Oleh: Faidi Ansori
Penggiat Pancawarna
Aku
memang sering berseberang faham dengan Bung Rasyiqi. Jika ia menuliskan “Akulah
saksi hidup dari semua yang terjadi, barangkali sudah saat dia pergi untuk
selama-lamanya,”[1]
tulisanya. Aku juga ingin mengatakan dengan perkataan sama sebagai
benturan ide dengannya.
Akulah
saksi sejarah berdirinya Pancawarna atas semua yang terjadi hingga saat ini,
namun sekarang bukan saatnya pergi, bahkan kepercayaanku didengar Allah, insyaalah Pancawarna tidak akan hilang untuk selama-lamanya.
Itulah
tanggapan awal sebagai pengantar atas tulisan Bung Rasyiqi yang diberi judul “Kabar
Duka, Pancawarna Telah Tiada”. Dengan senang hati, aku sengaja menyambut
tulisan tersebut sebagai bentuk dialektika sesama penggiat Pancawarna.
Aku cukup
yakin Bung Rasyiqi sedang galau melihat tingkah laku kawan-kawan Pancawarna yang
tidak mudah diatur, diperintah, dan dipaksa ‘Berjuang’ untuk memuncratkan asas,
visi, misi, dan motto Pancawarna pada realitas mahasiswa, terutamasekali untuk
menyadarkan kaum statis dilingkungan organisasi dan mahasiswa akademisi kampus.
Jika
judul “Pancawarna Masih Hidup, Tapi Hanya Sekedar Diam Sebentar” hanya sekedar sebagai
tanggapan tulisan untuk berusaha menentang tulisan panjang Bung Rasyiqi. Aku
kira tidak cukup adil kalau hanya dicari kesalahan-kesalahannya. Disini pembaca
sekalian nanti akan faham kenapa aku tulis semua ini untuk penulis sebelumnya.
Pancawarna
sebenarnya tidak seperti tuduhan resah Bung Rasyiqi secara keseluruhan, hanya
saja Pancawarna masih sedang ngopi sendiri, membaca, merenung akan langkah apa
untuk berjuang kedepan, serta juga dari sebagian penggiat dan penggas masih
sibuk mengurusin tugas akhir paksaan dosen untuk lulus meninggalkan keruwetan
kampus Universitas Trunojoyo Madura. Itulah sebagian alasan kenapa aku
mengatakan ‘hanya diam sebentar’.
Perlu
diketahui pembaca untuk difahami, bahwa Pancawarna sering dipropagandakan sebagai
organisasi kesadaran, walaupun kawan-kawan penggiat tidak mau mendifinisikan itu sebagai
organisasi. Namun kami adalah kelompok yang sadar pada hakikatnya. Ini terbutki
ketika diwaktu kelahiran Pancawarana hampir seluruh kader pelangi berkumpul
duduk menggauli secangkir kopi untuk menunjukkan kepada para aktivis dan
akademis kampus, bahwa kami bisa bersatu padu walaupun berbeda organisasi dan ideologi.
Di Pancawarna,
kader HMI, GMNI, PMII, Bargantara, Kesenian, bahkan yang tidak berorganisasi
dan masyarakat pun seperti Bung Rasyiqi dapat masuk dengan leluasa. Ini sejarah,
aku yakin masih belum ada organisasi semacam ini sebelumnya, walaupun ada isnyaallah tidak semenarik persaudaraannya kita. Maaf kami tidak bermaksud sombong.
Didalam
tubuh Pancawarna memang diawali oleh penggagas cukup akal, mungkin juga karena
mereka sudah banyak memakan-menyelami buku, dan menguasai retorika diwarung
kopi dan kampus. Itu nyata, karena akulah bukti ketika duduk bersama mereka semalam
suntuk hanya untuk mendiskusikan soal-soal agama-filsafat-ilmu-pengetahuan.
Baiklah,
kuulang lagi, Pancawarna adalah perkumpulan manusia yang sadar. Bagaimana tidak
demikian, jargonnya saja berbunyi “Hanya kesadaran untuk bersatu yang akan
mengantarkan kita pada peradaban bangsa yang besar,” tutur Pancawarna.
Ingatlah,
Pancawarna tidak hanya sadar tapi juga bersatu dan berjuang. Ini ciri khas dari
perkumpulan kami. Tapi kami sadar semua itu akan menjadi debu jika tidak
berjuang seperti semangat bara api ditengah-tengah keum intelektual dengan
kenyataan gerakan-gerakan.
Mungkin ada benarnya yang ditulis oleh Bung Rasyiqi “Pancawarna sudah wafat, ia tidak dibunuh dan juga tidak terbunuh tapi mati dengan sendirinya,”[2] tulisnya.
Mungkin ada benarnya yang ditulis oleh Bung Rasyiqi “Pancawarna sudah wafat, ia tidak dibunuh dan juga tidak terbunuh tapi mati dengan sendirinya,”[2] tulisnya.
Cobalah
teliti kutipan tadi, itu sungguh tidak masuk akal, sebab sesuatu mati ada
sebabnya. Bukankah begitu kawan?. Mungkin ia tidak sadar sebagai penggiat
Pancawarna saat menulis, bahwa tulisan itu cukup berbahaya bagi pembaca yang
masih belum tahu kedalaman kebiasaan kawan-kawan Pancawarna. Tapi tidak usah
khawatir, kawan-kawan Pancawarna memang suka saling membenahi dan saling menegur
ketika tidak sesuai dengan maksud sebenanya dari awal pendirian Pancawarna.
Sekali
lagi, anda tidak usah goyah kepercayaan terhadap Pancawarna dengan tulisan Bung
Rasyiqi. Ia memang manusia senang menulis ketika sendiri gak ada teman, lebih
tepatnya jika tidak bersama cewek. Ia juga sebenarnya ingin menyuruh anda biar
mambaca, dan tentu juga biar ada barang sedikit tahu tentang Pancawarna.
Bersyukurlah anda diberikan ceramah olehnya.
Kembali
lagi, kami Pancawarana sebenarnya ingin menguji sesama teman-teman untuk
benar-benar berjuang dan menyadarkan kawan-kawan yang tidak samasekali sadar
dalam keadaan genting dengan sulitnya menemukan mahasiswa/i pembaca,
berdiskusi, dan bergerak.
Selain
itu aku tidak setuju dengan staatmen
Bung Rasyiqi bahwa Pancawarna sudah mati. Namun jika diam sebentar, itu benar. Apalagi
mahasiswa baru datang dari kampung halaman, ya masak kedatangan mereka lalu diberatkan
dengan aktiviatas Pancawarna yang terkadang radikal tidak seperti kebiasaan
mereka para mahasiswa/i.
Dan aku
sebagai salah satu penggiat Pancawarna sebanarnya ingin memberikan usulan
kepada para penggiat yang lain, agar semua tulisan Bung Rasyiqi segera
dirapatkan diperkumpulan kita, lalu sidanglah ia, supaya tidak benar-benar terjadi
sebagaimana tulisannya. Kalau kawan-kawan sekalian (Pancawarna) tidak berselera
untuk mengajak Bung Rasyiqi untuk diminta maksud bagaiknya, maka aku sendiri
yang mau mengajak ia ngopi
Tidak
ada gading yang retak. Pepatah yang kedengarannya basi itu sebenarnya
mengandung kebijaksanaan dialektika yang tinggi. Selengkap apapun sebuah telaah
dibuat, ia harus terbuka untuk dikeritik dan disempurnakan lagi melalui perdebatan
dan benturan-benturan.[3] Sebagai tanggapanku akan
tulisan Bung Rasyiqi, berharap penuh disambut mesra dengan dususul tulisan lain
setelah ini untuk mengundang retorik, dialektik, problemik agar dapat mengerti
dengan baik dan benar tentang Pancawarna.
Terimakasih
anda sudah membaca tulisanku yang sebenarnya juga dalam kesendirian gak ada teman
curahat.
Wessalam.
Salam
Persatuan!
[1] Rasyiqi, Kabar Duka, Pancawarna Telah Tiada, https://pancawarna05.blogspot.com,
diunduh 14 Februari 2019.
[3] Saiful Arif
& Eko Prasetyo, LENIN REVOLUSI
OKTOBER 2917, (Yokyakarta: RESIST BOOK, 2004), hal. xxii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi