aku menggangguk mengiyakan tanda mengerti atas penjelasannya. “Kalau kamu? Sudah lama jadi penyiar?” dia bertanya kembali padaku “baru satu tahun, sebenarnya bakatku bukan di dunia penyiaran. Tapi aku lagi berusaha tuk keluar dari zona aman ku saja” Jelasku. Aku rasa ini adalah pertemuan singkat tanpa banyak meninggalkan kesan. Tapi semoga harapan bagas, tak putus sampai disini saja. Semoga!

*****

TOK TOK !

TOK TOKK TOKK TOK!!

TOK TOKKK “Tyaaaaa, BANGUNNN”

Entah suara siapa, aku masih sedikit samar mendengarnya “tya bangun, cepat” biar ku tebak, Ini Bagas. Ada apa pagi-pagi ini dia datang kerumahku. Aku segera beranjak dari tempat tidur ku dan membuka pintu kamar.

“Tya?”

“Hm”

“Jangan malas-malas di hari libur”
“Libur ada karena kita di kasi rongga untuk bernafas dan sedikit menikmati hidup” aku kembali berjalan kearah tempat tidur ku.

“Apa menikmati hidupnya hanya di dalam kamar?”

“Kalau sudah terlalu nyaman? Kenapa tidak? Sudahlah ada apa pagi-pagi gini kamu sudah bertamu kemari” ungkapku. Dia mulai berjalan menghampiriku.

“Kita jalan-jalan” aku mengerntitkan dahi ku menatap nya. “Akan ku tunjukkan dunia itu indahnya seperti apa” aku melempa bantal gulingku ke arahnya “Dunia ya gin-gini aja. Apa yang harus di jelajahi” ucapku ketus.

“Nah ini nih, cuman punya satu aja aku teman model seperti kamu”

“Lalu? Kamu menyesal?”

“Ayolah tya jangan terlalu terbawa perasaan seperti itu. Hidup tak selamanya harus selalu dibawa serius kan? Ayo bangun, kita keliling komplek” dia mulai menarik paksa lenganku.

“Bagas” ucapku lirih. Dia mulai menatapku dengan seksama “Terimakasih sudah ikhlas menjadi temanku” lanjutku.

*****

Aku beristirahat di taman dekat rumah, sambil lalu aku menunggu Bagas yang masih mencari minuman segar. Aku menatap seseorang dari kejauhan, semakin dekat semakin jelas “Tomi” hatiku mulai menyebut namanya. Ia melambaikan tangannya padaku, begitupun aku yang membalas lambaiannya.

“Hai, sendirian?” aku menggelengkan pelan kepalaku, ia mulai duduk tepat disampingku. “Sama siapa?” dia mulai bertanya memastikan “Bagas” ucapku singkat, ia hanya mengangguk tanda mengerti.

“Dia teman dekatmu yah?” aku mulai melihat ke arah dia yang mulai mempertanyakan Bagas. ”ah maaf , bukan maksud lain. Aku hanya ingin tau, kalau merasa terganggu dengan pertanyaanku. Gpp gaperlu dijawab” jelasnya lagi. Aku sedikit memoles senyum ku dengan penjelasan dia barusan. “Dia teman kecil ku, lalu kita bertemu kembali saat dewasa” ucapku. Kami hanya terdiam beberapa saat ketika Bagas mulai datang dengan beberapa minuman segar yang ia bawa. “pak tomi yah?senang bertemu kembali” ucap ramah bagas padanya. “Bapak kok bisa disini? Olahraga juga disini pak”

“Kebetulan rumah ku di dekat sini. Ya setiap hari minggu aku selalu disini” Jelasnya.

Dia mulai beranjak dari sampingku “aku duluan yah, sampai jumpa” ia mulai melangkah jauh dari hadapanku “ehm, sudah ada progress  nih sepertinya” Godanya. Aku mencubit lengann bagas pelan “Eh, haha aku doakan yah semoga kamu benar-benar bisa memperbaiki kisahmu yang sudah di hancurkan oleh tangan yang tanpa mengenal dosa” ucapnya lagi.

Ponsel ku bergetar, tanda pesan masuk:

From: Tomi
“Kalau ku ajak kamu untuk minum kopi nanti jam 18.00 WIB di Tempat kita bertemu tempo hari. Apa kamu mau bilang iya?”

Aku mulai tersenyum membaca pesan singkat yang dikirim olehnya. Seketika aku cepat membalas pesan singkat itu.

To: Tomi
“Boleh, sampai bertemu nanti”

Jika kau bertanya, Kesan apa yang dia tinggalkan ketika aku pertama kali melihat Tomi? Dia berbeda, berbeda dalam hal menatap ku. Dia selalu ciptakan senyum bahagia di matanya. Dia ikhlas menatapku, sungguh. Tapi saat itu, aku enggan untuk tau hal lain dari dirinya. Misalkan, Jatuh cinta. Aku sedang enggan membahasnya di kehidupanku, tapi ketika itu pula Bagas menguatkan bahwa kesendiriaan tak cukup ampuh membayar dan membenahi luka yang sudah mulai membekas. Ku pikir, hidup ku harus lebih waspada pada hati yang liar yang ku maksud adalah, mereka yang suka lupa menempatkan hatinya pada siapa.

Aku tak cukup memiliki banyak kekuatan untuk berbicara masalah hati di waktu lampau, yang ku ingat hatiku sudah tanpa bentuk, rapuh, hancur, jatuh berkeping-keping. Yang ku tau, aku sudah tak cukup pintar, bagaimana hatiku akan terbuka kembali (suatu hari nanti). Aku hanya terlalu takut membuka, aku takut semua akan sama pada akhirnya. Aku takut sendiri, walau aku tau aku sangat menikmati kesendirian dimanapun aku berada. Alahkah bahagianya jika dimengerti, aku sangat membutuhkan seorang malaikat yang mampu menerangi sudut gelap hati ini.

“Kok diam? Jangan banyak melamun. Ayo kita pulang!” Bagas mulai menarik lenganku kita mulai beranjak dari tempat yang membuatku banyak berfikir, bahwa  hidup tak selamanya harus gelap. Aku harus bisa merubahnya, dengan warna ku sendiri.

*****

[Coffee Shop]

Seperti biasa, aku selalu memesan Moccha Latte di tempat ini. Malam ini hujan turun, ditemani secangkir Moccha hangat di hadapanku.  Tak lupa, aku selalu membawa buku diary ku. Kau tau? Kadang aku merasa, buku dan polpen adalah teman terbaik yang aku punya, ketika aku menghabiskan waktu hanya seorang diri, dan menuliskan segala hal yang aku rasa saat itu, semua benar-benar tumpah diatas tulisan, dan aku benar-benar lega. Sejenak lamunanku lenyap ketika seseorang menepuk pundakku pelan “Tya..” panggilnya aku menoleh ke arah pemilik suara itu. “Tomi..” balasku. Dia duduk tepat dihadapanku, sama seperti tempo hari.

“Well, boleh kan aku ngajak kamu hanya sekedar menikmati secangkir kopi?” dia mulai menanyakan hal yang sama dengan isi Pesan nya. “Harus aku jawab lagi?” dia sedikit tertawa mendengar jawaban ku. “Kau tau tidak tya? Aku mendefinisikan kamu seperti apa?” aku membenarkan posisi dudukku dan menggelengkan kepala tanda kurang mengerti.  “Kamu suka makan apa jika sedang menikmati kesendirian?” cepat ku menjawab pertanyaan yang di lontarkan tomi “Coklat?” dia mengangguk pelan, dan ku perhatikan dia sedang berfikir.

“Kamu itu ibarat cake yang bertabur  penuh coklat dan canon ball diatasnya, dan seluruh permukaannya tertutup sempurna dilapisi cream putih yang amat manis. Dari luar semua tampak putih dan tak bisa diketahui apa isi selainya. Tampilannya beragam. Ketika digigit, rasanya amat manis tak ada lagi campuran rasa lain” ungkapnya

“Kamu sedang memikirkan menu baru di hotel mu dengan cara mendefinisikan aku seperti apa yang kamu mau?” dia mulai tertawa mendengar ucapanku. Dan aku jujurnya, masih bingung maksud dia apa.

“Bukan tya, ah kamu ini. Ini sedang intermezzo saja’ dan aku benar tersenyum lepas, setelah sekian lama.

“Kamu begitu tertutup. Dibalik penampilanmu yang terlihat agak dewasa dan mencolok, kamu sangat sulit ditebak. Kamu tau nggk tya? Kamu manis” sesaat aku mulai terdiam kembali menatapnya.  Aku bukan sedang mengingat Reza, dia bukan seperti tomi pastinya. Reza bukan bukan orang yang cukup memperhatikan ku. Dia acuh, dan hidupnya selalu dibawa serius. Dia romantic, penuh kejutan. Tomi orang yang sepertinya sudah mulai lama memperhatikan tingkah ku, dia memang pengusaha, tapi sepertinya dia lebih senang menikmati hidupnya dengan gaya santai.  Entahlah, aku menemukan sosok baru yang sedang berusaha bermain dengan dunia ku.

“Kok kamu jadi diam? Apa kamu nggk suka? Eh apa receh sekali omonganku tadi? Maaf “Dia memasang muka panik, dan aku tertawa. Iyah, benar-benar aku tertawa lagi setelah sekian lama.
“Ah bukan, aku hanya heran saja. Kamu ternyata bisa yah seperti itu” ucapku.

“Tya..” aku menatapnya kembali “ jangan terlalu lama menutup toko” aku mulai tak mengerti apa lagi yang akan dia katakan.”ibarat toko , kamu selalu memasang tanda ‘closed’. Padahal ada seorang diluar sana yg ingin masuk. Kalau  dibiarin tertutup terus-terusan , didalam sana bakal banyak debu dan sarang yang malah bisa merusak isinya. “aku masih terheran-heran mendengar ucapannya. Apa yang dia tau tentang ku. Kenapa seolah-olah semua nya dia mengerti bagaimana aku.

“Aku bukan mau mengusik mu”

“Apa maksud kamu?”

“Aku ingin membantu, agar kamu cepat keluar dari penjara kesunyiaanmu”

“Aku semakin nggk ngerti apa maksud kamu” aku pun mulai bertanya-tanya siapa dia sebenarnya.

“Jangan takut, aku tau kamu dari Bagas. Dia sepupuku, dia banyak cerita tentang mu”aku masih belum benar-benar percaya apa yang dia katakana. Tapi…

“Lalu apa maumu?” ucapku lirih

“Berbagilah cerita suka maupun duka dengan ku. Aku tak berani berikan seribu janji padamu. Aku hanya sanggup berikan satu kepastian. Aku pasti akan menemani pada 2 waktu mu ini. Di waktu suka maupun duka” aku masih tak cukup mengerti, apakah maksudnya dia ingin bergabung dengan dunia ku yang aku sedang mengharapkan malaikat penerang?

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja dengan ku. Apa kamu mau percaya?” aku sedikit mengangkat kepalaku, menatap penuh lirih, dan aku sedang menguatkan hatiku dalam-dalam, semoga aku tak jatuh di tempat yang sama. “Kau mau membantu ku?” dia diam dan menganggukkan kepalanya, ku liha dia melukis senyum manis di bibirnya.

“Bantu aku, untuk memahami semua akan baik-baik saja jika kamu menemani” ucapku pelan. Hingga saat ini, aku sedang meneggakkan keyakinan, berusaha ciptakan kepercayaan, bahwa aku bisa bermain dengan waktu, mengakali waktu bahwa aku sedang tak mau mengingat masa lalu. Seperti lilin yang sumbunya disambar api, ia akan hilang, meleleh bersama waktu. Aku harus benar-benar menghapus bahwa Kesunyian tak selamanya akan menjadi penawar atas segala keterpurukan. Tak selamanya aku harus menikmati mimpi buruk, aku tau, kesenduanku serta pilu merindukan aroma baru. Aroma kemesraan dari hidup yang mulai berubah penuh warna. Aku tau, semua akan berubah, ketika cinta tertanam kembali. Terima kasih atas tawaran nya, aku sedang menyanggupi. Kopi ku sudah menjadi saksi, bahwa aku sudah mulai bernegosiasi atas nama cinta.


*****

“Bagas” panggilku, aku berjalan menghampirinya. “Boleh aku bicara denganmu?” sementara aku masih menatap nya yang mulai menertawakan ku, yang entah dalam hal apa dia tertawa “kamu lucu deh, kok masih minta izin?” ungkapnya. “Kita bicara di lobby yah, aku masih mau ambil barang dulu yang ketinggalan”.

*****

“Kenapa nggak cerita kalau tomi masih salah satu keluargamu?” tanyaku pelan

“Jadi kamu uda tau?”

“Aku sedang bertanya, jadi jawab dulu pertanyaanku” ucapku cepat

“Dia sama denganmu, senang menikmati dunianya sendiri, selalu merasa kesendirian adalah teman terbaik sejak pacar kak tomi meninggal dunia karena sakit. Hebatnya, dia selalu menutupi semuanya tanpa ada orang yang menyadari bagaimana dia yang sebenarnya. Sejak kepergian kekasihnya itu, dia memutuskan untuk pergi jauh. Dia tinggal di Sydney, setelah berapa lama dia kembali lagi ke Indonesia. Bedanya, setelah kepulangannya dari sana kak tomi mau bangkit lagi. Dan dia sudah mulai berusaha mengubur dalam-dalam kenangan yang pernah ada. Ketika dia bercerita seperti itu, aku langsung teringat padam. Tanpa disengaja aku bercerita tentangmu. Dia mulai tertarik untuk mengetahui mu. Tya, semua itu aku lakukan bukan semata-mata aku kasian, aku hanya ingin kamu mulai benar-benar bangkit. Aku sayang sama kamu tya, sangat sayang. Kamu  lebih dari teman kecilku. Aku tau bagaimana rumitnya kehidupanmu yang kamu lalui sendiri. Kamu sudah ku anggap adikku sendiri. Jadi, berusahalah bergerak kedepan. Aku tak bisa melihatmu terus-terusan berada di lingkaran mu tanpa peduli ruang disekitarmu yang sebenarnya sanggup berikan ruang lebih untukmu dari sekedar lingkaran yang kamu buat sendiri. Kak tomi, orang yang sangat tepat untuk memulai semuanya. Semangat, kamu harus bisa berjalan seperti tya yang aku kenal dulu” tanpa sadar aku menangis. Bagas pun mulai mengusap air mataku yang mulai jatuh sedikit demi sedikit. Semakin lama isak ku semakin deras. Bagas mulai memelukku erat, ia mengusap lembut kepalaku. Disaat itupun, aku tak miliki banyak kekuatan untuk mengeluarkan sepatah katapun. Aku miliki banyak harapan, tapi harapanku musnah ketika semua benar-benar terjadi dikehidupanku. Bukan hal biasa, ini rumit. Sampai diam adalah pilihan yang terbaik untukku saat itu. Menyedihkan bukan hidupku?

*****

Senja mulai tampakkan warnanya, kelabu tanda akan meninggalkan dan takkan ada sinarnya. Nanti, akan digantikan oleh seberkas cahaya rembulan. Disaat itupun suara tangis mulai beradu bersama hembusan angin, menciptakan harmoni pilu bagi siapapun yang mendengarnya. “aku iri dengan gelapnya langit, ia hilang saat matahari yang terang itu datang. Tapi kenapa bulan yang indah itu masih mau menemani ditiap harinya?” ucapku dalam hati. Ah, lagi-lagi keluhan. Apa masih belum bosan juga diriku ini dengan kata “Mengeluh”. Aku mulai memejamkan mata, membiarkan diri ini dihembus oleh angin. Biarkan mereka menusuk.

From :Tomi
“Hai, kamu sedang apa? Aku temani? Aku sedang menunggu kamu menjawab iya saat ini”

Aku tersenyum tipis ketika aku membuka pesan dari orang yang ingin menjadi teman bermain di duniaku. Belum sempat ku membalas, tiba-tiba aku merasa ada orang yang sedang menepuk bahu ku pelan. “Kok lama balas pesanku? Aku daritadi nungguin di belakangmu” ungkapnya. Aku sedikit mulai tertawa. Ini seperti kejutan, walau aku tau dia sedang tidak berusaha memberiku kejutan. “duduk boleh?” aku menggangguk pelan. Aku sedikit membenarkan posisi duduk ku “kamu sejak kapan di belakangku?” aku mulai membuka pembicaraan. “hmm, dari kapan yah” dia mulai pura-pura  berfikir “hehe, aku mengikutimu dari saat kamu keluar kantor” ungkapnya. Aku mulai terkejut, dan sedikit terbata-bata “ berarti kamu …. Ta .. “ dia menaruh jemarinya ke bibirku “Aku tau kamu mau bilang apa, jadi yasudah jangan dibahas. Kamu lupa sesuatu?” dia bertanya kembali. Sedangkan aku sedang berusaha mengingat sesuatu.

“Berbagilah cerita denganku, aku berikan kepastian. Dan aku pasti menemani mu di 2 waktumu. Di waktu suka dan duka. Lupakan bahwa kamu tak lagi sendiri di dunia ini. Kamu mau mengabulkan permintaanku itu kan?” dia menatapku, sangat dalam. Aku sedang sekuat tenaga berusaha membalas tatapannya. Tapi aku terpaku begitu saja.  “Apa kurang jelas perkataan ku?” aku sedikit memberanikan diri menatapnya, dan dia masih konsisten memperhatikan ku. “aku ingin jadi teman mu tya” ujarnya. “bukannya kita sudah menjadi teman?” Tanya ku untuk memastikan. “tapi belum menjadi teman hidup kan?” aku mulai benar-benar terkejut dan berusaha memahami apa yang baru saja ia ucapkan. “aku menyayangimu, tanpa karena. Karena aku tak miliki alasan lain” jelasnya lagi. Aku menundukkan kepalaku kembali. Berusaha menyikapi apa yang telah ia ungapkan, tapi aku benar-benar bingung, harus dari mana.  “kamu bersungguh-sungguh?” tanyaku lagi memastikan. Dia mulai mendekatkan diri semakin dekat di hadapan ku, dan mulai memegang kedua pundakku “apa aku kelihatan seperti bermain-main denganmu?” aku mengangguk penuh keyakinan. Ku lihat dia menaikkan satu alisnya di hadapan ku “Benarkah?”

“Iya, kamu sedang benar-benar ingin bermain dengan dunia ku”

“Nggk boleh yah?” aku mengangguk sedikit memoles bibirku dengan senyuman. Dia mulai terdiam.
“Jangan sekedar bermain, menetaplah untuk jangka waktu yang kita tidak tau, kapan akan berakhir” tegasku.

“Serius?”

“Apa aku keliatan sedang bermain-main?” dia mengelus kepalaku lembut, sambil lalu mengacak-ngacak rambutku.

“Kau tak sendiri, “ ujarnya

“Aku tau, kamu berusaha menjadi aku. Dan kau tak lupa menjadi dirimu sendiri. Dan kamu mulai kesulitan. Makanya kamu berusaha mencari solusi, bagaimana kamu mengubah kata ‘aku’ dan ‘Kamu’ menjadi ‘kita’ hehe pernyataan klasik yah” dia tertawa melihat tingkahku yang mulai menggaruk kepalaku yang sebenarnya sedang tidak gatal.

“Ceritakanlah entang warna sore yang sedang kamu nikmati hari ini di kejauhan, dan aku akan ceritakan betapa senjaku bukanlah yang terindah tanpa kamu duduk di sebelahku. Ayo pulang, hari semakin gelap. Apa kamu masih mau tinggal disini seorang diri? Eh aku lupa, ternyata kamu sudah tak sendiri lagi” ungkapnya

Sesaat kami berjalan pelan, meninggalkan tempat yang tercipta penuh perbincangan. Darisana, aku belajar tentang bagaimana caranya merelakan. Aku berusaha memaafkan diriku sendiri, menghapus setiap tangis, berusaha berdiri, dan berjalan kembali. Karena aku mulai benar=benar sadar, suatu hari nanti akan tiba saat disatu titik dimana aku berhenti mengasihani diriku sendiri. Saat sudah tiba di titik itu aku akan menemukan sebuah kalimat baru, kalimat yang jauh lebih indah dari semua getir. Dan aku mulai benar-benar sadar atas kehadiran Tomi, bahwa aku lebih besar dari sebuah rasa kehilangan, dia memberitahu bahwa hidupku lebih agung dari sebuah rasa sakit hati. Sudahlah cukup, pada saat yang tepat manusia akan benar-benar melupa pada satu hal yang membuat dirinya merasa terpuruk disudut gelapnya ruang. Karena aku harus mulai tau dan belajar mencintai cinta.

Selamat malam Tya Dwi Sekar, kau sedang berusaha menjadi dirimu yang baru. Atas dukungan orang yang ikhlas menemanimu di 2 waktu: suka dan duka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi