Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Ajari Bertani Anak Dan Cucu Kita

Selasa, 13 Februari 2018
Oleh: Faidi Ansori
“saya hawatir anak-anak dan cucu-cucu bangsa kita tak mau meneruskan titah sebagai anak dari petani”
(Kak Bung)
Hidup kita bergantung pada makan dan minum, makan dan minum tentu dari buah-buahan dan air, buah dari tumbuh-tumbuhan dan air bergantung pada tanah, tanah bergantung pada pengolah tanah, pengolah tanah bergantung pada alam semesta, alam semesta bergantung kepada tuhan pencipta, dan pencipta tak akan mau bergantung kepada siapapun, karena tuhan tidak mempunyai identitas alam semesta samasekali.

Di pragraf di atas mungkinlah pembaca tidak terlalu mengerti apa hubungan tulisan saya dengan tema yang diangkat, namun kalau kita betul-betul berfikir secara mendalam Insyaallah kita akan dapat mengerti bahwa manusia haruslah hidup. Hidup butuh makan dan minum, makan dan minum haruslah di cari dengan bertani, maka tanpa bertani atau membeli pada si petani kita tak mungkin bisa hidup. Tetapi anda janganlah bersuudhon terlebih dahulu soal kebergantungan kita pada makan dan minum, atau bahkan terhadap petani. Disini saya hanya memfokuskan pada persoalan material bukan kerohanian dan ketuhanan. Jadi kalian harus memahami maksud saya yang sebenarnya.

Kawan-kawan sekalian, dalam kesempatan tulisan kali ini saya ingin sekali-kali mencoba menulis di awali dengan bercerita terlebih dahulu, walaupun hanya sedikit, dan saya yakin cerita di bawah insyaaallah ada hubungannya dengan tema.

Pada tanggal 12 Februari 2018, saya di ajak bapak kesawah agar membantu profesianya sebagai petani bersama adik. Setiap kali bapak mau berangkat beraktifitas kesawah, saya dan adik-adik pasti di ajak untuk ikut membantu pekerjaannya sebagai petani. Bapak bertani sesuai dengan musim tetanaman yang akan mau ditanam. Kalau musimnya jagung maka jangunglah yang ditanam untuk kebutuhan hidup keluarga. Tidak hanya itu, bapak bertani cabai, kacang, dan lain-lain, itupun kalau sudah masuk pada musimnya.

Di sela-sela pekerjaan di sawah, kami sempat berbincang-bincang terhadap bapak soal-soal aktifitasnya sebagai petani.

Bapak sering mengatakan terhadap saya diwaktu kita istitrahat
cong? Mencangkul itu tidak di ajarkan di sekolah, dan pekerjaan seperti ini tidaklah saya dapati bersama guru, tentu juga tidak di dapati kamu di bangku kuliah, namun hal semacam ini di peroleh karena bekerja, pengalaman, dan ilmu”, demikian ujarnya.

Dhebu tersebut saya coba fikir secara mendalam, ternyata sangatlah benar perkataannya. Bangku sekolah dan ruang-ruang kuliah tidaklah di ajarkan ilmu tentang mencangkul dan bertani, tetapi hal semacam ini di dapati dengan pengalaman, dan bekerja. Namun belum usai saya berfikir tentang soal mencangkul dan apa manfaatnya bertani, lalu bapak menarik nafas dengan santainya, beliau berkata

“mencangkul dan bertani memang tidak di pelajari di bangku sekolah dan kuliah, tapi apabila kamu belajar ilmu dengan giat serta bersungguh-sungguh dikampus, maka ilmu tentang mencangkul akan di ketahui dengan sendirinya. Itulah manfaatnya ilmu, jadi sekalipun cara ini tidak dipelajari di sekolah, tetapi dengan ilmu kamu akan tahu sendiri dikemudian hari, sebab ilmu itu akan berguna”, terangnya dengan tegas.

Saya agak kaget ketika bapak menjelaskan tentang soal-soal mencangkul serta kaitannya dengan mencari ilmu disekolah dan dikampus.

Pekerjaan mencangkul memang sangatlah melelahkan, namun apa mungkin saya bisa sekolah tanpa cangkulan dan jerihpayah kedua orang tua. Saya kira tidak bisa. Uang semester, makan minum, buku, rokok, ngopi, sepeda motor, dan ilmu, semuanya saya dapati dari jerihpayah hasil pekerjaan orang tua sebagai petani.

Di lain kesempatan saya sempet bertanya sama bapak.
“kenapa sampean bertani? Apa hasilnya bertani?”
Bapak dengan tegas menjawab
“kalau saya tidak bertani kamu akan makan apa cong, sedangkan hidup ini butuh makan dan butuh bekerja”

Tidak lama dari jawaban itu, bapak meyambung lagi atas pertanyaan yang saya lontarkan
“hasil dari saya bertani memang tidaklah banyak, dan pekerjaan bertani seperti ini tidaklah dibayar, juga tidak menghasilkan setiap hari, dan terkadang dalam kacamata kita, bertani seperti ini tidaklah ada hasilnya, namun kalau kita fikir-fikir, jika tanah ini tidak kita manfaatkan, maka tanah tidak akan menghasilkan apa-apa dan kita mau makan apa kalau tidak dengan bertani, inilah satu-satunya pekerjaan yang ada tanpa harus dibayar” demikian tegasnya sambil menghisap rokok dan mengelusnya dengan santai.

Mendengar jawaban bapak, rasa terharu mulai muncul, bahkan jawaban semacam ini tidak saya temukan ketika ikut Aksi Demontrasi ke kantor Dinas Pertanian Kab. Bangkalan oleh aparatur yang bertugas.
*****
Marilah kita berfikir. Apakah kita anaknya petani atau tidak. Kalau kita anak dari ayah dan ibu petani, maka cara berfikir kita haruslah cara petani dan keilmuan petani. Karena belakangan ini terkadang banyak di antara kita tidak mau di katakan sebagai anak petani, caranyapun bukan cara petani. Gaya hidup kita sudah kelewatan, bahkan tidak mau meneruskan titah kedua orang tua, semuanya berbondong-bondong pengen pergi ke kota untuk hanya membuncitkan perut dan menebalkan saku, dompet, membeli sepeda motor, mobil, rokok, baju, perhiasan, dan membangun rumah. Kita lupa bahwa desa perlu di bangun dari semua penjuru sudut-sudatnya.

Menjadi petani di era sekarang tidaklah keren kata anak muda “Jaman Now”. Pabrik, perusahaan, dan bersaragam dinas kayak lompa pacuan kuda daripada anak-anak bangsa kita. Mereka sudah lupa bahwa Presiden, Mentri, DPR, MPR, MK, MA, Gubernur, Walikota, Bupati, Kepala Desa, Wartawan, Profesor, Doktor, Dosen, Mahasiswa, TNI, Polisi, Politisi, bahkan Negarapun dibayar dan diberi makan oleh darah keringat kaum petani. Semua makanan yang dimakan oleh pemerintah dan aparaturnya, karena kerja keras petani. Kita sudah banyak melupakan perannya petani, terutama peran kedua orang tua kita yang petani.

Marilah coba berfikir lagi sebelum meranjak jauh untuk bekerja kepabrik, keperusahaan, dan lain-lain. Kalau dikemudian hari semuanya serba beli dan anak-anak serta cucu-cucu bangsa Indonesia tidak mau menjadi petani, bahkan mau menjual tanah warisannya hanya untuk permasalahan hukum dan untuk membangun rumah, perumahan, kontrakan, kos-kosan, hotel, alfamat, indomaret, tempat diskotik dan karauke, dan gedung-gedung mewah tinggi lainnya, serta kita berlomba-lomba untuk menunjukkan kekayaan dan kreatifitas yang sempit, maka dengan apa bangsa Indonesia bisa makan, hidup, dan beraktifitas untuk masa depan bangsa. Kalau tidak dengan menjadi petani, saya kira bangsa Indonesia tidak akan pernah hidup dengan sejahtera. Coba anda fikir-fikir lagi. Apa mungkin kita mau membeli terus, dan bahkan sering impor dari negara lain.

Mohon maaf jika ada yang tersingung ketika saya mempernalkan sosok petani kepada sidang pembaca. Perlu diketahui bahwa banyak sekali kaum petani dari keluarga kita, tetangga, dan orang terdekat di desa. Itulah yang mencukupi kehidupan sehari-hari, kesejahteraan anda yang bekerja dipabrik, perusaan, dan yang berkain dinas. Kita harus bersyukur karena masih ada petani yang mau melayani.

Sekarang jika saya diperbohkan untuk berkenalan tentang status dari keluarga. Saya adalah anak keluarga yang di besarkan oleh darah petani, dan saya yakin sebagian banyak dari kita juga keturunan petani. Kalau dikemudian hari Anak-anak dan cucu-cucu kita tidak mau menjadi petani, atau tidak mau menjaga bahkan sampai menjual tanah warisan orang tua hanya untuk kebutuhan lain selain dari kebutuhan hidup yang sangat panjang, maka saya tidak yakin bahwa keluarga kita akan sejahtera sebagaimana orang tua dan nenekmoyoang kita sejahtera tanpa memegang uang banyak dan rumah mewah.

Saya pernah diberi pesan oleh bapak ketika bapak lagi ada disawah tentang soal-saol kerja
cong, saya tidak pernah berharap kamu bekerja dipabrik, perusaan, atau bahkan menjadi kuli, tapi saya berharap agar ilmu yang kamu peroleh dikampus bisa bermanfaat bagi dirimu sendiri dan orang lain” tukas dawuhnya dengan ringan.

Di lain kesempatan Bapak berpesan terhadap saya
“kalau disuatu waktu kamu ditakdirkan untuk menjadi ini, atau itu, itu disebabkan usahamu, jadi dari sekarang kamu belajar dengan giat, entar kamu akan mengetahui sendiri hasilnya dengan apa yang kamu kerjakan” begitu pula tegasnya.

Bapak sering memberikan motivasi tentang hidup dan kehidupan yang baik, walaupun bapak tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, hanya saja bapak menyelaikan studinya sampai Madrasah Aliyah (MA).

Dengan motivasi yang sering didawuhkan oleh beliau, lalu saya berinisiatif untuk berusaha dan tetap ingin menjaga tanah yang akan diwariskan kepada saya kelak dikemudian hari. Kalau kemudian hari saya punya anak, maka insyaallah anak-nak yang kebagian warisan tanah akan saya wariskan untuk ditanami tanaman agar mampu memberi kesejahteraan kepada pribadi dan keluarganya.

Kita haruslah sadar bahwa tanah itu sangat berharga bagi anak-anak dan cucu bangsa. Meneharuskan titah pekerjaan nenek moyang dan orang tua adalah sebuah keharusan. Jangan sampai watak kita menjadi kebalik, anak-anak dan cucu-cucu kita nantinya bermintal kuli dan pekerja yang menggantungkan hidupnya terhadap usaha dan pekerjaan orang lain.

Sampai kapan kita berharap agar mendapatkan pekerjaan mapan dengan penghasilan 3 juta selama 1 bulan, namun akhirnya jauh dari keluarga. Kapan akhirnya pekerjaan kita kalau hanya ditukar dengan upah 1 atau 2 juta perbulan, bahkan saya dapat kabar lagi, karena masih belum puas akan isi kantong yang dipegangnya lalu mencari pekerjaan lain dengan menenteng ijasah agar mendapatkan yang lebih mapan dan menghasilkan, sedangkan orang tua dan keluarga yang sakit dirumah ditingal. Pulangnya hanya ketika waktu minggu, bahkan ada yang sampai 2 kali dalam setahun.

Kaum buruh memang sulit diajak kreatif agar mengumpulkan uang hasil pekerjanya untuk di jadikan lapangan usaha sendiri. Ini yang banyak terjadi di era proletar sekarang, yang bekerja tidak hanya lelaki tetapi perempuanpun juga saling berebutan agar mendapatkan pekerjaan dan alat produksi. Persaingan antara laki-laki dan perempuan bangsa Indonesia sudah menjadi tradisi untuk masuk keperusahaan. Perempuan diperkosa dengan uang dan perhiasan, sedangkan laki-laki di perkosa karena diambil alih tanggung jawab pekerjaannya sebagai kepala rumah tangga.

Kalau tadi saya mencoba menyinggung soal-soal buruh, tentu sekarang saya akan singgung soal-soal petani disebabkan masuknya industrialisasi di Indonseia (Hindia Belanda pada waktu itu). Pertanyaannya kenapa rakyat petani kita tidak sejahtera sampai sekarang, tentu petanyaan tersebut tidak akan dapat kita jawab kalau tidak mengerti masalahnya, namun biar lebih jelas saya akan mencoba menyinggungkan dengan sejarah yang kemudian saya kutib dari pidatoya Bung Bonnei Triyana pemimpin majalah Historia yang diundang sebagai pemateri di diskusi “Islam Dan Marxisme di Indonesia” yang di adakan oleh Komunitas Salihara” pada tanggal 11 Desember 2011 di serambi Salihara.

Bung  Bonnei Triyana mengatakan “dampak dari liberalisasi ekonomi tahun 1870 adalah masuknya arus modal besar Hindia Belanda, kemudian tumbuhnya usaha perkebunan sekala yang besar, dan sebagai akibat dari industrilisasi perkebunan itu, muncul juga kebutuhan untuk menciptakan infranstruktur yang mendukung kerja-kerja perkebunan, seperti kereta, pelabuhan. Dan kita tahu jalur kereta pertama itu dibangun disemarang, halte tanggung semarang, sepanjang mungkin sekitar kurang dari 30 km itu tahun 1868, dan satu hal penting adalah dengan adanya undang-undang ini keadaan situasi pedesaan itu sangat berubah  karena lahan semakin menim, banyak disewakan untuk tanaman-tanaman industri, seperti tebu, kemudian kopi, dan teh dibeberapa tempat, sehingga ini menimbulkan sutu keadaan yang baru, waktu itu meningkatnya buruh, karena ada banyak industri dikota-kota besar, seperti surabaya, di semarang, dan memunculkan suatu kelas baru kelas buruh tadi, tetapi disuatu sisi ada pemiskinan terhadap kehidupan petani dipedesaan[1]. Kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan industri sangatlah menggagu aktivistas petani pada waktu itu, walapun toh misalnya ini terjadi dimasa Hindia Belanda pada tahun 1868. Kita dapat melihat bahwa keadaan petani kita pada tahun dimasa lalu sudahlah miris, apalagi pesatnya industrialisasi dimasa sekarang, sehingga dengan masuknya arus mudal yang sangat besar, maka persaingan antara peresaan satu dengan perusaan lain menghambat terhadap kemajuan petani kita. Dengan ini kita harus sadar bahwa hidup petani berada dipangkuan kita sebagai generasai yang terdidik dimasa sekarang. Hal semacam itu perlu dijadikan cermen agar kita dapat membenahi di era Indonesia abad 21 sampai setuerusnya.

Maka dengan peristiwa di tahun 1868, kita sebagai anak petani di era pos-modern haruslah membenahi cara-cara pertanian abad Modern dengan teknologi yang canggih dimasa sekarang, dan merubah pemikiran kita yang terlalu keindustrian. Jangan sampai anak-anak dan cucu-cucu kita tidak bisa meneruskan titah nenek moyang dan orang tua yang statusnya petani. Untuk bisa mensejahterkan rakyat Petani dan khususunya Bangsa Indonesia, maka harapan satu-satunya adalah generasai kita yang terdidik di dunia pendidikanlah adanya.

Al-hamdullah tulisan ini bisa diselaikan, dan saya minta maaf kalau tulisan ini dirasa menyakitkan diri anda, tatapi saya tidak bermaksud untuk seperti itu pada hakikatnya, namun tulisan ini hanya penyambung pesan dari para sesepuh dan orang tua, apalagi Bung Karno sempat berpesan kepada kita bahwa rakyat kecil itu harus dibela, bahkan Bung Karno memberi keistimewaan terhadap rakyat kecil atau kaum petani dengan sebutan Marhaen dengan alat perjuangannya Marhaenisme [2] dan Kaum Marhean[3] ini perlu dibela dan di merdekakan.
Mungkin hanya ini yang dapat saya tulis, terimakasih anda sudah membaca!

Salam hormat saya!
Marhaen ! Jaya!                       
Indonesia! Sejahtera!                        
Billahitaufik Walhidayah Wasalamu Alaikum Wrb.




[1] Dikutib dari pidatonya di waktu diskusi “Islam Dan Marxisme di Indonesia” yang bertempat di serambi Salihara pada tanggal 11 Desember 2011.
[2] Marhaenisme adalah gagasan Bung Karno yang di gunakan untuk memperjuangkan kaum petani dan orang kecil lainnya. Marhaenisme adalah Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia.
[3] Marhaen adalah istilah yang di gunakan untuk orang kecil, seperti petani, tukang becak, tukang sayur, nelayan, dan orang kecil lainnya, yang ditindas oleh kaum kapitalis, imperilais, kolonialis, dan feodalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi