Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pancawarna Masih Hidup, Tapi Hanya Sekedar Diam Sebentar

Kamis, 14 Februari 2019

Oleh: Faidi Ansori
Penggiat Pancawarna
Aku memang sering berseberang faham dengan Bung Rasyiqi. Jika ia menuliskan “Akulah saksi hidup dari semua yang terjadi, barangkali sudah saat dia pergi untuk selama-lamanya,”[1] tulisanya. Aku juga ingin mengatakan dengan perkataan sama sebagai benturan ide dengannya.
Akulah saksi sejarah berdirinya Pancawarna atas semua yang terjadi hingga saat ini, namun sekarang bukan saatnya pergi, bahkan kepercayaanku didengar Allah, insyaalah Pancawarna tidak akan hilang untuk selama-lamanya.
Itulah tanggapan awal sebagai pengantar atas tulisan Bung Rasyiqi yang diberi judul “Kabar Duka, Pancawarna Telah Tiada”. Dengan senang hati, aku sengaja menyambut tulisan tersebut sebagai bentuk dialektika sesama penggiat Pancawarna.
Aku cukup yakin Bung Rasyiqi sedang galau melihat tingkah laku kawan-kawan Pancawarna yang tidak mudah diatur, diperintah, dan dipaksa ‘Berjuang’ untuk memuncratkan asas, visi, misi, dan motto Pancawarna pada realitas mahasiswa, terutamasekali untuk menyadarkan kaum statis dilingkungan organisasi dan mahasiswa akademisi kampus.
Jika judul “Pancawarna Masih Hidup, Tapi Hanya Sekedar Diam Sebentar” hanya sekedar sebagai tanggapan tulisan untuk berusaha menentang tulisan panjang Bung Rasyiqi. Aku kira tidak cukup adil kalau hanya dicari kesalahan-kesalahannya. Disini pembaca sekalian nanti akan faham kenapa aku tulis semua ini untuk penulis sebelumnya.
Pancawarna sebenarnya tidak seperti tuduhan resah Bung Rasyiqi secara keseluruhan, hanya saja Pancawarna masih sedang ngopi sendiri, membaca, merenung akan langkah apa untuk berjuang kedepan, serta juga dari sebagian penggiat dan penggas masih sibuk mengurusin tugas akhir paksaan dosen untuk lulus meninggalkan keruwetan kampus Universitas Trunojoyo Madura. Itulah sebagian alasan kenapa aku mengatakan ‘hanya diam sebentar’.
Perlu diketahui pembaca untuk difahami, bahwa Pancawarna sering dipropagandakan sebagai organisasi kesadaran, walaupun kawan-kawan penggiat tidak mau mendifinisikan itu sebagai organisasi. Namun kami adalah kelompok yang sadar pada hakikatnya. Ini terbutki ketika diwaktu kelahiran Pancawarana hampir seluruh kader pelangi berkumpul duduk menggauli secangkir kopi untuk menunjukkan kepada para aktivis dan akademis kampus, bahwa kami bisa bersatu padu walaupun berbeda organisasi dan ideologi.
Di Pancawarna, kader HMI, GMNI, PMII, Bargantara, Kesenian, bahkan yang tidak berorganisasi dan masyarakat pun seperti Bung Rasyiqi dapat masuk dengan leluasa. Ini sejarah, aku yakin masih belum ada organisasi semacam ini sebelumnya, walaupun ada isnyaallah tidak semenarik persaudaraannya kita. Maaf kami tidak bermaksud sombong.
Didalam tubuh Pancawarna memang diawali oleh penggagas cukup akal, mungkin juga karena mereka sudah banyak memakan-menyelami buku, dan menguasai retorika diwarung kopi dan kampus. Itu nyata, karena akulah bukti ketika duduk bersama mereka semalam suntuk hanya untuk mendiskusikan soal-soal agama-filsafat-ilmu-pengetahuan.
Baiklah, kuulang lagi, Pancawarna adalah perkumpulan manusia yang sadar. Bagaimana tidak demikian, jargonnya saja berbunyi “Hanya kesadaran untuk bersatu yang akan mengantarkan kita pada peradaban bangsa yang besar,” tutur Pancawarna.
Ingatlah, Pancawarna tidak hanya sadar tapi juga bersatu dan berjuang. Ini ciri khas dari perkumpulan kami. Tapi kami sadar semua itu akan menjadi debu jika tidak berjuang seperti semangat bara api ditengah-tengah keum intelektual dengan kenyataan gerakan-gerakan.

Mungkin ada benarnya yang ditulis oleh Bung Rasyiqi “Pancawarna sudah wafat, ia tidak dibunuh dan juga tidak terbunuh tapi mati dengan sendirinya,”[2] tulisnya.
Cobalah teliti kutipan tadi, itu sungguh tidak masuk akal, sebab sesuatu mati ada sebabnya. Bukankah begitu kawan?. Mungkin ia tidak sadar sebagai penggiat Pancawarna saat menulis, bahwa tulisan itu cukup berbahaya bagi pembaca yang masih belum tahu kedalaman kebiasaan kawan-kawan Pancawarna. Tapi tidak usah khawatir, kawan-kawan Pancawarna memang suka saling membenahi dan saling menegur ketika tidak sesuai dengan maksud sebenanya dari awal pendirian Pancawarna.
Sekali lagi, anda tidak usah goyah kepercayaan terhadap Pancawarna dengan tulisan Bung Rasyiqi. Ia memang manusia senang menulis ketika sendiri gak ada teman, lebih tepatnya jika tidak bersama cewek. Ia juga sebenarnya ingin menyuruh anda biar mambaca, dan tentu juga biar ada barang sedikit tahu tentang Pancawarna. Bersyukurlah anda diberikan ceramah olehnya.
Kembali lagi, kami Pancawarana sebenarnya ingin menguji sesama teman-teman untuk benar-benar berjuang dan menyadarkan kawan-kawan yang tidak samasekali sadar dalam keadaan genting dengan sulitnya menemukan mahasiswa/i pembaca, berdiskusi, dan bergerak.
Selain itu aku tidak setuju dengan staatmen Bung Rasyiqi bahwa Pancawarna sudah mati. Namun jika diam sebentar, itu benar. Apalagi mahasiswa baru datang dari kampung halaman, ya masak kedatangan mereka lalu diberatkan dengan aktiviatas Pancawarna yang terkadang radikal tidak seperti kebiasaan mereka para mahasiswa/i.
Dan aku sebagai salah satu penggiat Pancawarna sebanarnya ingin memberikan usulan kepada para penggiat yang lain, agar semua tulisan Bung Rasyiqi segera dirapatkan diperkumpulan kita, lalu sidanglah ia, supaya tidak benar-benar terjadi sebagaimana tulisannya. Kalau kawan-kawan sekalian (Pancawarna) tidak berselera untuk mengajak Bung Rasyiqi untuk diminta maksud bagaiknya, maka aku sendiri yang mau mengajak ia ngopi
Tidak ada gading yang retak. Pepatah yang kedengarannya basi itu sebenarnya mengandung kebijaksanaan dialektika yang tinggi. Selengkap apapun sebuah telaah dibuat, ia harus terbuka untuk dikeritik dan disempurnakan lagi melalui perdebatan dan benturan-benturan.[3] Sebagai tanggapanku akan tulisan Bung Rasyiqi, berharap penuh disambut mesra dengan dususul tulisan lain setelah ini untuk mengundang retorik, dialektik, problemik agar dapat mengerti dengan baik dan benar tentang Pancawarna.

Terimakasih anda sudah membaca tulisanku yang sebenarnya juga dalam kesendirian gak ada teman curahat.
Wessalam.
Salam Persatuan!




[1] Rasyiqi, Kabar Duka, Pancawarna Telah Tiada, https://pancawarna05.blogspot.com, diunduh 14 Februari 2019.
[2] Ibid.
[3] Saiful Arif & Eko Prasetyo, LENIN REVOLUSI OKTOBER 2917, (Yokyakarta: RESIST BOOK, 2004), hal. xxii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi