Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

BUMI, BAYU dan LANGIT (Tentang Hujan)

Minggu, 10 Desember 2017
Oleh: Dika Farisy, Mahapatih BARGANTARA
Bumi kerontang, terik berkepanjangan. Sang surya setia mengisi inci demi inci rotasi, seakan-akan siap membakar setiap isi kolong langit. Lava vulkanik seolah-olah siap termuntahkan dari kedalaman lubang kepundan. Langit gusar pada Sang Bayu yang kalem pada awan mega-mega yang tampak mematung di angkasa.

Bumi dirundung gejolak, bahkan bintang dan rembulan di malam kelam pun tak mampu menenangkan. Sebagaimana warga Capua yang menduetkan Crixus dengan Spartacus bertarung melawan Theokoles sebagai persembahan bagi para dewa Olympus, hujanlah yang paling dinanti.

Karena hujan akan membuat bumi kembali berseri, debu-debu akan kembali khidmat bersemedi menjadi liat yang kental, kehidupan menjadi mekar, dan bahkan terik membara pun turut surut ke dalam kerak bumi.
*****
“Wahai Sang Bayu, hantam dan hancurkanlah mega-mega angkasa, biarkanlah pecahan-pecahannya menjadi butir-butir tetes hujan yang akan membasahi bumi.”
“Bersabarlah wahai kesatria langit, kita menantang takdir, marilah kuantar mengamati isi galaksi. Biarlah cinta dan rindumu terobati.”
“Apa yang galaksi ketahui tentang cinta dan rindu yang membara laksana nikmatnya candu?”
“Pernahkah mendengar percakapan dua anak manusia, antara Shinta dengan Rahwana yang konon menculiknya dari Rama?”
“Sekedar mengamati dari ketinggian semesta ini.”
“Mau tahu apa jawaban Rahwana setelah Shinta menyuruhnya meminta maaf pada Rama?”
“Apakah kira-kira?”
“Begini katanya: Aku laki-laki, caraku meminta maaf adalah dengan berperang.”
“Mengapa tiba-tiba terbersit pada kisah epos Ramayana itu?”
“Cinta adalah perasaan Universal yang murni dari lubuk hati. Dan itu tentang nurani, meski semesta kerap rumit mendefinisikan dan menjalankannya berdasarkan naluri.”
“Apakah maksudnya semesta kerap mempertontonkan cinta hanya berdasarkan pada rangkaian aksara dan tutur kata?”
“Dan seolah mengabaikan rangkaian tahap demi tahap praksis di dalamnya.”
“Pemaksaan kehendak diri?”
“Dan tentu saja tentang eksistensi. Teriakan keputusasaan dari lembah alienasi, pengasingan: penjara yang sendiri cipta.”
“Tentang dirikukah topik ini?”
“Engkau ksatria langit, ilmu dan pengetahuan bejibun padamu.”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Berhentilah memaksakan kehendak, tapi tunjukanlah lewat laku tindak isi kehendakmu. Niscaya semesta akan selalu dalam selubunganmu.”
“Tapi bumi kini kerontang, segera ada pertolongan.”
“Itu persoalan padu padan nurani dan naluri.”
“Bagaimana mempadu-padankannya?”
“Tengoklah pada pengalaman kegagalan Rahwana membebaskan Shinta dari Rama.”
“Tetap masih belum kupahami?”
“Bahwa ilmu, niat, dan semangat yang menggebu belumlah cukup. Harus didukung oleh senjata, logistik, dan sekutu yang memadai.”
“Akankah kita mampu menyelami galaksi dan menantang takdir yang digariskan para dewa?”
“Seperti kata Nyoto: kalau kita bersatu tak akan ada yang rugi, kecuali para penindas-penindas itu.”
“Bagaimana mempersatukannya?”
“Marilah kita mengamati dan merumuskan isi galaksi bersama.”
*****
Bumi masih tetap kerontang. Mega-mega masih mematung di angkasa, sang surya tetap trengginas memanggang mikrokosmos, hujan tetap masih dinanti. Langit masih tetap bersikukuh mendesak Sang Bayu tuk menghantam mega-mega agar tercipta rinai-rinai hujan: Menantang Sang surya dan mengusir lava yang mendiami kepundan yang menganga.
*****
Ajakan sang bayu belum ditanggapi kesatria langit. Mereka menyimpan kekuatan sendiri-sendiri. Sama-sama pelopor, sama-sama tak takut popor, tapi kini rupanya mereka sedang tenggelam dalam penantian menyantap opor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi