Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

CUIT #3 Pohon Sejati

Sabtu, 21 Juli 2018


Oleh: Em Ruddy

Umpama pohon jati, ada akar, batang, daun, bunga dan biji. Pada akar, jumlahnya ada banyak, dan masing-masing darinya memiliki bagian lagi. Begitupun bagian batang, daun, bunga dan biji. Saat satu akarnya diambil, pohon jati tetap di sebut pohon jati, dan akar yang memisah itu juga masih disebut akar jati. Hanya saat hilang, dan oleh orang – orang disebut akar pohon lainnya. Itu sebabnya, mereka tak kenal akar pohon jati.

Dibagian utama pohon jati itu, masing-masing bagian memiliki bagian, dan masing –masing bagian masih memiliki bagian lain lagi. Terus begitu, hingga sampai pada bagian yang tak dapat di bagi. Itulah yang disebut ‘zarrah’. Dalam Al Qur’an Surat Al Zalzalah, Zarrah di artikan biji sawi. Itu perumpamaan sesuatu yang sangat kecil. Arti sebenarnya adalah sesuatu yang amat sangat kecil, yang tak dapat di bagi. Kaitan antara sesuatu yang supermikro itu, pernah disinggung oleh Filsuf Yunani kuno bermana Demokritus (460 – 370 SM) dalam teori atomnya. Demokritus mengatakan bahwa atom adalah sesuatu yang sudah tidak dapat dibagi. Kemudian berkembang dengan teori atom Jhon Dalton (1805 M), dilanjutkan Thomson (1897 M), di lanjutkan lagi oleh Rutherford (1911 M) dan disempurnakan oleh Bohr (1914).

Sebenarnya, setelah Bohr, ada teori atom modern yang disebut teori atom Mekanika Kuantum. Tapi teori ini seperti mengambil jalan tengah dari teori – teori sebelumnya. Intinya, atom adalah benda bermuatan positif dan negatif. Nah, menurutku, atom itu masih dapat di bagi menjadi bagian yang tak terbagi lagi, itulah yang di sebut ‘Zarrah’. Zarrah adalah inti kehidupan atau Dzat Yang Maha Inti. Sebab, Dia tak dapat dibagi; tak dapat disekutukan.

Kembali ke pohon jati. Jika disuruh menunjukkan pohon jati itu yang mana, orang akan menunjukkan bagian dzahiriyyah dari kenampakan komponen utamanya. Lantas, yang mana sejatinya pohon jati itu? Jika kau menunjuk daunnya, maka tanpa daun ia akan disebut pohon jati; jika kau menunjuk akarnya, maka tanpa akar ia akan tetap disebut pohon jati; jika kau menunjuk batangnya, maka musnahlah nama ‘pohon jati’. Itu terjadi sebab jika batangnya tak ada, maka komponen utamanya juga hilang. Ini yang disebut moksa: hilang jasad dan jiwa.

Jika aku boleh mengumpamakan, pohon jati itu adalah manusia. Manusia bisa tanpa tangan, bisa tanpa kaki, bisa tanpa mata, dan seterusnya. Tapi, jika manusia tanpa badan, maka musnah. Karena komponen utama manusia menyandarkan pada dhahiriyyah tubuh. Lalu ku balik pertanyaannya:

“mana yang disebut manusia?”

Aku pernah bingung. Menyendiri di sawah, kebun, kuburan, bahkan di hutan dan laut. Hasilnya sama: aku tak menemukan ‘mana manusia’. Kulihat daun yang kedinginan dan kutanya, “apakah kau benar-benar daun?” Ya, aku sungguh-sungguh melafalkan hal itu. Aku berharap ada hatif, ‘suara jawaban yang muncul tapi tanpa rupa’. Tanah dan rerimbunan menertawakanku kala itu dengan desiran yang mengejek bersama angin. Aku pulang, bersama pertanyaan yang kosong melompong.

Sebelumnya, perjalanan sunyi ini kucatat dan kuberi nama ‘CUIT #1 dan #2’. Cuit #1 kuberi judul ‘Membalik Indera’. Ini bukan tanpa alasan. Ada pertanyaan-pertanyaan yang istiqomah menghantuiku: tentang kenapa mata ini melihat sesuatu yang ada diluar tubuh kita, sementara orang buta tidak melihat dengan mata dan bisa mengenali apa yang ada di luar dirinya; tentang mengapa hidung ini hanya mencium bau diluar tubuh, sementara bila hidung ini mencium bau dalam tubuh, aku akan pingsan dengan bau bangkai tubuh ini; dan kenapa, mengapa, bagaimana, apa, dan berujung pada pertanyaan ‘dimana letak indera ini’.

Letak penglihatan adalah pada mata, dan ini adalah jawaban paling naif jika kupikirkan lagi. Aku pernah duduk diam, melamunkan sesuatu yang sangat indah. Mataku menganga, tapi temanku lewat persis di depanku dan aku tak melihatnya. Lantas, masihkah mata melihat? Tidak! Yang melihat adalah pikiran.

Aku pernah melamunkan sesuatu yang sangat indah. Setelah selesai melamun, aku mencium bau bangkai yang menyengat, dan temanku mengatakan bahwa bau itu sudah lama. Aku baru sadar setelah memikirkan hidungku. Ya, tanpa pikiran, hidung tidak dapat mencium.

Aku pernah duduk berdua dengan seseorang yang sedang dirundung pilu. Lalu aku mendongeng, ia menangis, dan kukatakan padanya, “ Pejamkan matamu, rasakan ada tangan ibumu sekarang sedang menggandengmu. Rasakan! Ibumu sekarang ada di depanmu dan bukalah matamu!” Setelah ia membuka mata, ia menangis dan tangannya seperti sedang menggandeng seseorang. Setelah selesai, ia mengatakan benar – benar bertemu ibunya.

Aku sedang melihat seseorang dan membayangkan orang itu mirip denganmu. Lalu, otakku mulai memikirkan celah pembenaran-pembenaran bahwa orang itu punya kemiripan denganmu. Hasilnya, aku pun menganggap orang itu benar-benar mirip denganmu. Dan, aku juga melihat bayangan dan membayangkan bahwa bayangan itu kumiripkan dengan kuda. Lalu otakku memikirkan pembenaran bahwa bayangan itu mirip kuda. Jadilah bayangan itu mirip kuda bagiku.

Pertanyaanku, apa benar mata, hidung, lidah, telinga dan kulit adalah indera sesungguhnya? Menurutku, tidak. Indera hanya satu, yaitu pikiran. CUIT #1 ‘Membalik Indera’ adalah belajar menjadikan pikiran sebagai indera. Sebab, dengan pikiran, alurnya adalah dari dalam keluar, sementara bila dengan panca indera, alurnya adalah dari luar kedalam.

Lantas, apa hubungan antara indera pikiran (indera ke enam: menurutku) dengan ‘mana manusia’? Apakah tanpa pikiran disebut bukan manusia? Ternyata tidak. Manusia yang keseleo pikirannya masih disebut manusia, meski ada embel-embel ‘gila’. Orang gila disebut manusia karena masih punya nurani. Coba saja, ajak masuk orang gila ke kandang ayam dan berikan alat pukul. Nurani akan menuntunnya untuk tidak memukuli ayam-ayam di kandang itu.

Lantas, mana manusia? Apa jasadnya, apa pikirannya, atau nuraninya? Atau tidak itu sama sekali? Kuakhiri pertanyaan itu pada catatan CUIT #2 dengan judul ‘Makrokosmos lan Mikrokosmos’. Yen den pikirake, setuhune Makrokosmos lan Mikrokosmos iku pada padhane. Ananging ana kang dadi pambedha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi