Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Saya Anarkhis dan Saya Menjiwai Anarkhisme

Minggu, 11 Februari 2018

Oleh: Faidi Ansori
“sekarang saya mau berkata terang-terangan kepada anda bahwa kebanyakan media kita tidak jujur mengartikan Anarkhisme. Pemerintah juga berlagak sok pintar memfonis banyak orang yang menentang kebijakannya dengan sering menyebut-nyebut kaum anarkhis, dan kalian terus mengikuti apa kata mereka dengan sikap kepatuhan yang sangat bodoh”
(Bung Slenteng)

Jujur, saya sudah membaca buku “Anarkisme dan revolusi sosial” karya Alexander Berkham, dan saya mengamini perkataannya. Dalam pengantar penerbit Teplok PRESS, terutama sekali saya merasa menemukan difinisi baru tentang Anarkhisme dan saya yakin kalian sudah banyak tahu, mendengar, dan sering menyebut-nyebut orang serta kelompok dengan sebutan kelompok Anarkhisme dan kaum Anarkhis. Kalian faham atau tidak dengan kata tersebut, itu menjadi jawabanan tersendiri bagi kalian.

Terlalu banyak kita mendengar kata-kata Anarkhisme dari mulut presiden, gubernur, bupati, anggota dewan, aparatur dinas, politisi, polisi, tentara, dan mahasiswa yang apatis dengan Aksi Demontrasi, dan juga pembayar upah para buruh yaitu borjuis. Semua yang di sebutkan diatas, secara sadar mereka menentang terhadap hakikat makna Anarkhisme, walaupun mereka tidak samasekali memahami artinya, atau sebaliknya mereka memang sok tolol tentang makna esensinya. Tapi ya, sudahlah, itu memang watak mereka. Kita tidak perlu mengutik-ngutik pendapatnya yang salah dan sekali-kali memang perlu untuk mengamini sebagai sumber, namun kalau kita sudah tahu tentang arti dan makna dari kata Anarkhisme tersebut, maka kita berhak memberi tahu kepada sitolol atau sipelagak tolol, bahwa Anarkhisme tidaklah seperti yang mereka pandang.

Sambungan dari rangkaian kata diatas, saya teringat ketika aksi kenaikan BBM di eranya presiden SBY, kemudian Aksi Demonstrasi tersebut di beritakan di akhiri dengan saling bentrok Antara Polisi dan Mahasiswa. Sempat juga saya ikut Aksi evalusi kinerja Bupati dan Wabub Bangkalan selama preode kepemerintahannya pada tahun 2017, dan aksi tersebut juga berakhir gisru antara polisi dan mahasiwa di kantor DPRD. Namun yang tidak etis ditelinga, ketika aksi berakhir bentrok dianggapnya sebagai aksi Anarkhisme, kekerasan dan penghancuran. Kalau boleh saya katakan itu ucapan yang betul-betul salah, tak bermoral, dan tak berilmu. Apa arti sebanarnya dari kata tersebut. Saya akan jelasakan di bawah pagraf ini dan selanjutnya.

Akapah kasus di atas setelah aksi berakhir bentrok dengan polisi dianggap tindakan Anarkhis atau pembuat onar, penghancur, dan pelaku kekerasan? Apakah tindakan semacam itu merupakan arti Anarkisme yang sebanarnya? Maka jawabannya, itu jauh dari kata benar. Lalu yang benar seperti apa? Yang benar seperti perkataannya Alexander Berkham dalam bukunya [1]. Dia berkata “Ia memiliki arti keteraruran tanpa pemerintahan dan keadilan tanpa kekerasan”, loh kok bisa seperti itu, ya, sangat bisa dan itu arti yang sebanarnya dari kata Anarkhisme, tatapi hanya kebanyakan manusia kita mengartikan yang lain dan bahkan membelokkannya sampai terlalu jauh, sehingga dampak tersebut sampai kepergaulan kita sehari-hari.

Saya sudah menjawab apa arti dan maksud yang sebanarnya dari kata Anarkhisme, tinggal kalian perlu mengikuti sampai akhir agar informasinya tidak terpotong-potong.

Kawan-kawan sekalian, kini perlu kiranya saya memperkenalkan diri. Saya adalah pelaku Aksi Demontrasi (demo), dan bahkan sayalah Orator dari banyak aksi di berbagai masalah ditingkat Daerah dan Nasional. Saya pula pelaku pembentrokan dengan polisi. Dengan demikian tentu kalian berfikir, jikalau di akhir aksi berakhir gisru, maka aksi itu adalah aksi Anarkhisme. Jika di kerumpulan masa saya masuk pada catatan kaum Anarkis, maka sayalah anak yang diciptakan oleh tuhan agar masuk pada catatan kelompok Anarkhis tersebut. Jadi keteranganku cukuplah jelas soal-soal Anarkhisme.

Perlu kiranya kalian ketahui, saya dan kawan-kawan sering dituding sebagai kelompok Mahasiwa demontran yang tak mau diatur oleh aparat pemerintah dan kapolri, dan penudingan itu saya akui sebagai apresiasi untuk mereka. Kami sering diolok-olok dan dilecehkan, serta dianggap sebagai pelaku kekerasan, penggagu aktivitas kerja, dan penghancuran. Tetapi hal-hal demikian saya ketahui sebagai ketololan pemerintah, dan hal semacam ini tak perlu disembunyikan kepada kalian tentang sikap pemerintah dari tangan kebalnya, karena itu memang kenyataaan. Kita perlu ketahui bahwa kaum “Kapitalis dan pemerintah yang mempertahankan ketidakteraturan dan kekerasan”[2] demikian sambung Alexander. Jadi saya kira cukup jelas bahwa pelaku ketidakteraturan dan kekerasan adalah mereka. Dan kita di posisi yang dipojokkan sebagai kelompok Anarkis, namun laku Anarkhis memang terpaksa dilakukan oleh saya dan awan-kawan karena mereka tidak mau di ajak kerjasama demi kepentingan rakyat banyak.

Nah, kita sampai pada maksud sebanarnya. “Lalu apakah saya mungkin melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemogokan, penghancuran?” Tetapi sebalum kalian mempertanyakan dengan serius, apakah mungkin saya melakukan tindakan kekerasan terhadap kebijakan pemerintah, tanpa alasan terpaksa? Maka jawabannya, ya, saya dan kaum Anarkhis lainnya pernah melakukan kekerasan dan kadang-kadang pula melakukan jalan penghancuran. Tetapi jangan langsung menyimpulkan dengan keburu-buru, bahwa kaum Anarkhis melakukan tindakan kekerasan dan penghancuran. Namun tidak seperti itu jawabannya kawan! Saya ingin mencoba menganalogikan dengan peristiwa lain. Sekarang kalian harus jujur untuk menjawab. Pertanyaannya, apabila negara diganggu, diambil sumberdaya alamnya, dan kita mau di jajah oleh bangsa lain serta tentara dan rakyat tak mau dengan tindakan itu, lalu prajurit TNI dan rakyak melawan dengan kekerasan pula terhadap penjajah, apakah hal semacam ini tidaklah diperbolehkan? Saya kira setiap rakyat dan tentara disuatau negara akan berlaku sama (berlaku kekerasan akan penjajahan) di waktu-waktu tertentu dalam keadaan terdesak saja (terpaksa) laku anarkis diperbolehkan dan sifatnya wajib.

Saya kira penjelasan diatas cukup bukti bahwa tindakan kekerasan dan penghancuran di dalam sistem Anarkisme di perbolehkan. Dan kita berkak dan wajib mengusir celah-celah, penyakit, dan penindasan di suatu wilayah hanya untuk pembelaan menjaga mertabat.

Perlu kita ingat, tirani perlu diganyang sampai sirna, sekalipun tirani tak mampu ditiadakan. Pemerintah dholim sangat wajib untuk ditindak. Pelaku korupsi perlu di hukum sesuai dengan undang-undang yang ada, jadi apabila Setya Novanta di demo oleh mahasiswa dan dituntut di pengadilan untuk di hukum sesuai pasal dan ayatnya, lalu aparat pemerintah tak memperbolehkannya dan dilarang aksi mahasiswa oleh polisi, maka tindakan yang mengharuskannya merusak dan keras perlu dilakukan oleh mahasiswa dan itu tetap pada koredor menuntut keadilan (anarkisme). Jadi janganlah di hukum balik, yang mempertahankan kesalahan Setya dikatakan sebagai tindakan baik, tetapi mahasiswa Anarkhis adalah mahasiswa baik yang mempertahankan dan memperjuangkan hukum yang sudah ada.

Kasus pelengseran presiden Suharto dari bangku singgahsananya oleh sembilan aktivis seperti Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur, Malik Fajar, Ali Yafi, dan beberapa orang tua, serta kemarahan rakyat, dan mahasiswa membuat diri Suharto yang diktator dipukul mundur adalah hal yang wajar dan diperbolehkan. Hal yang demikian merupakan bagian lain dari sikap Anarkhisme, karena kalau tidak seperti itu, maka Suharto tidak akan mau turun dari kedudukannya. Cara tersebut adalah cara yang diperbolehkan untuk menghambat kekerasan-kekerasan selanjutnya oleh Suharto dan antek-antek di bawahnya. Jadi sikap ini adalah sikap wajar dan diperbolehkan di dalam sistem Anarkhisme.

Walapun saya terpengaruh dengan maksud dari Anarkhisme tetapi di sisi lain dalam pembacaan dan penilitian saya terhadap tulisan Alexander, ada hal yang tidak saya setujui, yaitu terkait hukuman agama, tuhan, dan orang tua terhadap tindakan kebebasan tanpa batasan. Kita tidak berhak membenaran diri sekalipun kita mengaku diri sebagai manusia Anarkhis sehingga kita menolak peraturan agama dan para penyampai agama yang benar. Kalau kita salah didalam aturan agama, maka agama berhak untuk menindak kita dengan kekerasan yang sesuai dengan hukum agama yang ada. Agama tidak mungkin mengajarkan kita untuk berbuat salah, bertindak keras, tetapi kitalah yang salah mengartikan agama dengan kekurangan akal dan hati nurani. Jadi saya kira, saya hanya sependapat dengan maksud yang sebenarnya dari kata Anarkisme. Memilih hidup dengan cara yang lebih baik dan kebebasan dari paksaan.

Dan begitupula dengan penjelasan lain yang dipaparkan oleh Alexander bahwa peraturan pemerintah di anggapnya sebagai peraturan yang akhirnya akan bertindak pada kekerasan. Saya kira kalian tidak harus ikut pendapat ini. Sebab peraturan pemerintah banyak juga yang membawa pada keberuntungan dan kebebasan kita sebagai kaum Anarkhis menuju pada kebahagiaan.

Kita hanya boleh mengambil pendapat-pendapat baik dan membuang tindakan yang tidak cocok dengan kultur bangsa kita yang sopan dan santun, walaupun toh masih banyak sekali pelanggaran-pelanggaran daripada manusia Indonesia akan peraturan-peraturan baik dari peninggalan nenek moyang Bangsa ini. Saya hanya mencoba keluar dari jalur yang dihidangkan oleh Alexander disisi tertentu dan menerima kebenaran disisi lain tentang Anarkhisme itu sendiri.

Jadi kita dapat memahami bahwa Anarkhisme itu menjaga harga diri, memperbaiki kepincangan, menyalahkan yang salah, dan mengusir yang mau merusak diri sekalipun dengan cara kekerasan dan penghancuran.

Anarkisme itu adalah bagian hidup saya dan anda harus sadar akan posisi ini.

Kalau ada yang salah dari pemaparan saya, kritik kontruktif anda ditunggu.

Terimaksih!





[1] “Anarkhisme dan Revolusi Sosial” di halaman 8 terbitan Teplok PRESS April 2001
[2] Dalam sambung Alexander Berkham di halaman 8 dalam buku yang sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi