Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Hikayat Air Mata

Jumat, 23 Februari 2018


Oleh: Aryo Gendeng


Kata sudah tak mampu mewakili airmata para jelata.
para pejuang bersujud di kaki partai.  Kabar buruk sudah dimimpikan para bayi.
Sedang aktivis benyak mengasingkan kejujuran.-
Yang ada para birokrasi lupa, bahwa rakyat tak lagi memandang. Sebab wacananya menggemuruh tanpa hujan.  


Ibu ku berkata “Berhentilah berjuang, kalau hanya mejadi wacana belaka.” Aku membisu. Sebab aku tau, kalau Kejadian buruk semakin larut. kemudian berujung tentang perut.  Aku tau, bahwa kemiskinan dan airmata hanya menjadi bahan dialaog untuk unjuk diri agar terbukti siapa yang paling hebat dalam berdebat.


Bapakku berkata, “berhentilah bersair! Kalau hanya bersair tentang gadisnya.” Aku tercengang. Sebab sair-sair sekarang telah lupa pada siapa yang mampu menjadiakan sajak bagai mutiara dunia.-


Dan sekarang aku bertanya kepada para seniman dan pejuang!
Dimanakah taring yang meneduhkan masyarakat?


Dimanakah Awungan yang mampu meruntuhkan langit serta meratkan bumi bagi para penjahat yang terlindungi?


Dimanakah manusia yang telah mengabarkan bahwa-
ia mampu menampung airmata?-


                                                                                                -padamu aku bertanya.
                                                                                                -yang lupa akan pusaka leluhurnya.

                                                                                                Bangkalan 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi