Oleh: Faidi Ansori
“sekarang
saya mau berkata terang-terangan kepada anda bahwa kebanyakan media kita tidak
jujur mengartikan Anarkhisme. Pemerintah juga berlagak sok pintar memfonis
banyak orang yang menentang kebijakannya dengan sering menyebut-nyebut kaum
anarkhis, dan kalian terus mengikuti apa kata mereka dengan sikap kepatuhan
yang sangat bodoh”
(Bung Slenteng)
Jujur, saya sudah membaca buku “Anarkisme dan
revolusi sosial” karya Alexander Berkham, dan saya mengamini perkataannya.
Dalam pengantar penerbit Teplok PRESS, terutama sekali saya merasa menemukan
difinisi baru tentang Anarkhisme dan saya yakin kalian sudah banyak tahu,
mendengar, dan sering menyebut-nyebut orang serta kelompok dengan sebutan kelompok
Anarkhisme dan kaum Anarkhis. Kalian faham atau tidak dengan kata tersebut, itu
menjadi jawabanan tersendiri bagi kalian.
Terlalu banyak kita mendengar kata-kata Anarkhisme
dari mulut presiden, gubernur, bupati, anggota dewan, aparatur dinas, politisi,
polisi, tentara, dan mahasiswa yang apatis dengan Aksi Demontrasi, dan juga
pembayar upah para buruh yaitu borjuis. Semua yang di sebutkan diatas, secara
sadar mereka menentang terhadap hakikat makna Anarkhisme, walaupun mereka tidak
samasekali memahami artinya, atau sebaliknya mereka memang sok tolol tentang
makna esensinya. Tapi ya, sudahlah, itu memang watak mereka. Kita tidak perlu
mengutik-ngutik pendapatnya yang salah dan sekali-kali memang perlu untuk
mengamini sebagai sumber, namun kalau kita sudah tahu tentang arti dan makna
dari kata Anarkhisme tersebut, maka kita berhak memberi tahu kepada sitolol
atau sipelagak tolol, bahwa Anarkhisme tidaklah seperti yang mereka pandang.
Sambungan dari rangkaian kata diatas, saya
teringat ketika aksi kenaikan BBM di eranya presiden SBY, kemudian Aksi
Demonstrasi tersebut di beritakan di akhiri dengan saling bentrok Antara Polisi
dan Mahasiswa. Sempat juga saya ikut Aksi evalusi kinerja Bupati dan Wabub Bangkalan
selama preode kepemerintahannya pada tahun 2017, dan aksi tersebut juga
berakhir gisru antara polisi dan
mahasiwa di kantor DPRD. Namun yang tidak etis ditelinga, ketika aksi berakhir
bentrok dianggapnya sebagai aksi Anarkhisme, kekerasan dan penghancuran. Kalau boleh saya katakan itu ucapan yang betul-betul salah, tak bermoral, dan tak berilmu. Apa arti
sebanarnya dari kata tersebut. Saya akan jelasakan di bawah pagraf ini dan
selanjutnya.
Akapah kasus di atas setelah aksi berakhir
bentrok dengan polisi dianggap tindakan Anarkhis atau pembuat onar, penghancur,
dan pelaku kekerasan? Apakah tindakan semacam itu merupakan arti Anarkisme yang
sebanarnya? Maka jawabannya, itu jauh dari kata benar. Lalu yang benar seperti apa?
Yang benar seperti perkataannya Alexander Berkham dalam bukunya [1].
Dia berkata “Ia memiliki arti keteraruran
tanpa pemerintahan dan keadilan tanpa kekerasan”, loh kok bisa seperti itu,
ya, sangat bisa dan itu arti yang sebanarnya dari kata Anarkhisme, tatapi hanya
kebanyakan manusia kita mengartikan yang lain dan bahkan membelokkannya sampai
terlalu jauh, sehingga dampak tersebut sampai kepergaulan kita sehari-hari.
Saya sudah menjawab apa arti dan maksud yang
sebanarnya dari kata Anarkhisme, tinggal kalian perlu mengikuti sampai akhir
agar informasinya tidak terpotong-potong.
Kawan-kawan sekalian, kini perlu kiranya saya
memperkenalkan diri. Saya adalah pelaku Aksi Demontrasi (demo), dan bahkan
sayalah Orator dari banyak aksi di berbagai masalah ditingkat Daerah dan Nasional.
Saya pula pelaku pembentrokan dengan polisi. Dengan demikian tentu kalian
berfikir, jikalau di akhir aksi berakhir gisru,
maka aksi itu adalah aksi Anarkhisme. Jika di kerumpulan masa saya masuk pada
catatan kaum Anarkis, maka sayalah anak yang diciptakan oleh tuhan agar masuk
pada catatan kelompok Anarkhis tersebut. Jadi keteranganku cukuplah jelas
soal-soal Anarkhisme.
Perlu kiranya kalian ketahui, saya dan
kawan-kawan sering dituding sebagai kelompok Mahasiwa demontran yang tak mau
diatur oleh aparat pemerintah dan kapolri, dan penudingan itu saya akui sebagai
apresiasi untuk mereka. Kami sering diolok-olok dan dilecehkan, serta dianggap
sebagai pelaku kekerasan, penggagu aktivitas kerja, dan penghancuran. Tetapi
hal-hal demikian saya ketahui sebagai ketololan pemerintah, dan hal semacam ini tak
perlu disembunyikan kepada kalian tentang sikap pemerintah dari tangan kebalnya,
karena itu memang kenyataaan. Kita perlu ketahui bahwa kaum “Kapitalis dan
pemerintah yang mempertahankan ketidakteraturan dan kekerasan”[2]
demikian sambung Alexander. Jadi saya kira cukup jelas bahwa pelaku ketidakteraturan
dan kekerasan adalah mereka. Dan kita di posisi yang dipojokkan sebagai
kelompok Anarkis, namun laku Anarkhis memang terpaksa dilakukan oleh saya dan
awan-kawan karena mereka tidak mau di ajak kerjasama demi kepentingan rakyat
banyak.
Nah, kita sampai pada maksud sebanarnya. “Lalu
apakah saya mungkin melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemogokan,
penghancuran?” Tetapi sebalum kalian mempertanyakan dengan serius,
apakah mungkin saya melakukan tindakan kekerasan terhadap kebijakan pemerintah,
tanpa alasan terpaksa? Maka jawabannya, ya, saya dan kaum Anarkhis lainnya
pernah melakukan kekerasan dan kadang-kadang pula melakukan jalan penghancuran.
Tetapi jangan langsung menyimpulkan dengan keburu-buru, bahwa kaum Anarkhis
melakukan tindakan kekerasan dan penghancuran. Namun tidak seperti itu jawabannya
kawan! Saya ingin mencoba menganalogikan dengan peristiwa lain. Sekarang kalian
harus jujur untuk menjawab. Pertanyaannya, apabila negara diganggu, diambil
sumberdaya alamnya, dan kita mau di jajah oleh bangsa lain serta tentara dan
rakyat tak mau dengan tindakan itu, lalu prajurit TNI dan rakyak melawan dengan
kekerasan pula terhadap penjajah, apakah hal semacam ini tidaklah diperbolehkan?
Saya kira setiap rakyat dan tentara disuatau negara akan berlaku sama (berlaku kekerasan
akan penjajahan) di waktu-waktu tertentu dalam keadaan terdesak saja (terpaksa) laku anarkis diperbolehkan dan sifatnya wajib.
Saya kira penjelasan diatas cukup bukti bahwa
tindakan kekerasan dan penghancuran di dalam sistem Anarkisme di perbolehkan.
Dan kita berkak dan wajib mengusir celah-celah, penyakit, dan penindasan di suatu
wilayah hanya untuk pembelaan menjaga mertabat.
Perlu kita ingat, tirani perlu diganyang
sampai sirna, sekalipun tirani tak mampu ditiadakan. Pemerintah dholim sangat
wajib untuk ditindak. Pelaku korupsi perlu di hukum sesuai dengan undang-undang
yang ada, jadi apabila Setya Novanta di demo oleh mahasiswa dan dituntut di pengadilan
untuk di hukum sesuai pasal dan ayatnya, lalu aparat pemerintah tak
memperbolehkannya dan dilarang aksi mahasiswa oleh polisi, maka tindakan yang
mengharuskannya merusak dan keras perlu dilakukan oleh mahasiswa dan itu tetap
pada koredor menuntut keadilan (anarkisme). Jadi janganlah di hukum balik, yang
mempertahankan kesalahan Setya dikatakan sebagai tindakan baik, tetapi mahasiswa
Anarkhis adalah mahasiswa baik yang mempertahankan dan memperjuangkan hukum
yang sudah ada.
Kasus pelengseran presiden Suharto dari
bangku singgahsananya oleh sembilan aktivis seperti Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur,
Malik Fajar, Ali Yafi, dan beberapa orang tua, serta kemarahan rakyat, dan
mahasiswa membuat diri Suharto yang diktator dipukul mundur adalah hal yang
wajar dan diperbolehkan. Hal yang demikian merupakan bagian lain dari sikap
Anarkhisme, karena kalau tidak seperti itu, maka Suharto tidak akan mau turun
dari kedudukannya. Cara tersebut adalah cara yang diperbolehkan untuk menghambat kekerasan-kekerasan
selanjutnya oleh Suharto dan antek-antek di bawahnya. Jadi sikap ini adalah
sikap wajar dan diperbolehkan di dalam sistem Anarkhisme.
Walapun saya terpengaruh dengan maksud dari
Anarkhisme tetapi di sisi lain dalam pembacaan dan penilitian saya terhadap
tulisan Alexander, ada hal yang tidak saya setujui, yaitu terkait hukuman
agama, tuhan, dan orang tua terhadap tindakan kebebasan tanpa batasan. Kita
tidak berhak membenaran diri sekalipun kita mengaku diri sebagai manusia Anarkhis
sehingga kita menolak peraturan agama dan para penyampai agama yang benar.
Kalau kita salah didalam aturan agama, maka agama berhak untuk menindak kita
dengan kekerasan yang sesuai dengan hukum agama yang ada. Agama tidak mungkin
mengajarkan kita untuk berbuat salah, bertindak keras, tetapi kitalah yang
salah mengartikan agama dengan kekurangan akal dan hati nurani. Jadi saya kira,
saya hanya sependapat dengan maksud yang sebenarnya dari kata Anarkisme.
Memilih hidup dengan cara yang lebih baik dan kebebasan dari paksaan.
Dan begitupula dengan penjelasan lain yang
dipaparkan oleh Alexander bahwa peraturan pemerintah di anggapnya sebagai
peraturan yang akhirnya akan bertindak pada kekerasan. Saya kira kalian tidak
harus ikut pendapat ini. Sebab peraturan pemerintah banyak juga yang membawa
pada keberuntungan dan kebebasan kita sebagai kaum Anarkhis menuju pada
kebahagiaan.
Kita hanya boleh mengambil pendapat-pendapat
baik dan membuang tindakan yang tidak cocok dengan kultur bangsa kita yang
sopan dan santun, walaupun toh masih banyak sekali pelanggaran-pelanggaran
daripada manusia Indonesia akan peraturan-peraturan baik dari peninggalan nenek
moyang Bangsa ini. Saya hanya mencoba keluar dari jalur yang dihidangkan oleh
Alexander disisi tertentu dan menerima kebenaran disisi lain tentang Anarkhisme
itu sendiri.
Jadi kita dapat memahami bahwa Anarkhisme itu
menjaga harga diri, memperbaiki kepincangan, menyalahkan yang salah, dan
mengusir yang mau merusak diri sekalipun dengan cara kekerasan dan
penghancuran.
Anarkisme itu adalah bagian hidup saya dan
anda harus sadar akan posisi ini.
Kalau ada yang salah dari pemaparan saya,
kritik kontruktif anda ditunggu.
Terimaksih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi