Oleh: Aryo Gendeng
“Sito! Malam sudah larut, jangan
kau duduk di teras, masuk dan tidurlah” Bapakku teriak sambil memainkan
jenggotnya. Aku tetap meniup suling yang baru selesai ku buat. Senandung suling
ini sungguh luar biasa. Aku tidak habis fikir, bahwa suling ini berbunyi lima
warna yang bersatu ketika di tiup.
“Tuuuu tut tut tuuuuuutuuuuuh
uuuuuuuutuuuut uuutuuuuuuuh.” Meski dibawah langit tanpa bulan bintang, aku
sangat menikmati. Bibir ini mengeluarkan angin ke lubang suling yang
paling atas. Kemudian jari-jariku juga bergerak menghayati. Hati seakan
menyatu dengan nada-nada, fikiranpun tenang. Aku seperti hidup di
zaman-zaman kerajaan, lalu aku mencoba menutup mata dengan pelan-pelan
barangkali dengan menutup mata, aku bisa semakin masuk menghayati bunyi suling
ini.
*********
“Hahahahaha. Kenapa kau tanyakan
itu padaku, bukankah itu bagianmu.” Suara itu aku dengar dari orang-orang
yang berdialog di sebelah kanan. Nampaknya mereka bertengkar. Kenapa disini
gelap sekali, seruku saat mendengarkan suara itu. Aku melangkah mendekati
suara orang-orang itu, tak lama kemudian aku sampai. Ada 3 orang yang duduk dan 2
orang duduk membentuk satu banjar, sedang seorang lagi duduk di depan sambil
berceramah. Mereka di terangi dengan satu cahaya yang tak beralas dan tak
mengantung. Aneh sekali dalam pandanganku! Entah kenapa cahaya itu bisa
memancar meski tanpa kabel dan listrik, yang jelas cahayanya tidak terang seperti siang,
tentu juga tidak remang-remang seperti malam.
“Selamat malam para tuah.” Tak
membuang waktu lagi aku langsung sapa mereka.
“Selamat malam juga.” Jawab
mereka serentak.
“Duduklah anak muda. Kami sudah
lama menunggumu.” Ucap lelaki tua yang duduk di depanku.
“Menungguku?” tanyaku
singkat.
“Ia, menunggumu.” Jawabnya.
Sepertinya dia benar-benar menungguku, mungkin ada suatu patah penting yang
ingin disampaikannya.
“Ada apa pak, kok bisa menungguku?
Adakah suatu hal penting yang ingin disampaikan?” tanyaku sambil memasang wajah
ingin mendengarkan apa maksud bapak tersebut dalam penungguannya.
“Hmmm. Perkenalkan namaku
Selamet, kelima temanku ini bernama Nia, Titik, Jibril, Tori, dan Herat.”
Kelima orang yang pak selamet tunjuk itu, memberi salam padaku, aku juga
membalas salam mereka.
“Boleh aku tau alasan
jenengan-jenengan ini menungguku?” tegas tanyaku kembali, sebab aku penasaran
dengan hal yang ingin mereka sampaikan.
“Hahaha, kami ingin mengabarkan
suatu informasi penting padamu anak muda.” Ucap pak Salamet sambil tertawa.
Kedua orang yang duduk didepannya juga tertawa dan disusul juga oleh
yang bertiga dengan tawa melebihi kelantangan tawanya pak Selamet.
“Apa itu?” tanyaku masih dengan
penasaran berat.
“Kamu tau tah bahwa ada beberapa
organisasi kemahasiswaan yang tidak dizinkan bila berproses di dalam kampusmu?”
Ucap dia mengheningkan tawanya.
“Ya aku tau.” Jawabku singkat dan
memasang wajah penasaran dan penuh pertanyaan dibelakang jawabanku yang
mendadak itu.
“Apa saja itu.” tanya balik
bapak yang ada dihadapanku.
Tanpa harus ku tanyakan lagi, mendadak aku jawab “HMI, BARGANTARA, PMII, GMNI, IMM, dan
banyak pokoknya pak.” Aku menyebutkan sesuai yang aku tau akan
organisasi itu.
“Suatu saat Ormek-ormek itu
akan bersatu menjadi kesatuan utuh.” jawabnya sambil mengangkat keduatangannya
ke langit.
“Maksud bapak ormek-ormek itu
akan buyar?” Susul tanyaku seketika ucapanku terlontar tanpa control.
“Bukan itu maksudku!” Tapi
mereka akan bersatu untuk melawan orang-orang yang menyalahgunakan pangkat
jabatan dengan mengatasnamakan Ideologinya, baik di dalam kampus maupun di
luar kampus.” Ucapya secara tegas. Kelima orang di depannya itu kaget,
memperhatikan seolah mereka menemukan karakter baru dari pak Selamat.
“Ooooo. Berarti ormek-ormek di
luar kampus itu akan membentuk satu kekuatan baru ya pak?” tanyaku agak
menurunkan nada.
“Ia.” Jawabnya singkat sambil
tersenyum sinis.
“Apa nama kesatuan itu pak?”
Aku semakin penasaran dengan satu kekuatan dari beberapa organisasi kemahasiswa
itu.
“Pancawarna” Sambil
mengangguk-nganggaguk pak selamet mengucap nama itu.
“Pancawarna” Aku
mengangguk-ngangguk juga. Kelima temannya itu juga mengangguk-ngangguk
seakan-akan dihipnotis dengan sebutan nama itu.
“Milik siapa Pancawarna itu pak?
Apa mungkin Pancawarnamilik BARGANTARA?” Tanyaku semakin penasaran.
“Hahahaha. Benar sekali.”
“Wah Pancawarna milik BARGANTARA
ya?” Ucapku perlahan.
“Bukan seperti itu maksudku!” lantas bapak
itu menyentak.
“Terus maksud bapak bagaimana?”
“Benar sekali Pancawarna itu
milik BARGANTARA, sebab salah sorang pejuang dari BARGANTARA itu ada di
dalamnya.” Aku semakin tidak mengerti dengan penjelasan pak Selamet. Tapi
entah kenapa aku mengangguk-nganguk.
“Oooh begitu ya pak.” Ucapku
sambil memegang pipi dengan tangan kanan walaupun tidak faham.
“Aduuuh. Anak ini masih belum
faham juga.” Ucap pak selamet seolah sudah faham isi otakku. Sambil memegang
kepalanya ia menggeleng-geleng. Aku hanya tersenyum dengan sikapnya itu.
“Begini anak muda, biar
tidak repot, yang kamu sebutkan itu boleh memiliki Pancawarna.
Contoh pejuang PMII menganggap Pancawarna itu yang membuat PMII, hal tersebut syah mutlak. Misal juga Pejuang
dari HMI menganggap Pancawarna hasil
cetusan HMI, itu boleh, apabila dari BARGANTARA menganggap bahwa Pancawarna
hasil jerih payah mereka, itu boleh. Kalau dari GMNI menganggap Pancawarna adalah
hasil dari GMNI, itu boleh dan tidak jadi masalah. IMM juga menganggap Pancawarna hasil dari IMM, itu boleh-boleh aja. KAMMI menganggap bahwa Pancawarna itudari KAMMI, boleh juga. LMND menganggap Pancawarna
dari LMND, itu syah. GMS menganggap Pancawarna
itu dari GMS sangat boleh. PMKRI menganggap
Pancawarna merupakan hasil dari PMKRI boleh-boleh aja. GMKI pun Boleh, bahkan apabila seumpama ada Mahasiswa
Non Organisasi menganggap Pancawarna itu milik dirinya, itu sangatlah boleh,
semuanya boleh. Sebab tujuan organisasi-organisasi sama, sama-sama baik
tujuannya seperti Pancawarna” Ucapnya dengan keterangan panjang.
“Oooooo ya, ya, aku
mengerti sekarang pak. Berarti Pancawarna itu milik bersama ya pak?”
“Betul.” Ucap bapak itu
dengan singkat.
“Terus kapan tercetusnya Pancawarna
itu pak?”
“Sudah terbentuk sekitar 3 minggu
yang lalu.” Bapak itu memancar cahaya, kemudian menghilang. Aku kaget dengan
kejadian itu, aku menoleh pada kelima teman bapak itu tapi kelimanya juga
sudah tidak ada. Mungkin menghilang barbarengan dengan bapak tadi dan cahaya
yang tak beralas dan tak menggantung itu. Sedikit demi sedikit meredup kemudian
mati. Penglihatanku hitam kembali. Lalu badanku tertetesi air sehingga
bajuku basah.
*****
“Hahahaha. Makanya kalau disuruh
pindah ke kamar ya pindah.” Masih saja main suling. Makan tuh hujan.” Bapakku
berbicara sambil tertawa terbahak-terbahak. Aku lari seketika dari hujan itu.
Ternyata aku tertidur di saat aku meniup suling. Aku tersenyum, sebab baru kali
ini aku melihat bapak sebahagia itu. Kemudian aku melangkah ke kamar mengambil
handuk dan sarung selepas itu aku berjalan santai ke kamar mandi yang
terletak di belakang dapur. Sekitar 1 menit aku sampai ke kamar mandi.
Tunggu dulu! Pembaca mau ikut ke
kamar mandi ya? Ingin tau juga bagaimana cara melepas celana dan kaos?
Sudah-sudah! Sebaiknya pembaca
menutup halaman ini dan cari kamar mandi. Kemudian buka baju serta celana
dalamnya setelah itu mandi yang bersih. Oke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi