“saya hawatir
anak-anak dan cucu-cucu bangsa kita tak mau meneruskan titah sebagai anak dari petani”
(Kak Bung)
Hidup kita bergantung pada makan dan minum,
makan dan minum tentu dari buah-buahan dan air, buah dari tumbuh-tumbuhan dan
air bergantung pada tanah, tanah bergantung pada pengolah tanah, pengolah tanah
bergantung pada alam semesta, alam semesta bergantung kepada tuhan pencipta,
dan pencipta tak akan mau bergantung kepada siapapun, karena tuhan tidak mempunyai
identitas alam semesta samasekali.
Di pragraf di atas mungkinlah pembaca tidak
terlalu mengerti apa hubungan tulisan saya dengan tema yang diangkat, namun
kalau kita betul-betul berfikir secara mendalam Insyaallah kita akan dapat
mengerti bahwa manusia haruslah hidup. Hidup butuh makan dan minum, makan dan
minum haruslah di cari dengan bertani, maka tanpa bertani atau membeli pada si petani
kita tak mungkin bisa hidup. Tetapi anda janganlah bersuudhon terlebih dahulu soal kebergantungan kita pada makan dan
minum, atau bahkan terhadap petani. Disini saya hanya memfokuskan pada persoalan
material bukan kerohanian dan ketuhanan. Jadi kalian harus memahami maksud saya
yang sebenarnya.
Kawan-kawan sekalian, dalam kesempatan
tulisan kali ini saya ingin sekali-kali mencoba menulis di awali dengan bercerita
terlebih dahulu, walaupun hanya sedikit, dan saya yakin cerita di bawah
insyaaallah ada hubungannya dengan tema.
Pada tanggal 12 Februari 2018, saya di ajak
bapak kesawah agar membantu profesianya sebagai petani bersama adik. Setiap
kali bapak mau berangkat beraktifitas kesawah, saya dan adik-adik pasti di ajak
untuk ikut membantu pekerjaannya sebagai petani. Bapak bertani sesuai dengan
musim tetanaman yang akan mau ditanam. Kalau musimnya jagung maka jangunglah
yang ditanam untuk kebutuhan hidup keluarga. Tidak hanya itu, bapak bertani cabai,
kacang, dan lain-lain, itupun kalau sudah masuk pada musimnya.
Di sela-sela pekerjaan di sawah, kami sempat
berbincang-bincang terhadap bapak soal-soal aktifitasnya sebagai petani.
Bapak sering mengatakan terhadap saya diwaktu
kita istitrahat
“cong?
Mencangkul itu tidak di ajarkan di sekolah, dan pekerjaan seperti ini tidaklah
saya dapati bersama guru, tentu juga tidak di dapati kamu di bangku kuliah,
namun hal semacam ini di peroleh karena bekerja, pengalaman, dan ilmu”,
demikian ujarnya.
Dhebu tersebut saya
coba fikir secara mendalam, ternyata sangatlah benar perkataannya. Bangku
sekolah dan ruang-ruang kuliah tidaklah di ajarkan ilmu tentang mencangkul dan
bertani, tetapi hal semacam ini di dapati dengan pengalaman, dan bekerja. Namun
belum usai saya berfikir tentang soal mencangkul dan apa manfaatnya bertani,
lalu bapak menarik nafas dengan santainya, beliau berkata
“mencangkul dan bertani memang tidak di pelajari
di bangku sekolah dan kuliah, tapi apabila kamu belajar ilmu dengan giat serta bersungguh-sungguh
dikampus, maka ilmu tentang mencangkul akan di ketahui dengan sendirinya.
Itulah manfaatnya ilmu, jadi sekalipun cara ini tidak dipelajari di sekolah,
tetapi dengan ilmu kamu akan tahu sendiri dikemudian hari, sebab ilmu itu akan
berguna”, terangnya dengan tegas.
Saya agak kaget ketika bapak menjelaskan
tentang soal-soal mencangkul serta kaitannya dengan mencari ilmu disekolah dan
dikampus.
Pekerjaan mencangkul memang sangatlah
melelahkan, namun apa mungkin saya bisa sekolah tanpa cangkulan dan jerihpayah kedua
orang tua. Saya kira tidak bisa. Uang semester, makan minum, buku, rokok,
ngopi, sepeda motor, dan ilmu, semuanya saya dapati dari jerihpayah hasil
pekerjaan orang tua sebagai petani.
Di lain kesempatan saya sempet bertanya sama
bapak.
“kenapa sampean
bertani? Apa hasilnya bertani?”
Bapak dengan tegas menjawab
“kalau saya tidak bertani kamu akan makan apa
cong, sedangkan hidup ini butuh makan
dan butuh bekerja”
Tidak lama dari jawaban itu, bapak meyambung
lagi atas pertanyaan yang saya lontarkan
“hasil dari saya bertani memang tidaklah
banyak, dan pekerjaan bertani seperti ini tidaklah dibayar, juga tidak
menghasilkan setiap hari, dan terkadang dalam kacamata kita, bertani seperti
ini tidaklah ada hasilnya, namun kalau kita fikir-fikir, jika tanah ini tidak
kita manfaatkan, maka tanah tidak akan menghasilkan apa-apa dan kita mau makan
apa kalau tidak dengan bertani, inilah satu-satunya pekerjaan yang ada tanpa
harus dibayar” demikian tegasnya sambil menghisap rokok dan mengelusnya dengan
santai.
Mendengar jawaban bapak, rasa terharu mulai
muncul, bahkan jawaban semacam ini tidak saya temukan ketika ikut Aksi
Demontrasi ke kantor Dinas Pertanian Kab. Bangkalan oleh aparatur yang bertugas.
*****
Marilah kita berfikir. Apakah kita anaknya
petani atau tidak. Kalau kita anak dari ayah dan ibu petani, maka cara berfikir
kita haruslah cara petani dan keilmuan petani. Karena belakangan ini terkadang
banyak di antara kita tidak mau di katakan sebagai anak petani, caranyapun
bukan cara petani. Gaya hidup kita sudah kelewatan, bahkan tidak mau meneruskan
titah kedua orang tua, semuanya berbondong-bondong pengen pergi ke kota untuk
hanya membuncitkan perut dan menebalkan saku, dompet, membeli sepeda motor,
mobil, rokok, baju, perhiasan, dan membangun rumah. Kita lupa bahwa desa perlu di
bangun dari semua penjuru sudut-sudatnya.
Menjadi petani di era sekarang tidaklah keren
kata anak muda “Jaman Now”. Pabrik,
perusahaan, dan bersaragam dinas kayak lompa pacuan kuda daripada anak-anak
bangsa kita. Mereka sudah lupa bahwa Presiden, Mentri, DPR, MPR, MK, MA,
Gubernur, Walikota, Bupati, Kepala Desa, Wartawan, Profesor, Doktor, Dosen,
Mahasiswa, TNI, Polisi, Politisi, bahkan Negarapun dibayar dan diberi makan
oleh darah keringat kaum petani. Semua makanan yang dimakan oleh pemerintah dan
aparaturnya, karena kerja keras petani. Kita sudah banyak melupakan perannya
petani, terutama peran kedua orang tua kita yang petani.
Marilah coba berfikir lagi sebelum meranjak jauh
untuk bekerja kepabrik, keperusahaan, dan lain-lain. Kalau dikemudian hari
semuanya serba beli dan anak-anak serta cucu-cucu bangsa Indonesia tidak mau
menjadi petani, bahkan mau menjual tanah warisannya hanya untuk permasalahan
hukum dan untuk membangun rumah, perumahan, kontrakan, kos-kosan, hotel,
alfamat, indomaret, tempat diskotik dan karauke, dan gedung-gedung mewah tinggi
lainnya, serta kita berlomba-lomba untuk menunjukkan kekayaan dan kreatifitas
yang sempit, maka dengan apa bangsa Indonesia bisa makan, hidup, dan
beraktifitas untuk masa depan bangsa. Kalau tidak dengan menjadi petani, saya
kira bangsa Indonesia tidak akan pernah hidup dengan sejahtera. Coba anda
fikir-fikir lagi. Apa mungkin kita mau membeli terus, dan bahkan sering impor
dari negara lain.
Mohon maaf jika ada yang tersingung ketika
saya mempernalkan sosok petani kepada sidang pembaca. Perlu diketahui bahwa
banyak sekali kaum petani dari keluarga kita, tetangga, dan orang terdekat di
desa. Itulah yang mencukupi kehidupan sehari-hari, kesejahteraan anda yang
bekerja dipabrik, perusaan, dan yang berkain dinas. Kita harus bersyukur karena
masih ada petani yang mau melayani.
Sekarang jika saya diperbohkan untuk
berkenalan tentang status dari keluarga. Saya adalah anak keluarga yang di besarkan
oleh darah petani, dan saya yakin sebagian banyak dari kita juga keturunan petani.
Kalau dikemudian hari Anak-anak dan cucu-cucu kita tidak mau menjadi petani,
atau tidak mau menjaga bahkan sampai menjual tanah warisan orang tua hanya
untuk kebutuhan lain selain dari kebutuhan hidup yang sangat panjang, maka saya
tidak yakin bahwa keluarga kita akan sejahtera sebagaimana orang tua dan
nenekmoyoang kita sejahtera tanpa memegang uang banyak dan rumah mewah.
Saya pernah diberi pesan oleh bapak ketika
bapak lagi ada disawah tentang soal-saol kerja
“cong,
saya tidak pernah berharap kamu bekerja dipabrik, perusaan, atau bahkan menjadi
kuli, tapi saya berharap agar ilmu yang kamu peroleh dikampus bisa bermanfaat
bagi dirimu sendiri dan orang lain” tukas dawuhnya
dengan ringan.
Di lain kesempatan Bapak berpesan terhadap
saya
“kalau disuatu waktu kamu ditakdirkan untuk
menjadi ini, atau itu, itu disebabkan usahamu, jadi dari sekarang kamu belajar
dengan giat, entar kamu akan mengetahui sendiri hasilnya dengan apa yang kamu
kerjakan” begitu pula tegasnya.
Bapak sering memberikan motivasi tentang
hidup dan kehidupan yang baik, walaupun bapak tidak pernah mengenyam pendidikan
di perguruan tinggi, hanya saja bapak menyelaikan studinya sampai Madrasah
Aliyah (MA).
Dengan
motivasi yang sering didawuhkan oleh
beliau, lalu saya berinisiatif untuk berusaha dan tetap ingin menjaga tanah
yang akan diwariskan kepada saya kelak dikemudian hari. Kalau kemudian hari
saya punya anak, maka insyaallah anak-nak yang kebagian warisan tanah akan saya
wariskan untuk ditanami tanaman agar mampu memberi kesejahteraan kepada pribadi
dan keluarganya.
Kita
haruslah sadar bahwa tanah itu sangat berharga bagi anak-anak dan cucu bangsa.
Meneharuskan titah pekerjaan nenek moyang dan orang tua adalah sebuah
keharusan. Jangan sampai watak kita menjadi kebalik, anak-anak dan cucu-cucu
kita nantinya bermintal kuli dan pekerja yang menggantungkan hidupnya terhadap
usaha dan pekerjaan orang lain.
Sampai kapan
kita berharap agar mendapatkan pekerjaan mapan dengan penghasilan 3 juta selama
1 bulan, namun akhirnya jauh dari keluarga. Kapan akhirnya pekerjaan kita kalau
hanya ditukar dengan upah 1 atau 2 juta perbulan, bahkan saya dapat kabar lagi,
karena masih belum puas akan isi kantong yang dipegangnya lalu mencari
pekerjaan lain dengan menenteng ijasah agar mendapatkan yang lebih mapan dan
menghasilkan, sedangkan orang tua dan keluarga yang sakit dirumah ditingal.
Pulangnya hanya ketika waktu minggu, bahkan ada yang sampai 2 kali dalam
setahun.
Kaum buruh
memang sulit diajak kreatif agar mengumpulkan uang hasil pekerjanya untuk di jadikan
lapangan usaha sendiri. Ini yang banyak terjadi di era proletar sekarang, yang
bekerja tidak hanya lelaki tetapi perempuanpun juga saling berebutan agar
mendapatkan pekerjaan dan alat produksi. Persaingan antara laki-laki dan
perempuan bangsa Indonesia sudah menjadi tradisi untuk masuk keperusahaan. Perempuan
diperkosa dengan uang dan perhiasan, sedangkan laki-laki di perkosa karena
diambil alih tanggung jawab pekerjaannya sebagai kepala rumah tangga.
Kalau tadi
saya mencoba menyinggung soal-soal buruh, tentu sekarang saya akan singgung
soal-soal petani disebabkan masuknya industrialisasi di Indonseia (Hindia
Belanda pada waktu itu). Pertanyaannya kenapa rakyat petani kita tidak
sejahtera sampai sekarang, tentu petanyaan tersebut tidak akan dapat kita jawab
kalau tidak mengerti masalahnya, namun biar lebih jelas saya akan mencoba
menyinggungkan dengan sejarah yang kemudian saya kutib dari pidatoya Bung Bonnei Triyana pemimpin majalah
Historia yang diundang sebagai pemateri di diskusi “Islam Dan Marxisme di Indonesia” yang di adakan oleh “Komunitas Salihara” pada
tanggal 11 Desember 2011 di serambi Salihara.
Bung Bonnei Triyana mengatakan “dampak dari liberalisasi ekonomi tahun 1870 adalah
masuknya arus modal besar Hindia Belanda, kemudian tumbuhnya usaha perkebunan
sekala yang besar, dan sebagai akibat dari industrilisasi perkebunan itu,
muncul juga kebutuhan untuk menciptakan infranstruktur yang mendukung
kerja-kerja perkebunan, seperti kereta, pelabuhan. Dan kita tahu jalur kereta
pertama itu dibangun disemarang, halte tanggung semarang, sepanjang mungkin
sekitar kurang dari 30 km itu tahun 1868, dan satu hal penting adalah dengan
adanya undang-undang ini keadaan situasi pedesaan itu sangat berubah karena lahan semakin menim, banyak disewakan
untuk tanaman-tanaman industri, seperti tebu, kemudian kopi, dan teh dibeberapa
tempat, sehingga ini menimbulkan sutu keadaan yang baru, waktu itu meningkatnya
buruh, karena ada banyak industri dikota-kota besar, seperti surabaya, di semarang,
dan memunculkan suatu kelas baru kelas buruh tadi, tetapi disuatu sisi ada
pemiskinan terhadap kehidupan petani dipedesaan” [1].
Kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan industri sangatlah menggagu aktivistas
petani pada waktu itu, walapun toh misalnya ini terjadi dimasa Hindia Belanda pada
tahun 1868. Kita dapat melihat bahwa keadaan petani kita pada tahun dimasa lalu
sudahlah miris, apalagi pesatnya industrialisasi dimasa sekarang, sehingga
dengan masuknya arus mudal yang sangat besar, maka persaingan antara peresaan
satu dengan perusaan lain menghambat terhadap kemajuan petani kita. Dengan ini
kita harus sadar bahwa hidup petani berada dipangkuan kita sebagai generasai
yang terdidik dimasa sekarang. Hal semacam itu perlu dijadikan cermen agar kita
dapat membenahi di era Indonesia abad 21 sampai setuerusnya.
Maka dengan
peristiwa di tahun 1868, kita sebagai anak petani di era pos-modern haruslah
membenahi cara-cara pertanian abad Modern dengan teknologi yang canggih dimasa
sekarang, dan merubah pemikiran kita yang terlalu keindustrian. Jangan sampai
anak-anak dan cucu-cucu kita tidak bisa meneruskan titah nenek moyang dan orang
tua yang statusnya petani. Untuk bisa mensejahterkan rakyat Petani dan
khususunya Bangsa Indonesia, maka harapan satu-satunya adalah generasai kita
yang terdidik di dunia pendidikanlah adanya.
Al-hamdullah
tulisan ini bisa diselaikan, dan saya minta maaf kalau tulisan ini dirasa menyakitkan
diri anda, tatapi saya tidak bermaksud untuk seperti itu pada hakikatnya, namun
tulisan ini hanya penyambung pesan dari para sesepuh dan orang tua, apalagi
Bung Karno sempat berpesan kepada kita bahwa rakyat kecil itu harus dibela,
bahkan Bung Karno memberi keistimewaan terhadap rakyat kecil atau kaum petani dengan
sebutan Marhaen dengan alat perjuangannya Marhaenisme [2]
dan Kaum Marhean[3] ini
perlu dibela dan di merdekakan.
Mungkin
hanya ini yang dapat saya tulis, terimakasih anda sudah membaca!
Salam hormat
saya!
Marhaen ! Jaya!
Indonesia! Sejahtera!
Billahitaufik Walhidayah Wasalamu Alaikum Wrb.
[1]
Dikutib dari
pidatonya di waktu diskusi “Islam Dan
Marxisme di Indonesia” yang bertempat di serambi Salihara pada tanggal 11 Desember
2011.
[2] Marhaenisme adalah gagasan Bung Karno yang di gunakan untuk
memperjuangkan kaum petani dan orang kecil lainnya. Marhaenisme adalah
Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Marhaenisme
adalah Sosialisme Indonesia.
[3] Marhaen adalah istilah yang di gunakan untuk orang kecil, seperti
petani, tukang becak, tukang sayur, nelayan, dan orang kecil lainnya, yang
ditindas oleh kaum kapitalis, imperilais, kolonialis, dan feodalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi