Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Aku dan Surat Untuk Elbat

Jumat, 29 Juni 2018



Oleh: Faidi Ansori
Kerjaan Ngopi dan Keliling
“Bukalah sambil melirik ke-kanan, ke-kiri. Bacalah dengan penuh hati”
Saya mau kembali kezaman dimana setiap orang menggunakan kertas, semoga kita sama-sama Bahagia

Kian lama kian berkecamuk di mata, hatipun terbawa gelombang wanita jelita, Elbat namanya. "Itulah nama yang aku kenal ketika pertemuan kedua di dalam kelas selapas mata kuliah berakhir", ucap Eril disaat ingatannya dihimpit dinginnya tiupan angin malam.

Setiap lelaki diujung samudra atau dipedalaman hutan belantara menghadapi kata langit yang sama, "Cinta dalam keberadaannya".

Perhatian mata dalam subjektifitasnya materil adalah bentuk. Hati diperuntukkan hanya bagi pencinta sejati sebagaimana contoh tokoh Kahlil Gibran, Sufi Mirza, dan Syaeh Badiuzzaman Said Nurzi (Ulama’ Turki sang pecinta agung). Tiga menusia tersebut benar-benar pecinta agung diatas kelas cinta kita.

Aku menarik nafas cinta begitu panjang untuk kalipertama, sebab kidungan bibir manis Elbat jelita di sudut kelas sebelah barat. Dia duduk manis sambil melirik bolpoin temannya yang merahnya agak sudah luntur. Dia menyapaku dari arah belakang.

"Eril, kau tak mau duduk denganku" tanya dia dengan suara lirih pertanda dia mengajakku supaya menemani disampingnya.

Akupun melirik dia dengan kedipan mata, pertada aku menyukai si-Elbat itu. Namun dia hanya biasa-biasa saja dengan saat tingkah manjaku.

Disamping dia melirikku dan memintaku untuk ada di dekat tempat duduknya, kayaknya dia hanya butuh teman, tidak lebih daripada itu. Aku mencoba menghampirinya dan aku duduk disebalah kanan dimana dia duduk, tetapi dia hanya tersenyum manja.

Setelah lama aku ada didekatnya, akupun merasa senang karena dekat dengan anak itu, namun sayang, aku tidak mengenal batin akarnya. Tetapi di arah garis lain, aku merasakan energi positif yang dibawa. Rasanya aku ingin berkata "Ana Uhibbuki". Hati ini berkecamuk untuk cepat melayangkan surat ini pada anak manis jelita itu, agar segala keinginan tidak hanya dimuat dibenak keinginan pecinta.

Tidak disangka, perempuan itu membuatku tertarik untuk dimiliki, bahkan api gairah cintaku tak ingin terpadamkan.

"Elbat, engkau ibarat lapisan gula diatas sepotong kue yang direbutkan semut-semut" ucapku dalam hkayal saat aku sedang menuliskan surat itu.

Pengalaman yang berlalu dialam yang berlalu membuat hati ini berdenyut, bergetar rasa cinta. Kegembiraan melihat perempuan jelita tersebut tidaklah berganda, bahkan melampaui nikmatnya hisapan rokok dan seruputan kopi disela-sela diskusi dan membaca.

Saat pertengahan malam mulai tiba, aku mulai mencoba berhati-hati dalam menulis, agar perempuan itu tak merasa bahwa dirinya lagi sedang ditembak.
Saat pertengahan malam sudah terlewarti aku mulai meneruskan kata-kataku yang termuat ruang hayal.
"Saat bertatab muka didekatnya sungguh menenangkan hati, bagai seorang pemuda saat direlung dahaga di bawah panasnya matahari dihamparan padang pasir, lalu diwaktu itu pula siraman air-hujan bercucuran mengenakan kesekujur tubuh ini" tulisku saat mengingatnya diwaktu pertemuan kedua di sudut kelas itu.

Jika hkayalku nyata, maka tentu rasa cintaku terpuaskan. Aku pecinta perempuan, pemerhati, dan pemuji kecantikan. Kecantikan yang dibawa oleh Elbat merupakan pemikat rasa cinta di dalam diri.

Saat satu minggu setelah pertemuan kedua itu, Elbat mulai merespon candaku dengan manja, namun hanya sekali, setelah itu gak ada lagi.

"Mas aku malu dengan cinta" lirihnya saat aku ajak dia kerumah.

Tak lama kemudia dia hanya tersenyum bila bertemu denganku, sama halnya ketika aku melihat ketika juga bersama temannya.

Aku memang terpesona dengan seyumnya, tapi disisi lain aku merasa risih dan cemburu jika dia seperti itu.

sebab itulah alasannya. Fikiran mulai bercinta. Hati mulai terusik akan keelokan parasnya di depan mata. Langkah mulai terdorong oleh rasa cinta,  sebab perempuan cantik jelita, rupa menawan itu.
Banyak orang berkata
"Lihatlah wanita dari sudut matanya”, namun kata-kata tersebut masihlah belum tepat bagiku seorang diri, sebab pembicaraanku tidaklah seperti itu, karena untuk melihat Elbat haruslah dari sinar bola matanya, dan ini bisa dilihat dari pancaran sinarnya yang Indah penuh pesona, bagai pancaran biru matanya perempuan Amerika dan membahagiakan tak terhingga.

Aku menyukai canda dan bawaan pembicaraan dari bibir manisnya, dan aku juga menaruh hati pada paras kecantikan. Melihat dia tidaklah jauh seperti melihat bunga mawar lagi sedang tumbuh mekar nan Indah ditaman. Seandainya aku diperbolehkan menjadi pemilik bunga tersebut juga mahkota hatinya, tentu syukur tak akan hingga pada ujung batasnya. Namun sayang, kabar burung memukul hati dan telingaku, bahwa “Ada seorang yang ia cintai yaitu tunagannya". Demikan kabar burung yang aku terima dari Eri teman karibnya waktu SMP. Benar atau tidak kabar tersebut hanya dia yang biasa menjawab.

Mekarnya rasa cintaku selama ini mulai terpecah ketika mendengar kabar burung tersebut, mulailah meredup, menggugur, dan memecahkan hati. Tetapi beginilah pencarian diri.

Terkadang diwaktu-waktu kosong, tembok menjadi penghalang besar agar tamu tidak bisa mampu melihat indahnya taman di depan teras rumah. Bunga-bunga yang ayu menjadi hayalan semu pembeli, ketika pembeli yang lain sudah lebih awal menawar dan mendapatkannya. Mungkin nasib seorang pengeran itu jauh lebih baik nasibnya dibandingkanku. Tetapi aku tetap berusaha selama pepatah “Sebelum janur kuning melengkung” masih berlaku didalam situasi sosial laki-laki dan perempuan. Dan semoga hari ini, aku masih beruntung untuk mendapatkan Si-Elbat. Semoga!, A...Mi...N.

Bergetar tanganku ketika memulai menuangkan hati yang paling dalam di alam kertas singkat ini. Permulaan kalimat didalam surat memaksa, banyak yang aku rasakan. Namun ketika aku paksakan bait-bait dari tangan, hilanglah ketakutan untuk melayangkan surat ini kepadamu, tetapi aku mulai ragu, gugub, dan was-was, apakah tulisan ini dirasa mengganggu yang membaca"

"Aku lebih sangat dan teramat bebas menulisakan surat-surat ini daripada mengatakan jujur dihadapanmu dengan lisan. Sebab aku gampang lupa dan hilang segala keinginan dan ingatan kalau sudah betatap dengan parasnya. Matamu yang seperti bintang ditengah rembulannya malam, membuat aku terpesona sehingga hilanglah kata-kata yang telah di susun sejak awal dipersiapkan"

Jujur, aku mencintainya, sebab keelokan paras, kehalusan tutur, dan kepribadian yang baik. Aku bukan bermaksud mengada-ngada saat rangkaian tulisan ini dibaca olehmu, namun ini terjadi karena pertemuan. “Kalau perasaan hati seseorang hanya disimpan bagai permata didalam peti, dan tidak ditelurkan dengan kejujuran, maka seperti itulah yang disebut cinta palsu. Rasa cinta dengan gaya tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kepercayaan pada diri sendiri, dan aku tidak mau dikakan seorang yang tidak percaya pada diri sendiri, walaupun penolakan menimpa, menampar mukaku”  Ucapku di dalam surat itu.

Marilah kita berbicara jujur walaupun pahit dan menyakitkan. Kopi tidak akan dirasa pahit atau manis kalaulah masih belum dicoba.

Aku pengagum perempuan, namun kekaguman tersebut tidaklah gampang untuk meluas keseantero perempuan jagat, dan semua itu hanya untuk Elbat seorang. Sama seperti tulisan lafat Allah di atas langit yang terukir atas dasar awan. Lafad Allah sangatlah Istimewa, begitu pula jika Elbat merupakan keistimewaan tersendiri yang aku temui.

Serangkaian kata diatas bukan maksud mengikat hatimu, tetapi hanya kata-katalah yang ternilai estetik. Terkadang bayanganya bukan mimpi tidur, tetapi kenyataan ketika sendiri bersama ruang.

Celakalah keinginan seseorang, apabila perjuangannya tanpa membuahi hasil yang segar, masaknya tak rusak, manis dirasa. Hanya manusia tidak waras yang mau sabar akan kekasih yang dicintainya tak ada disamping tempat duduk yang sudah tersedia.

Elbat yang manis! Rayuan pepatah penyair konon katan-katanya sangatlah terkenal pernah berkata “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti kata yang tak pernah tersampaikan api kepada kayu yang menjadikaannya debu”, demikian pungkas penyair tersebut.

"Kalau pepatah diatas menyalar keseantero negeri dan memecahkan ruang-ruang kaku, maka aku akan meminjamnya untuk mu, mungkin dengan kata tersebut aku dapat berhasil, semoga!" terang Eril dalam kertas kecil yang dia tulis.

Seorang penyair dengan pandainya memperindah kata sehingga sulit di mengerti banyak orang. Aku bukan manusia sastra yang bisa memperindah bahasa dan juga melembutkannya. Namun mungkin cara ini lebih mudah dimengerti dan di balas dengan kesenangan.

Jangan cemberut muka agar tidak keriput nampak di mata, karena kata-kata Iseng ini. Memilihpun terkadang sangatlah berat bagi seorang, tetapi tidak harus dibuat pusing kalau pilihanmu merasa tidak enak untuk keperluan penulis. Buanglah kebisingan ini keluasnya lautan samudra, karena ombak akan membawa dan orang lain tidak akan menemuinya. Tapi perlu juga diingat, sebesar apapun ombak yang membawa sampah secuil biji padi, ombak pastilah bersama, karena hanya ombak air laut yang akan tahu mau dibawa kemanakah secuil biji padi tersebut.

Dikau wanita jelita, senyum melepaskan hayalan asap berkepul di udara, nyaman dan segar di lihat mata, tak membosankan.

Kesendirian adalah kekosongan, kesendirian adalah keambiguan, kesendirian adalah fikiran. Tetapi sendiri bukan tidak mau beradu nasib terhadap pujaan hati sepertimu wahai Elbat.

Apakah elektronek dan alat pos-moderent bisa diganti balasan kiriman pesan merpati putih pertanda surat tersampaikan dan membahagiakan pengirim, karena cantik jelita tidak dibikin hayalan penulis, tapi sambut mesra bagai Irya dan Uma dinovel “Surat-surat Irya kepada Uma, Uma kepada Irya”, karya Ghentong Selo Ali.

Lukisan perempuan di dinding yang ditulis para seniman karena ada maksud kekaguman dan permintaan untuk menjadi kenyataan, tetapi dinding bukan makhluk yang dapat mengerti pembicaraan pengukir. Jika rasaku membohongimu, maka akan kubohongi banyak perempuan di baju.

Aku tidak seperti anak kecil yang gampang mengadu. Aku bukan ayam yang sering meminta pelukan induknya. Kiranya bunyi petikan gitar bersenandung ditelinga membahagiakan penulis.

Setiap kali aku melihatmu di pencibiran bibir kala kita di pojok kelas itu kebahagian tidak terhingga dimata dan hati.

Aku tetap optimis, bahwa setiap pelayar ingin mendapatkan banyak ikan untuk dimakan. Pelayar tidak mau rugi pergi ketengah lautan samudra, begitupun aku menuliskan surat ini padamu.

"Dalam menyukai tidak bisa mandiri total sendiri, maaf aku sering membenci diri, dan amuk-amukan karena kerinduan. Cinta terkadang hanya menjadi simpul-simpul ikatan, tetapi hancur karena ketidakjujuran. Aku terkadang muak membaca, menulis, dan berbicara hanya kata dan bahasa, tetapi baru-baru ini rasa mulai muncul mendekat ingin menyentuh hati seorang perempuan yang bernamakan Elbat"

Janganlah khawatir untuk memukulku dari belakang, karena wajah aslinya didepan. Memandang seseorang harus ditujukan pada layarnya. Maafkan apabila coretan ini mengganggumu oh Elbat.

Terkadang aku terlalu berani berucap tegas penuh keyakinan walaupun keambiguan bertumpuk difikiran. Terkadang menyukai seseorang akan membuahi penyesalan, namun dilain sisi penyesalan terkadang hasil daripada keberaninan. Semoga saja keberanianku menetaskan keindahan, bukan bau busuk bangkai yang tidak diharapkan.

“Semoga coretan ini bisa dimaklumi. Cahaya cerah yang ditunggu, bukan kopi bubuk tanpa gula yang diminta”
Mellas Bhunga Etarema’ah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi