Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pesta ala-ala Demokrasi Klub

Minggu, 19 November 2017
Oleh: Birar
Demokrasi. Sangat banyak sekali yang mencibirkan tentangnya. Baik dalam tulisan ataupun dalam obrolan di warung kopi. Seperti halnya Bung Faidi yang menuliskan politik praktis di kampusnya, Universitas Trujoyoyo. Tidak jauh berbeda dengan di Universitas Trunojoyo Madura yang lagi ramai membicarakan ”Pesta Demokrasi,” saya mah terus terang dengan apa yang akan saya bicarakan.

Saya bukan siapa siapa. Saya hanya bedebah yang disayang Tuhan. Juga; bedebah yang menyenangkan. Namun, saya ingin menyumbang suara tentang polemik di kampus yang akan berakhir sampai kiamat tiba. Tentang demokrasi. Seperti yang saya katakan tadi, sangat banyak yang membicarakannya. Bahkan, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menuliskan buku secara khusus membahas demokrasi, ’Demokrasi La Roiba Fih’ judul bukunya. Dia beranggapan demokrasi lebih tinggi dari Tuhan dan hukumNya. Peraturan yang mengikat atas dasar demokrasi mengesampingkan hukum-hukum Tuhan. Polisi tidak akan menilang sejoli bermalam minguan yang tidak membawa surat kawin. Tapi, polisi akan menilang sejoli yang bermalam mingguan tanpa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan bla-bla lainnya. Seperti itulah Cak Nun membicarakan Demokrasi.

Lantas, perlukah saya meniru Bung Faidi ataupun Cak Nun? Ya, jelas tidaklah. Toh, saya bukan humas yang kerjaannya membagus-baguskan kegiatan owner-nya. Barusan saya menuliskan ‘Demokrasi’ di kolom pencarian google. Setelah 0,46 detik mencari, dia menemukan hasil sebesar 27.700.000. Bisa bayangkan seberapa banyak kalau tulisan itu di cetak kemudian di bungkus menjadi tisu toilet? Aih, banyak lah pokoknya.

Saya lebih merindukan demokrasi ala-ala SBY dan Hatta klub. Dulu, di televisi mereka berceloteh tentang, ”Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Sekarang suara itu hanya menjadi kenangan bagi penikmat politik seperti saya. Padahal iklan itu saya rasa cukup greget. Ya, pasti anda juga tahu bahwa yang mereka bicarakan tentang system yang dianut Indonesia. Bukan Tirani maupun Monarki. Entah! Semboyan itu diterapkan dengan semestinya atau tidak. Bisa juga semboyan itu hanya menjadi pemanis formalitas untu saat ini. Saya persilahkan anda semua untuk mengamati. Baik di negara atau contoh aparatur negara. Baik dari contoh terkecil sampai terbesar sekalipun. Sudah?

Syahdan, perkenankanlah saya membicarakan secuil dampak dari semboyan SBY-Hatta tadi. Alkisah, setahun lalu. Indonesia digemparkan dengan masakan yang hambar. Hal itu dikarenakan harga cabai seperti harga permen. Seribu dapat dua. Pasti anda tidak melewatkan momen itu. Saya juga demikian. Setiap hari mendengar celoteh emak-emak membicarakan nasib dari cabai yang katanya tak semanis permen nano-nano. Ada-ada saja.

Saya sedikit iseng mencari harga cabai tahun lalu bias sangat mahal. Setelah mencari dari beberapa sumber, saya sedikit kaget karena harga cabai sudah diatur. Kenaikan paling puncak adalah ketika harga cabai mencapai 160.000 rupiah. Padahal harga normal cabai saat itu hanya 30-40 ribu rupiah. Oknum yang mengatur harga cabai tersebut berdalih tentang gagal panen mencapai 1 hektar. Dalih tersebut tidak berguna, karena pengepul dan calo beserta owner-nya telah mempersiapkan untuk kenaikan tersebut.

Jangan tanya kemana peran pemerintah waktu itu untuk mengatur harga pangan pokok. Alih-alih di media mereka berpendapat karena cuaca ekstrem. Ya, salahkan saja alam. Tapi, sadarlah! Menyalahkan alam sama halnya menyalahkan Tuhan. Saya tidak ikut-ikutan.  

Tidak hanya cabai yang mengalami kenaikan. Padi juga menjadi korban. Banyak dari petani padi waktu itu tidak menjual hasil tanamnya ke masyarakat luas. Mereka lebih memilih memakannya sendiri. Percuma juga mereka jual. Toh, mereka bakalan rugi pada akhirnya. Sedangkan masyarakat yang notabene tidak menanam padi lebih memilih menikmati hasil impor. Hal itu tidak terlalu saya khawatirkan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan kalau petani itu menerapkan sistem demokrasi. Padi dari petani, oleh petani, dan untuk petani. Seperti itu, mungkin.

Lebih mencengangkan dengan di Madura. Salah satu brand andalan Madura adalah garam. Pada tahun 2016 produksi garam mencapai 900.000-sekian ton. Angka yang luar biasa memang. Tapi, yang lebih luar biasa Indonesia masih impor garam, woy. Lalu garam di Madura tidak dapat dikonsumsi dengan dalih tidak beryodium. Saya tidak mau menyalahkan alam. Saya takut tiba-tiba ada petir yang menyambar saya waktu ngopi. Saya mau menyalahin pemerintah yang memiliki kebijakan. Sudah jelas juga dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam. Untung saja Susi Pudjiastuti sempat mau menenggelamkan para oknum yang bermain dibalik semua itu. ”Saya juga merasa kalau dibalik semua ini ada kepentingan para segelintir importir,” tambahnya. Benar tuh bu, tenggelamkan saja!

Apa jangan-jangan para petani garam juga menanamkan nilai demokrasi pada diri mereka masing-masing. Kalau memang benar, bisa jadi mereka menerapkan sistem DEMOKRASI IKAN. Garam dari laut yang banyak dihuni oleh ikan dan pada akhirnya, karena garam tidak dikonsumsi garam untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan nelayan. Wah-wah banyak ya dampak dari demokrasi.

Setelah demokrasi ikan akan lahir pesta demokrasi. Ya, namanya saja pesta. Pasti untuk bersenang-senang. Semua harus senang. Tidak ada yang boleh sedih. Berkongkalikong agar tetap senang pada akhirnya. Dengan tos minuman, tukar senyum, selfi-selfi ria, dan lain sebagainya. Jika ada iklan yang menyiarkan pesta demokrasi pasti seperti ini, ”Dari pesta, oleh pesta, dan untuk pesta.”

Semoga gelar ’Bajingan yang disayang Tuhan dan menyenangkan’ yang saya sandang tidak berpindah tangan. Semoga materi stand up comedy ini bisa membuat anda semua tertawa.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi