Sekretaris
Pusat Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB), Alumni Ponpes
Banyuanyar, Pamekasan, Madura
Suatu
malam saat aku menginap di pondok (Bannyuanyar) yang sudah hampir lima tahun ditinggalkan.
Kalian tahu apa yang aku lakukan?, tengah malam sengaja aku memilih tetap
terjaga, sejenak mengingat cerita beberapa tahun silam. Hawa
sejuk berubah menjadi udara dingin yang perlahan menyelinap menusuk selimut
para santri yang terlelap di amperan pondok.
Suara
derap langkah kaki dan gesekan sendal beberapa santri yang hendak bermunajat di
masjid memecah keheningan menjadi alunan indah ditengah sunyinya malam. Putaran tasbih menjadi teman sepanjang malam mengiringi deru
redam mereka yang menikmati kebersamaan dalam bermunajat kepada Tuhannya.
Aku
tak ingin kehilangan momen ini. Sebab aku juga percaya di dalam keheningan akan
kutemukan ketenangan berpikir dan menghayati keagungan tuhan untuk dapat menggugah hati selalu bersyukur.
Sejenak
aku terdiam melihat-lihat sekeliling, mencari-cari suatu hal yang ingin
kupahami dari makna apa yang terjadi dengan keagungan Tuhan yang tak banyak
orang dapat memahaminya atau bahkan mensyukurinya.
Dan
kalian tahu? Pikiranku seketika buyar saat bau amis melintas Indra
penciumanku. Akhirnya, tanpa sengaja aku melihat sumber dari bau amis yang
kucium. Di pojokan halaman malam itu kertas plastik berceceran di tanah dan beberapa kepala ikan lengkap
dengan butiran nasi sisa-sisa santri yang baru saja masak bersama dan membuat tarik nafsu makan dari seekor
kucing. Kucing itu terlihat sangat kurus
akibat mungkin sudah dua hari tidak makan. Begitu lahapnya ia menyantap kepala
ikan yang berceceran.
Aku
diam memerhatikan kucing lagi sedang
makan kepala ikan yang berceceran dipojok halaman. Tapi karena aku lihat ada yang aneh dari cara makan kucing ini.
Sejenak aku berpikir. Kucing ini aneh. Si-kucingmungkin tidak tahu, bahwa semua kepala ikan yang berceceran sangat lezat, dan jika
disimpan bisa dimakan esok hari tetapi kenapa si kucing tidak memakan
semuanya? Anehnya lagi, mengapa si-kucing hanya memakan bagian yang kecil-kecil saja dari sisa-sisa
ikan tersebut?
Sejenak
pikiranku tertuju pada objek yang memandang sesuatu, selalu hanya pada aspek logika manusia,
sekalipun tidak semuanya. Seandainya kucing tersebut adalah manusia, sudah
sangat mungkin ia akan memilih kepala ikan yang besar daripada bagian kecil
dari sisa-sisa ikan, bahkan seandainya si kucing adalah manusia, maka sangat mungkin ia
akan mengumpulkan dan menyimpan kepala-kepala ikan tersebut untuk keperluan makan
esok hari. Tapi tidak, si-kucing bukanlah manusia yang selalu hawatir tentang apa yang akan
dimakan besok.
Betapa
si-kucing memiliki sesuatu yang dapat dijadikan ibrah bagi manusia.
Akhirnya, dengan kejadian ini Kucing itu kuberi nama Mutawakkil (sesuatu yang
menyerahkan segalanya kepada Allah "Tawakkal"). Ia berpikir,
bahwa sesuatu yang besar tidaklah selalu nyaman dan baik untuk dirinya. Kepala
ikan yang besar hanyalah akan menyiksa mulut dan giginya karena ia harus
bertarung menghancurkan tulang kepala ikan yang keras, sedangkan di sebelahnya
berceceran potongan daging ikan yang kecil-kecil.
Ia juga tidak
hawatir dan tidak brfikir tentang apa yang akan dimakannya esok harinya.
Ia bahkan membiarkan kepala ikan tetap berceceran di tanah. Ia hanya
mengendusnya dan mengacuhkannya.
Hidup
si-Mutawakkil benar-benar dipasrahkan kepada Allah. Ia pasrah dan
mengikuti kemana takdir membawanya. Jika ia hidup, maka hidupnya tidak
disebabkan karena makanan yang ia makan atau minuman yang ia minum, tetapi
hembusan nafasnya berasal dari kekuasaan Allah yang maha memberi rizki
kepada makhluknya.
Dari
kejadian malam ini, si Mutawakkil seakan mengajarkanku cara bertawakal kepada
Allah yang maha mengatur Rizki kepada hambanya tanpa
memberitahukan bagaimana ia membaginya.
Untuk
kita yang selalu hawatir dengan apa yang akan kita makan esok hari dengan menimbun
banyak harta hari ini. Inilah pelajaran bahwa seekor kucing yang tak berakal
saja bisa hidup tanpa kehawatiran akan rezeki dan bagaimana oleh Allah memberinya, sedang kita yang memiliki akal, selalu saja hawatir dengan urusan
mengenyangkan perut.
Jika
mungkin Mutawakkil dapat berbicara, mungkin ia akan berkata "cukup
dengan khawatir apa yang akan kau makan besok, maka sesungguhnya kau telah
menghina Allah". Mungkin, kamu akan berpikir, aku juga aneh menyamakan
manusia dengan kucing. Terserah, aku akan membebaskan kalian menilai pendapatku. Aku hanya mencoba belajar pada segala hal
yang ada di sekeliling kehidupan ini. Dan kali ini, kucing itu adalah objekku dalam belajar.
Iqro'
(Bacalah) dan ambillah pelajaran dari apa yang terjadi disekeliling kita. Setelah Allah menunjukka jalan lurus kepadamu dengan hikmah, lalu,
Afalaa ta'qiluun.
Pamekasan, Pondok
Pesantren Banyuanyar (07/05/2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi