Oleh: Choirul Anwar
Gubernur BEM FISIB Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
Kau tahu, aku sudah membaca sedemikian banyak
buku idealisme, sudah berdiskusi dengan banyak
malam bersama pemikir-pemikir handal di berbagai kampus. Menggeluti
puluhan prinsip di setiap sudut pergerakan, menelan banyak kritikan serta
pujian. Namun tidak satupun dari semua itu membuatku girang. Orang bilang,
mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat, tapi sampai sekarang, rakyat mana
yang mengatakan seperti itu. Persoalan garam misalnya, aku dan banyak temanku
sudah berjuang beradu mulut dengan para pemangku kebijakan. Begitu juga dengan
persoalan UU MD3, tapi sekali lagi, tidak ada rakyat yang mampu
menginterpretasikan, bahwa gerakan itu akan membawa dampak positif bagi mereka.
Persoalan yang sama, juga aku rasakan di
dalam rumahku sendiri. Jika ada orang yang mengatakan keadaan “sepi dalam
keramaian” mungkin aku sudah selera dengan makanan semacam itu. Bergerak dan
berteriak bersama tiga puluh, dua puluh, bahkan sepuluh orang sudah biasa aku
lakukan, meskipun ketika tujuan tercapai tidak hanya sebatas itu yang
merasakan, bisa jadi ribuan orang yang menikmati hasil jerih payah orang
semacam aku ini, tapi cerita akan berbeda lagi jika apa yang aku lakukan tidak
menuai hasil apa-apa, mungkin ribuan orang akan mengatakan bahwa aku adalah orang
yang kurang kerjaan, meskipun kau tahu, bahwa mereka yang mengatakan itu justru
lebih kekurangan pekerjaan dibandingkanku.
Terkadang aku berfikir, bahwa dulu pertama
kali ketika hendak memasuki dunia mahasiswa, ijinku kepada orang tua hanya
kuliah kemudian lulus. Karena yang aku ketahui dulu, menjadi mahasiswa lalu
lulus dengan nilai yang baik, dan masuk kerja di tempat yang baik, tapi,
setelah menjalani selama beberapa tahun ini, justru aku menempuh jalan yang
seolah-olah berbanding terbalik dengan niatku di awal tadi. Semua ini tidak
akan terjadi, jika aku tidak memikirkan sumpah yang kadung diikrarkan pada saat
ospek kemarin. Kau tahu, hanya gara-gara kalimat yang terselip dalam sumpah
mahasiswa aku menjadi begini.
Aku harus konsisten dengan apa yang kadung terlontar tentang Tri Fungsi mahasiswa, meskipun banyak orang yang inkonsisten dengan nilai tersebut. Setidaknya, aku harus paham tentang hukum kifayah atau hukum berjamaah. Dan kau tahu, bahwa kewajiban untuk mengawal kebijakan adalah hukum kifayah. Selagi masih ada yang peduli dengan ketidaksesuaian atau kerusakan, maka kewajiban itu sudah dianggap gugur. Aku hanya memegang itu, ketika aku merasa sepi dalam keramaian.
Pola pikir yang aku bangun memang tidak boleh berujung pada keuntungan sendiri. Tiap detik aku mati, dan tiap detik selanjutnya aku hidup kembali, tapi kematianku setidaknya bisa membuat orang hidup, apalagi kehidupanku justru harus membuat ladang penghidupan untuk orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi