Oleh: Dika Farizy
Sambil berbaring
kutulis kembali kisah ini,
kisah setelah
kekalahan kaum progresif.
Cerita bermula di
awal 1974,
ketika pembungkaman
mulai secara masif nyata.
Ada rinai-rinai
perlawanan di ibukota, kaum urban dan Mahasiswa memenihu jalanan
menentang terik dan
membakar apa yang ada.
Penggusuran basis
lahirnya taman mini Indonesia indah.
Pembakaran ditanah
abang, nyambi yel-yel anti mobil Jepang.
Rinai-rinai cuma
mampu membentuk kelokan air yang mengalir,
berujung keruh tanpa
dukungan dari desah perau daerah-daerah,
apalah artinya rinai-rinai
geopolitik.
Ditahun 1978
Rinai-rinai
bergemericik di daerah-daerah
sementara di ibukota
kembali kemarau
rinai-rinai itupun
keruh akhirnya
apalah artinya
bejibun rinai-rinai tanpa masifitas geopolitik,
berujung pada nasib
naas dengan munculnya:
Normalitas kehidupan
kampus dan badan koordinansi kampus,
makin kering
kerontanglah seluruh negeri,
bahkan rinaipun
enggan mampir.
Di sekitar 1980-an
laksana kaktus
ditengah padang gurun kehidupan,
berbagai varian
praksis dan aliran membentuk awan
sayup-saup dan
seadanya merenda asa.
Minoritas bukan
alasan berpangku dan memohon iba
kelindan mitra,
jaringan, dan sel lewat kontak.
Manfaat kesempatan
berbuah peluang hindari fatamorgana.
Di sekitar 1990-an
bendera telah
dikibarkan, pantang diturunkan
menyusuri kali-kali
kering,
meniti lembah mendaki
bukit latihan-latihan menghadapi menara gading tiran
sembari tetap awas
pada fatamorgana
pada
advonturisme dan oportunian
selalu waspada pada
alat-alat rezim militerisme
mulai dari menwa
dikampus hingga organisasi pemuda mahasiswa yang terokoptasi rezim
hingga tibalah
saatnya ketika 1998
rinai-rinai berubah
berderai-derai
tumpah-ruah memenuhi
jalanan, banjir bandang perubahan menjungkalkan otoritarian.
Gejolak massa luar
biasa terlarut dalam euforia tak awas menatap, banyak yang terapung
berenang tak
tenggelam.
Pekik reformasi
keseantero negeri.
Keluar mulut buaya
masuk mulut singa
situasi kini kembali
terjajah
derai-derai hanyalah
tinggal kisah
bahkan rinai-rinaipun
enggan menyapa.
28 Oktober didepan
mata.
Guratan prasasti
heroik para pemuda-pemudi
89 tahun silam
berikar.
Satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa, tanah air tanpa penindasan,
bangsa yang gandrung
akan keadilan, bahasa tanpa kebohongan.
Jangan biarkan itu
kerontang tanpa rinai-rian.
Marilah bersatu
bangkit melawan mengguratkan kisah berlawan generasi dua ribuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi