Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Kucing Itu Kuberi Nama Mutawakkil

Rabu, 09 Mei 2018
 

Oleh: Al-Homed
Sekretaris Pusat Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB), Alumni Ponpes Banyuanyar, Pamekasan, Madura

Suatu malam saat aku menginap di pondok (Bannyuanyar) yang sudah hampir lima tahun ditinggalkan. Kalian tahu apa yang aku lakukan?, tengah malam sengaja aku memilih tetap terjaga, sejenak mengingat cerita beberapa tahun silam. Hawa sejuk berubah menjadi udara dingin yang perlahan menyelinap menusuk selimut para santri yang terlelap di amperan pondok.

Suara derap langkah kaki dan gesekan sendal beberapa santri yang hendak bermunajat di masjid memecah keheningan menjadi alunan indah ditengah sunyinya malam. Putaran tasbih menjadi teman sepanjang malam mengiringi deru redam mereka yang menikmati kebersamaan dalam bermunajat kepada Tuhannya.

Aku tak ingin kehilangan momen ini. Sebab aku juga percaya di dalam keheningan akan kutemukan ketenangan berpikir dan menghayati keagungan tuhan untuk dapat menggugah hati selalu bersyukur.
Sejenak aku terdiam melihat-lihat sekeliling, mencari-cari suatu hal yang ingin kupahami dari makna apa yang terjadi dengan keagungan Tuhan yang tak banyak orang dapat memahaminya atau bahkan mensyukurinya.

Dan kalian tahu? Pikiranku seketika buyar saat bau amis melintas Indra penciumanku. Akhirnya, tanpa sengaja aku melihat sumber dari bau amis yang kucium. Di pojokan halaman malam itu kertas plastik berceceran di tanah dan beberapa kepala ikan lengkap dengan butiran nasi sisa-sisa santri yang baru saja masak bersama  dan membuat tarik nafsu makan dari seekor kucing.  Kucing itu terlihat sangat kurus akibat mungkin sudah dua hari tidak makan. Begitu lahapnya ia menyantap kepala ikan yang berceceran.

Aku diam memerhatikan kucing lagi sedang makan kepala ikan yang berceceran dipojok halaman. Tapi karena aku lihat ada yang aneh dari cara makan kucing ini. Sejenak aku berpikir. Kucing ini aneh. Si-kucingmungkin tidak tahu, bahwa semua kepala ikan yang berceceran sangat lezat, dan jika disimpan bisa dimakan esok hari tetapi kenapa si kucing tidak memakan semuanya? Anehnya lagi, mengapa si-kucing hanya memakan bagian yang kecil-kecil saja dari sisa-sisa ikan tersebut?

Sejenak pikiranku tertuju pada objek yang memandang sesuatu, selalu hanya pada aspek logika manusia, sekalipun tidak semuanya. Seandainya kucing tersebut adalah manusia, sudah sangat mungkin ia akan memilih kepala ikan yang besar daripada bagian kecil dari sisa-sisa ikan, bahkan seandainya si kucing adalah manusia, maka sangat mungkin ia akan mengumpulkan dan menyimpan kepala-kepala ikan tersebut untuk keperluan makan esok hari. Tapi tidak, si-kucing bukanlah manusia yang selalu hawatir tentang apa yang akan dimakan besok.

Betapa si-kucing memiliki sesuatu yang dapat dijadikan ibrah bagi manusia. Akhirnya, dengan kejadian ini Kucing itu kuberi nama Mutawakkil (sesuatu yang menyerahkan segalanya kepada Allah "Tawakkal"). Ia berpikir, bahwa sesuatu yang besar tidaklah selalu nyaman dan baik untuk dirinya. Kepala ikan yang besar hanyalah akan menyiksa mulut dan giginya karena ia harus bertarung menghancurkan tulang kepala ikan yang keras, sedangkan di sebelahnya berceceran potongan daging ikan yang kecil-kecil.

Ia juga tidak hawatir dan tidak brfikir tentang apa yang akan dimakannya esok harinya. Ia bahkan membiarkan kepala ikan tetap berceceran di tanah. Ia hanya mengendusnya dan mengacuhkannya.

Hidup si-Mutawakkil benar-benar dipasrahkan kepada Allah. Ia pasrah dan mengikuti kemana takdir membawanya. Jika ia hidup, maka hidupnya tidak disebabkan karena makanan yang ia makan atau minuman yang ia minum, tetapi hembusan nafasnya berasal dari kekuasaan Allah yang maha memberi rizki kepada makhluknya.

Dari kejadian malam ini, si Mutawakkil seakan mengajarkanku cara bertawakal kepada Allah yang maha mengatur Rizki kepada hambanya tanpa memberitahukan bagaimana ia membaginya.
Untuk kita yang selalu hawatir dengan apa yang akan kita makan esok hari dengan menimbun banyak harta hari ini. Inilah pelajaran bahwa seekor kucing yang tak berakal saja bisa hidup tanpa kehawatiran akan rezeki dan bagaimana oleh Allah memberinya, sedang kita yang memiliki akal, selalu saja hawatir dengan urusan mengenyangkan perut.

Jika mungkin Mutawakkil dapat berbicara, mungkin ia akan berkata "cukup dengan khawatir apa yang akan kau makan besok, maka sesungguhnya kau telah menghina Allah". Mungkin, kamu akan berpikir, aku juga aneh menyamakan manusia dengan kucing. Terserah, aku akan membebaskan kalian menilai pendapatku. Aku hanya mencoba belajar pada segala hal yang ada di sekeliling kehidupan ini. Dan kali ini, kucing itu adalah objekku dalam belajar.

Iqro' (Bacalah) dan ambillah pelajaran dari apa yang terjadi disekeliling kita. Setelah Allah menunjukka jalan lurus kepadamu dengan hikmah, lalu, Afalaa ta'qiluun.

Pamekasan, Pondok Pesantren Banyuanyar (07/05/2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi