Oleh: Dika Farisy,
Mahapatih BARGANTARA
Bumi kerontang, terik
berkepanjangan. Sang surya setia mengisi inci demi inci rotasi, seakan-akan siap membakar setiap isi
kolong langit. Lava vulkanik seolah-olah siap termuntahkan dari kedalaman
lubang kepundan. Langit gusar pada Sang Bayu yang kalem pada awan mega-mega
yang tampak mematung di angkasa.
Bumi dirundung gejolak, bahkan
bintang dan rembulan di malam kelam pun tak mampu menenangkan. Sebagaimana
warga Capua yang menduetkan Crixus dengan Spartacus bertarung melawan Theokoles
sebagai persembahan bagi para dewa Olympus, hujanlah yang paling dinanti.
Karena hujan akan membuat bumi
kembali berseri, debu-debu akan kembali khidmat bersemedi menjadi liat yang
kental, kehidupan menjadi mekar, dan bahkan terik membara pun turut surut ke
dalam kerak bumi.
*****
“Wahai Sang Bayu,
hantam dan hancurkanlah mega-mega angkasa, biarkanlah pecahan-pecahannya
menjadi butir-butir tetes hujan yang akan
membasahi bumi.”
“Bersabarlah wahai kesatria
langit, kita menantang takdir, marilah kuantar mengamati isi galaksi. Biarlah
cinta dan rindumu terobati.”
“Apa yang galaksi ketahui tentang
cinta dan rindu yang membara laksana nikmatnya candu?”
“Pernahkah mendengar percakapan
dua anak manusia, antara Shinta dengan Rahwana yang konon menculiknya dari
Rama?”
“Sekedar mengamati dari
ketinggian semesta ini.”
“Mau tahu apa jawaban Rahwana
setelah Shinta menyuruhnya meminta maaf pada Rama?”
“Apakah kira-kira?”
“Begini katanya: Aku laki-laki, caraku meminta maaf
adalah dengan berperang.”
“Mengapa tiba-tiba terbersit pada
kisah epos Ramayana itu?”
“Cinta adalah perasaan Universal yang murni dari lubuk hati.
Dan itu tentang nurani, meski semesta kerap rumit mendefinisikan dan
menjalankannya berdasarkan naluri.”
“Apakah maksudnya semesta kerap
mempertontonkan cinta hanya berdasarkan pada rangkaian aksara dan tutur kata?”
“Dan seolah mengabaikan rangkaian
tahap demi tahap praksis di dalamnya.”
“Pemaksaan kehendak diri?”
“Dan tentu saja tentang
eksistensi. Teriakan keputusasaan dari lembah alienasi, pengasingan: penjara
yang sendiri cipta.”
“Tentang dirikukah topik ini?”
“Engkau ksatria langit, ilmu dan
pengetahuan bejibun padamu.”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Berhentilah memaksakan kehendak,
tapi tunjukanlah lewat laku tindak isi kehendakmu. Niscaya semesta akan selalu
dalam selubunganmu.”
“Tapi bumi kini kerontang, segera
ada pertolongan.”
“Itu persoalan padu padan nurani
dan naluri.”
“Bagaimana mempadu-padankannya?”
“Tengoklah pada pengalaman
kegagalan Rahwana membebaskan Shinta dari Rama.”
“Tetap masih belum kupahami?”
“Bahwa ilmu, niat, dan semangat
yang menggebu belumlah cukup. Harus didukung oleh senjata, logistik, dan sekutu
yang memadai.”
“Akankah kita mampu menyelami
galaksi dan menantang takdir yang digariskan para dewa?”
“Seperti kata Nyoto: kalau kita
bersatu tak akan ada yang rugi, kecuali para penindas-penindas itu.”
“Bagaimana mempersatukannya?”
“Marilah kita mengamati dan
merumuskan isi galaksi bersama.”
*****
Bumi masih tetap kerontang.
Mega-mega masih mematung di angkasa, sang surya tetap trengginas memanggang
mikrokosmos, hujan tetap masih dinanti. Langit masih tetap bersikukuh mendesak Sang Bayu
tuk menghantam mega-mega agar tercipta rinai-rinai hujan: Menantang Sang surya dan mengusir lava yang
mendiami kepundan yang menganga.
*****
Ajakan sang bayu belum ditanggapi
kesatria langit. Mereka menyimpan kekuatan sendiri-sendiri. Sama-sama pelopor,
sama-sama tak takut popor, tapi kini rupanya mereka sedang tenggelam dalam
penantian menyantap opor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi