Oleh:
Birar
Demokrasi.
Sangat banyak sekali yang mencibirkan tentangnya. Baik dalam tulisan ataupun
dalam obrolan di warung kopi. Seperti halnya Bung Faidi yang menuliskan politik
praktis di kampusnya, Universitas Trujoyoyo. Tidak jauh berbeda dengan di Universitas
Trunojoyo Madura yang lagi ramai membicarakan ”Pesta Demokrasi,” saya mah terus terang dengan apa yang akan
saya bicarakan.
Saya bukan siapa
siapa. Saya hanya bedebah yang disayang Tuhan. Juga; bedebah yang menyenangkan.
Namun, saya ingin menyumbang suara tentang polemik di kampus yang akan berakhir
sampai kiamat tiba. Tentang demokrasi. Seperti yang saya katakan tadi, sangat banyak
yang membicarakannya. Bahkan, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menuliskan buku secara
khusus membahas demokrasi, ’Demokrasi La Roiba Fih’ judul bukunya. Dia
beranggapan demokrasi lebih tinggi dari Tuhan dan hukumNya. Peraturan yang
mengikat atas dasar demokrasi mengesampingkan hukum-hukum Tuhan. Polisi tidak
akan menilang sejoli bermalam minguan yang tidak membawa surat kawin. Tapi,
polisi akan menilang sejoli yang bermalam mingguan tanpa Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan bla-bla lainnya. Seperti
itulah Cak Nun membicarakan Demokrasi.
Lantas, perlukah
saya meniru Bung Faidi ataupun Cak Nun? Ya, jelas tidaklah. Toh, saya bukan
humas yang kerjaannya membagus-baguskan kegiatan owner-nya. Barusan saya
menuliskan ‘Demokrasi’ di kolom pencarian google. Setelah 0,46 detik mencari,
dia menemukan hasil sebesar 27.700.000. Bisa bayangkan seberapa banyak kalau
tulisan itu di cetak kemudian di bungkus menjadi tisu toilet? Aih, banyak lah pokoknya.
Saya lebih merindukan
demokrasi ala-ala SBY dan Hatta klub. Dulu, di televisi mereka berceloteh
tentang, ”Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Sekarang suara itu hanya
menjadi kenangan bagi penikmat politik seperti saya. Padahal iklan itu saya
rasa cukup greget. Ya, pasti anda juga tahu bahwa yang
mereka bicarakan tentang system yang dianut Indonesia. Bukan Tirani maupun
Monarki. Entah! Semboyan itu diterapkan dengan semestinya atau tidak. Bisa juga
semboyan itu hanya menjadi pemanis formalitas untu saat ini. Saya persilahkan
anda semua untuk mengamati. Baik di negara atau contoh aparatur negara. Baik
dari contoh terkecil sampai terbesar sekalipun. Sudah?
Syahdan,
perkenankanlah saya membicarakan secuil dampak dari semboyan SBY-Hatta tadi.
Alkisah, setahun lalu. Indonesia digemparkan dengan masakan yang hambar. Hal
itu dikarenakan harga cabai seperti harga permen. Seribu dapat dua. Pasti anda
tidak melewatkan momen itu. Saya juga demikian. Setiap hari mendengar celoteh emak-emak membicarakan nasib dari cabai yang
katanya tak semanis permen nano-nano. Ada-ada saja.
Saya sedikit iseng
mencari harga cabai tahun lalu bias sangat mahal. Setelah mencari dari beberapa
sumber, saya sedikit kaget karena harga cabai sudah diatur. Kenaikan paling
puncak adalah ketika harga cabai mencapai 160.000 rupiah. Padahal harga normal
cabai saat itu hanya 30-40 ribu rupiah. Oknum yang mengatur harga cabai
tersebut berdalih tentang gagal panen mencapai 1 hektar. Dalih tersebut tidak
berguna, karena pengepul dan calo beserta owner-nya
telah mempersiapkan untuk kenaikan tersebut.
Jangan tanya kemana
peran pemerintah waktu itu untuk mengatur harga pangan pokok. Alih-alih di
media mereka berpendapat karena cuaca ekstrem. Ya, salahkan saja alam. Tapi,
sadarlah! Menyalahkan alam sama halnya menyalahkan Tuhan. Saya tidak ikut-ikutan.
Tidak hanya cabai
yang mengalami kenaikan. Padi juga menjadi korban. Banyak dari petani padi
waktu itu tidak menjual hasil tanamnya ke masyarakat luas. Mereka lebih memilih
memakannya sendiri. Percuma juga mereka jual. Toh, mereka bakalan rugi pada
akhirnya. Sedangkan masyarakat yang notabene tidak menanam padi lebih memilih
menikmati hasil impor. Hal itu tidak terlalu saya khawatirkan. Namun, yang
lebih mengkhawatirkan kalau petani itu menerapkan sistem demokrasi. Padi dari
petani, oleh petani, dan untuk petani. Seperti itu, mungkin.
Lebih mencengangkan
dengan di Madura. Salah satu brand andalan Madura adalah garam. Pada
tahun 2016 produksi garam mencapai 900.000-sekian ton. Angka yang luar biasa
memang. Tapi, yang lebih luar biasa Indonesia masih impor garam, woy. Lalu
garam di Madura tidak dapat dikonsumsi dengan dalih tidak beryodium. Saya tidak
mau menyalahkan alam. Saya takut tiba-tiba ada petir yang menyambar saya waktu ngopi. Saya mau menyalahin
pemerintah yang memiliki kebijakan. Sudah jelas juga dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan
petambak garam. Untung saja Susi Pudjiastuti sempat mau menenggelamkan para
oknum yang bermain dibalik semua itu. ”Saya juga merasa kalau dibalik semua ini
ada kepentingan para segelintir importir,”
tambahnya. Benar tuh bu, tenggelamkan saja!
Apa jangan-jangan
para petani garam juga menanamkan nilai demokrasi pada diri mereka
masing-masing. Kalau memang benar, bisa jadi mereka menerapkan sistem DEMOKRASI
IKAN. Garam dari laut yang banyak dihuni oleh ikan
dan pada akhirnya, karena garam tidak dikonsumsi garam untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan
nelayan. Wah-wah banyak ya dampak dari demokrasi.
Setelah demokrasi
ikan akan lahir pesta demokrasi. Ya, namanya saja pesta. Pasti untuk
bersenang-senang. Semua harus senang. Tidak ada yang boleh sedih.
Berkongkalikong agar tetap senang pada akhirnya. Dengan tos minuman, tukar
senyum, selfi-selfi ria, dan lain sebagainya. Jika ada iklan yang menyiarkan
pesta demokrasi pasti seperti ini, ”Dari pesta, oleh pesta, dan untuk pesta.”
Semoga gelar
’Bajingan yang disayang Tuhan dan menyenangkan’ yang saya sandang tidak
berpindah tangan. Semoga materi stand
up comedy ini bisa membuat
anda semua tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi