Oleh: Faidi Ansori
Aku
menanti hilangnya warna sore diufuk
barat bersama matahari yang sudah tua, sedang kegelapan sudah nampak diujung
mata.
Cahaya
yang aku impikan amat teramat besar untuk kupandang,
saat rembulan menghampiri malam.
“Sinanarku mulai redup” ucap bintang pada cahaya
bulan
Dia pun berkata lagi "Apakah
cahaya tahu siapa yang menghadapnya" fikirku dalam khayal bersama Prabu,
Patih, Dalang, dan Wayang disebelah kanan kiri lorong pada dua arah utara dan
selatan tanpa ujung.
Malam
tanggal muda ini adalah permintaan cahaya agar aku bisa menggambarkan yang tak
bisa ku gambar penuh keindahan tentangnya.
Malam
tanggal muda, cahaya itu datang dan
bertanya, berharap agar aku bisa
mengartikan yang tak ku mengerti tentangnya.
Cahaya
itu amat aneh untuk aku selami bersamanya,
tapi dia cukup ayu kala terpancar dari bibir manisnya yang
kulihat dihamparan kegelapanku.
Di
malam tanggal muda ini, aku cukup ragu akan permintaan itu, karena aku takut tak
bisa tanpa memaksa dengan pujian kesatria untuk menjawab pada pertanyaan Dang
Hiang Cahaya.
Dia
seperti wajah yang memancarkan cahaya merasuk dan menjelma kesejukan alamku.
Tapi dia bukan bantalku, kerudangku, permataku, dan tentu bukan kasurku.
Aku
ingin berkata pada cayaha itu:
"Jutaan
makna dari dua katamu adalah sebabku mengejar cahaya"
Cahaya
dari segala pojok, masih bisa aku tepis, tapi diatas masih ada cahayamu yang ku
mengaharap kehadiran disetiap kata-kataku dimalam tanggal muda ini.
Kamu
tetap pada kecantikan, tetap pada pendirian, tetap dan seharusnya kamu seperti
itu wahai cahayaku.
Kamal, Bangkalan, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi