Oleh: Em Ruddy
Umpama
pohon jati, ada akar, batang, daun, bunga dan biji. Pada akar, jumlahnya ada
banyak, dan masing-masing darinya memiliki bagian lagi. Begitupun bagian
batang, daun, bunga dan biji. Saat
satu akarnya diambil, pohon jati tetap di sebut pohon jati, dan akar yang
memisah itu juga masih disebut akar jati. Hanya saat hilang, dan oleh orang –
orang disebut akar pohon lainnya. Itu sebabnya, mereka tak kenal akar pohon
jati.
Dibagian
utama pohon jati itu, masing-masing bagian memiliki bagian, dan masing –masing
bagian masih memiliki bagian lain lagi. Terus begitu, hingga sampai pada bagian
yang tak dapat di bagi. Itulah yang disebut ‘zarrah’.
Dalam Al Qur’an Surat Al Zalzalah, Zarrah di artikan biji sawi. Itu
perumpamaan sesuatu yang sangat kecil. Arti sebenarnya adalah sesuatu yang amat
sangat kecil, yang tak dapat di bagi. Kaitan antara sesuatu yang supermikro
itu, pernah disinggung oleh Filsuf Yunani kuno bermana Demokritus (460 – 370
SM) dalam teori atomnya. Demokritus mengatakan bahwa atom adalah sesuatu yang
sudah tidak dapat dibagi. Kemudian berkembang dengan teori atom Jhon Dalton
(1805 M), dilanjutkan Thomson (1897 M), di lanjutkan lagi oleh Rutherford (1911
M) dan disempurnakan oleh Bohr (1914).
Sebenarnya,
setelah Bohr, ada teori atom modern yang disebut teori atom Mekanika Kuantum.
Tapi teori ini seperti mengambil jalan tengah dari teori – teori sebelumnya.
Intinya, atom adalah benda bermuatan positif dan negatif. Nah, menurutku, atom
itu masih dapat di bagi menjadi bagian yang tak terbagi lagi, itulah yang di
sebut ‘Zarrah’. Zarrah adalah inti
kehidupan atau Dzat Yang Maha Inti. Sebab, Dia tak dapat dibagi; tak dapat
disekutukan.
Kembali
ke pohon jati. Jika disuruh menunjukkan pohon jati itu yang mana, orang akan
menunjukkan bagian dzahiriyyah dari
kenampakan komponen utamanya. Lantas, yang mana sejatinya pohon jati itu? Jika
kau menunjuk daunnya, maka tanpa daun ia akan disebut pohon jati; jika kau
menunjuk akarnya, maka tanpa akar ia akan tetap disebut pohon jati; jika kau
menunjuk batangnya, maka musnahlah nama ‘pohon jati’. Itu terjadi sebab jika
batangnya tak ada, maka komponen utamanya juga hilang. Ini yang disebut moksa:
hilang jasad dan jiwa.
Jika
aku boleh mengumpamakan, pohon jati itu adalah manusia. Manusia bisa tanpa
tangan, bisa tanpa kaki, bisa tanpa mata, dan seterusnya. Tapi, jika manusia
tanpa badan, maka musnah. Karena komponen utama manusia menyandarkan pada dhahiriyyah tubuh. Lalu ku balik
pertanyaannya:
“mana
yang disebut manusia?”
Aku
pernah bingung. Menyendiri di sawah, kebun, kuburan, bahkan di hutan dan laut.
Hasilnya sama: aku tak menemukan ‘mana manusia’. Kulihat daun yang kedinginan
dan kutanya, “apakah kau benar-benar daun?” Ya, aku sungguh-sungguh melafalkan
hal itu. Aku berharap ada hatif, ‘suara
jawaban yang muncul tapi tanpa rupa’. Tanah dan rerimbunan menertawakanku kala
itu dengan desiran yang mengejek bersama angin. Aku pulang, bersama pertanyaan
yang kosong melompong.
Sebelumnya,
perjalanan sunyi ini kucatat dan kuberi nama ‘CUIT #1 dan #2’. Cuit #1
kuberi judul ‘Membalik Indera’. Ini bukan tanpa alasan. Ada
pertanyaan-pertanyaan yang istiqomah menghantuiku: tentang kenapa mata ini
melihat sesuatu yang ada diluar tubuh kita, sementara orang buta tidak melihat
dengan mata dan bisa mengenali apa yang ada di luar dirinya; tentang mengapa
hidung ini hanya mencium bau diluar tubuh, sementara bila hidung ini mencium
bau dalam tubuh, aku akan pingsan dengan bau bangkai tubuh ini; dan kenapa,
mengapa, bagaimana, apa, dan berujung pada pertanyaan ‘dimana letak indera
ini’.
Letak
penglihatan adalah pada mata, dan ini adalah jawaban paling naif jika
kupikirkan lagi. Aku pernah duduk diam, melamunkan sesuatu yang sangat indah.
Mataku menganga, tapi temanku lewat persis di depanku dan aku tak melihatnya.
Lantas, masihkah mata melihat? Tidak! Yang melihat adalah pikiran.
Aku
pernah melamunkan sesuatu yang sangat indah. Setelah selesai melamun, aku mencium
bau bangkai yang menyengat, dan temanku mengatakan bahwa bau itu sudah lama.
Aku baru sadar setelah memikirkan hidungku. Ya, tanpa pikiran, hidung tidak
dapat mencium.
Aku
pernah duduk berdua dengan seseorang yang sedang dirundung pilu. Lalu aku
mendongeng, ia menangis, dan kukatakan padanya, “ Pejamkan matamu, rasakan ada
tangan ibumu sekarang sedang menggandengmu. Rasakan! Ibumu sekarang ada di
depanmu dan bukalah matamu!” Setelah ia membuka mata, ia menangis dan
tangannya seperti sedang menggandeng seseorang. Setelah selesai, ia mengatakan
benar – benar bertemu ibunya.
Aku
sedang melihat seseorang dan membayangkan orang itu mirip denganmu. Lalu,
otakku mulai memikirkan celah pembenaran-pembenaran bahwa orang itu punya
kemiripan denganmu. Hasilnya, aku pun menganggap orang itu benar-benar mirip
denganmu. Dan, aku juga melihat bayangan dan membayangkan bahwa bayangan itu
kumiripkan dengan kuda. Lalu otakku memikirkan pembenaran bahwa bayangan itu
mirip kuda. Jadilah bayangan itu mirip kuda bagiku.
Pertanyaanku,
apa benar mata, hidung, lidah, telinga dan kulit adalah indera sesungguhnya?
Menurutku, tidak. Indera hanya satu, yaitu pikiran. CUIT #1 ‘Membalik Indera’
adalah belajar menjadikan pikiran sebagai indera. Sebab, dengan pikiran, alurnya
adalah dari dalam keluar, sementara bila dengan panca indera, alurnya adalah
dari luar kedalam.
Lantas,
apa hubungan antara indera pikiran (indera ke enam: menurutku) dengan ‘mana
manusia’? Apakah tanpa pikiran disebut bukan manusia? Ternyata tidak. Manusia
yang keseleo pikirannya masih disebut manusia, meski ada embel-embel ‘gila’.
Orang gila disebut manusia karena masih punya nurani. Coba saja, ajak masuk
orang gila ke kandang ayam dan berikan alat pukul. Nurani akan menuntunnya
untuk tidak memukuli ayam-ayam di kandang itu.
Lantas,
mana manusia? Apa jasadnya, apa pikirannya, atau nuraninya? Atau tidak itu sama
sekali? Kuakhiri pertanyaan itu pada catatan CUIT #2 dengan judul ‘Makrokosmos
lan Mikrokosmos’. Yen den pikirake, setuhune Makrokosmos lan Mikrokosmos iku
pada padhane. Ananging ana kang dadi pambedha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi