Oleh:
Aryo Gendeng
Hidup Mahasiswa!
Hidup Mahasiswa!
Hidup Mahasiswa!
Begitulah kata yang dinanti-nanti olehku dalam keadaan darurat ini. Aktivis kampusku payah sekali! Mugkin karena terlelap dalam tidurnya. Gumamku dalam hati, pun perjalanan menuju kampus. Aku jalan kaki menuju gedung B, disana ada pementasan yang akan di perankan oleh teman-teman kesenian kampusku. Kampus yang bernama buono. Salah satu kampus ternama di Pulauku. Kampusku sekarang dalam keadaan darurat, sebab mulai dari kemarin setiap jam 10 malam, kampus diwajibkan sepi. Daruratnya itu karena jam malam yang tak jelas manfaatnya.
“Hai Cak. Mau kemana Cak?” Sambil
memberhentikan sepedanya Udin menyapaku. Kemudian bertanya dengan kalimat
singkatnya.
“Ini dek mau ke gedung B.”
Jawabku singkat.
“Oh, ayo bareng kak. Aku juga mau
kesana. Kakak mau nonton pementasankan tah?” Tanyanya padaku.
“Ia dek, ayo.” Jawabku.
“Makanya ayo bareng aja.”
ucapnya. Aku langsung naik-bonceng pada motor yang dikendarainya. Dalam
perjalanan, kami asik membincangkan tentang kampusku yang sepi. Nampaknya
setiap pukul 10, kampus ini diwajibkan sepi seperti kuburan. Dan pernyataan
dari udin tentang kampus yang sepi itu juga lumayan gawat. Dia mengatakan
bahwasannya, ada beberapa kemungkinan tentang kampus yang sepi itu.
Kemungkinan pertama, karena barang-barang yang berada di dalam kampus takut
dicuri oleh Mahasiswa. Kemungkinan kedua, karena ada kaitannya dengan politik
kampus. Kebetulan sekarang ini, di kampus kami sedang ada pesta demokrasi yakni
PILPRES. Kemungkinan ketiga, dikarenakan memang ada suatu hal yang terjadi.
Seperti pekerjaan SEX yang dilakukan Mahasiswa. Sebab pada sebelum-sebelumnya
acap kali ditemukan Mahasiswa terciduk begituan dalam kampus. Sedang yang
keempat mungkin Bapak terkait masih punya urusan memberi matakuliah tambahan,
yakni matakuliah kesabaran. Atau bapak terkait itu, ingin menguji kesabaran
Mahasiswa. Dan kemungkinan terakhir adalah, bapak rindu dengan kalimat HIDUP
MAHASISWSA. Kalimat yang mengusut namanya. Mungkin terkait itu bapak ingin
eksis dengan didemo.
Dialogku dengan udin sekisar 6 menitan. Bisa dibilang sekitas 6 menitan aku dan udin telah sampai di gedung B, di sana sudah banyak suara yag menyatu berbunyi bersama. Kalimat yang di ucapkan itu sudah tak asing lagi di kupingku. “Salam Seni dan Budaya.” Kalimat itulah yang terdengar lantang secara bersamaan. Aku dan udin mencagak motor yang kami tunggangi, kemudian melangkah cepat menuju ruangan tempat pementasan.
*** **
Ada empat pementasan yang
dipentaskan tadi, yakni tari, pementasan sastra, rupa, dan drama. Sehabis 4
pementasan itu usai, kami melangkah dari gedung B menuju ke luar kampus. Lebih
tepatnya di Warung Depan Kampus (WDK). Ya! kami melakukan diskusi yang bisa
disebut sarasehan itu di sana. Suasana tanpa alas kurang asik, dan bisa
dibilang tidak kondusif.
Sebelum jam malam itu berlaku
biasanya kami bersarasehan didalam ruangan dalam kampus. Suasana di luar dan
dan di dalam kampus itu berbeda ternyata. Kalau di dalam ruangan itu, bunyi
kenalpot sepeda motor tidak terdengar begitu lantang. Kemudian lampu membantu
menerangi wajah-wajah Mahasiswa kesenian yang mengikuti sarasehan dimalam itu.
Sedang di luar kampus sarehannya tidak kondusif. Banyak motor yang lewat.
Sehingga fokus peserta sarasehan itu terpecah. Aku semakin tak tahan dengan
semua ini. Aku tak tahan dengan Mahasiswa yang sabar dengan jam malam ini.
Kegiatan-kegitan dalam kampus semacam terseteril. Tak ada lagi kegiatan malam
yang menjadi jembatan Mahasiswa untuk mengasah keterampilan. Mahasiswa di
kampusku semacam numpang saja. Diperintah terus! Ditambah lagi para aktifis
yang menghilang! Sehingga KEDIKTATORAN semakin menjadi! Pihak terkait memberi
permasalahan tanpa solusi. Semacam aku kuliah di jaman penjajahan saja!
Adapu para tamu dari Kampus lain,
harus hidup menggantung di jalanan. Biasanya para tamu mendapat jamuan yang
layak, eh ini malah hidup terlantung. Padahal bila jamuan dari kami baik, pasti
nama kampus kami juga dikenal baik. Kalau seperti ini bagaimana bisa dikenal
baik. Ya sudahlah, aku ikut teman-teman saja, wong teman-teman biasa-biasa saja
kok dengan keadaan darurat ini. Mending aku diam. Seperti para aktifis yang
diam karena sudah dikenyangkan.
Wahterbaik Pancawarna
BalasHapus