Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Perempuan Ala Bangsa Lain

Minggu, 14 Januari 2018
Oleh: Faidi Ansori
Sengaja saya sajikan tema tersebut untuk saudara-saudari tentang masalah-masalah perempuan di era Pos-moderent ini. Banyak diantara kaum perempuan yang alergi tradisi dan budaya asli kebangsanya (Nusantara dan Indonesia). Produk-produk bangsa lain seperti: Amerika, israel, china, australia, korea, rusia, jerman, belanda, india, arab, dan lain-lain tidak lagi asing bagi mereka untuk di konsumsi setiap hari, halnya: Pakaian, cara hidup, perhiasan, alat komunikasi, pekerjaan, dan lain-lain.

Tradisi dan Budaya perempuan ala bangsa lain atau lebih kejamnya juga seperti bangsa barat merupakan bagian termewah di era perempuan sekarang. Gaul dan ke dinian bila lipstik, sidu, celak, bedak, kerudung, bros, celana, gaya hidup, status kelas, mobile phon, laptop, dan pekerjaan yang bisa membuat grad dirinya diatas kelas rata-rata dengan menjadikan tren dalam lingkungan sosialnya, walaupun hidupnya serba pas-pasan. Kecantikannya tidak lagi murni, tidak lagi asli, tidak lagi sederhana, semuanya serba buatan dan cekokan.

Kalau boleh saya sebut, munculnya generasai perempuan Jaman Now ini disebabkan banyak hal. Yang pertama karena banyaknya pengaruh barat dengan datangnya produk-produk terbaru yang tak muncul di negeri ini. Kedua karena tidakmengertinya akan budaya dan sejarah produk bangsa sendiri. Ketiga penghargaan terhadap hasil jerih payah akan produk bangsa sendiri sangatlah menipis dikalang bangsa ini.

Sungguh sulit lagi saya lihat perempuan Pos-moderent diperkotaan dan didesa yang jelek dan sederhana ala perempuan Indonesia aslinya, semuanya serba cantik mengkilap rupawan. Wajah, baju, dan pekerjaan tak lagi perawan, gaya hidup semuanya serba baru. Yang lama sudah terpendam. Keasliannya hilang dan dihilangkan. Lagi-lagi ini terjadi di era abad ke-21 ini.

Baju dan penghias tubuh menengenggelamkan jati diri yang sebenarnya. Pendidikan buyut dan nenek moyang tidak lagi gaul untuk masa depan diri. Gengsi memakai karya bangsa sendiri. Alergi membeli hasil produksi pribumi.

Yang terpenting juga perempuan sekarang tidak lagi mengingat apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara yang disetir oleh Sukarno dalam bukunya. Dia berkata “janganlah tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara eropa. Janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya” (Sarinah, hal: 9). Cobalah lihat perempuan sekarang, kalau bukan produksi israel, china, jerman, amerika, rusia, korea, dan lain-lain sangatlah sulit untuk dikonsumsi. Di samping itu masih belum model rambut, gaya berbaju, tempat berfoto, nonton film, dan lain-lain. Semuanya serba cara-cara luar dan konsumsi-konsumsi impor. Jadi gak perlu heran jika perempuan kita ke barat-baratan dan ala kebangsaan lain. Kalau perempuan kita tetap seperti itu. Maka mereka akan tertidur selamanya dalam banyangan indah semu, apabila diantara kita tak mau saling mengingatkannya.

Konsumsi-konsumsi tradisi dan budaya diluar negerinya menjadi wah di masa perempuan kita sekarang. Saya coba ambil contoh Drama Korea dan India. Perempuan kita menganggap produksi film buatan negara mereka tidak ada duanya, padahal tak ber-esensi untuk membentuk dan membangun jati diri bangsa Indonesia. Film sejarah seperti Angling Darma, Jaka tingkir, Wali Songo, Damar Wulan, Wiro Sableng, Jaka Tarub, Kanjeng Nyiroro Kidul, Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, Sukarno, Guru Bangsa, dan lainnya, tidaklah sejaman dan tak keren katanya. Yang menceritakan sejarah dan roman bangsa kita dikatakan hanyalan dongeng masa lalu, padahal film-film itu sungguh ternilai drama dan sastra tinggi yang tak dimiliki oleh bangsa kulit putih dan yang bermata sipit.

Di sela-sela kegelisahan, saya juga amati teman-teman dikampus, justru banyak diantara mereka lebih bangga membicarakan Yun Yong Hwa, Song Seung Hun, Lele Donghae, Jang Geun Suk, Song Jonong Ki, Kim Bum, Kim Jaejoong, lee Seung Gi, Taecyeon, Lee Min Ho, dari pada manusia yang berkalibel agung, ditakuti dan gagah berani menyongsong masadepan bangsa ini, seperti: Arya Kamandanu, Sakawuni, Arya Wiraraja, Dewi Sambi, Sito Gendeng/Sito Geni, Siliwangi, Ki Buyut Mangun Tapa, Gajah Mada, R. Wijaya, Joko Tole, Jaka Tarub, Jaka Tingkir, Sunan kalijaga, Siti Jenar, Trunojoyo, Hang Tuah, Pangeran Sentot Ali Basya, Patih Unus, Kek Lesap, Raden Fatah, Pengeran Diponegoro, Tjokroaminoto, dan orang-orang hebat lainnya. Namun sengguh mirisnya dalam hati yang paling dalam ini, mereka malah membantah saat saya ajak untuk membaca sejarah bangsa kita yang ternilai itu walaupun gak hafal nama-nama, kelahiran, dan asalnya tokoh-tokoh itu.

Perempuan saat ini sudahlah terkonfrontasi dengan gaya-gaya yang gak jelas manfaatnya. Penampilah film dan drama seperti Korea dan India itu cukup membosankan bagi saya. Penglihatan saya atas realitas mereka didalam film atau drama adalah hal yang utopia. Kejadian percintaan ala Korea tidak seperti wajah aslinya. Mereka pintar menghipnotis peremuan-perempuan kita dengan hayalan-hayalan yang tak terjadi di alam kenyataan. Kaum perempuan kita malah terbawa arus gelombang yang tak senada dengan angin yang ada pada aslinya. Pergaulan bebas disana cukup tercantum jelas dalam data ril Internet, tinggal kita brosing sendiri di embah google. Meraka ‘masuk tingkat berapa pemain sex bebas dan penyalahgunaan alat kelamin?’. Namun dalam drama-drama mereka dipertunjukkan hanya dengan adegan ‘ciuman mesra’. Itu sangat konyol dan benar-benar kebohongan yang dibuat-buat. Marilah kita lihat dengan batin juga dan jangan hanya yang tampak di layar laptop atau Televisi. Cobalah kita amati di arah depan, belakang, dan di samping kita bangsa Indonesia, wajah yang nyata ini. Apakah kita sefulgar itu menampakkan pantat diruang-ruang masyarakat kita. Saya kira pembaca berakal bisa menilai tanpa harus di perintah. Saya yakin bahwa kalian manusia paling aneh yang diciptakan tuhan dimuka bumi ini tanpa harus berlaku sama dengan manusia utopia itu. Jika kalian tersinggung karena saya mengatakan demikian berarti kalian manusia Indonesia yang tetap berjiwa Indonesia. Namun jika kalian benar-benar tersinggung dengan apa yang saya katakan, saya harap kalian berubah tanpa harus bertopeng-topeng lagi mulai dari sekarang. Lagu-lagu, sastra, drama, syair-syair, kata-kata, pakian, gaya tubuh, gincu, dan segala budaya serta tradisi yang menempel pada diri kalian dan itu bukan milik kalian akan pengaruh bangsa lain ataupun bangsa barat, silahkan lepaskan dan mandilah besar untuk mensucikan diri dari bau dan kotoran-kotoran menjijik.

Kemajuan-kemajuan mereka memang saya ajukan 10 jari. Namun kemajuan mereka menyebabkan keambiguan pada diri dan bangsa mereka sendiri, halnya contoh didalam drama buatannya yang tidak dapat mereka lakukan didalam keseharian mereka secara umum. Tapi seribu kali sayang, perempuan kita yang terbiasa dengan tradisi bangsa ini malah tercengang, terkejut akan wajah tampak yang baru mereka buat. Kita membayangkan “Kenapa mereka seromantis itu dan sekeren itu dalam dramanya”, demikian isi otan anak perempuan zaman kita dalam pemikirannya, padahal jika mereka berfikir dan adu tanding soal-soal romantisme, saya masih punya keyakinan kuat, bahwa kitalah yang akan menang. Namun perempuan kita tak sampai pada nalar yang terjadi sebenarnya. Sunggung kasihan perempuan-perempuan kita. Mereka di nenabobokkan oleh kepalsuan buatan.

Dari pemaparan diatas sekalipun sedikit yang saya singgung soal perempuan Korea dan India, dan kejadian perempuannya, semoga dapatlah kita mengerti keadaan mereka yang sebenar-benarnya dan kita tak terjebak lagi olehnya.

Sekarang perlu kiranya saya mencibirkan permasalahan perempuan-perempuan kita ketika mendengar lahirnya istilah Feminisme dan Neofeminisme di eropa. Dari lahirnya teori itu, kita perempuan-perempuan Indonesia tidak lagi mengenal nama Sarinah, Ra. Kartini (penulis), Encik Ratna Sari, Sri Lanang seorang (penulis buku sejarah melayu) dan perempuan-perempuan hebat lain di Indonesia. Lagi-lagi kita banyak mencaplok ilmu-ilmu dan kebiasaan bangsa barat yang tidak beradap itu. Coba kita fahami bunyi kata-kata Bung Karno yang saya kutib lagi di dalam bukunya “tahukan tuan, bahwa kaum perempuan Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil feminisme atau neo-feminisme itu?” (Sarinah, hal: 8), dan perkataan Henriette Roland Holst “feminisme atau neo-feminisme tak mampu menutup “scheur” (retak) yang meretakkan peri kehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh” (Sarinah, hal: 8). Cukup jelas saya kira dawuh mereka tentang masalah perempuan eropa. Perempuan eropa tak hanya menginginkan kesamaraatan hak. Namun mereka ingin sama dalam segala halnya, meliputi berpakaian, cara hidup, pekerjaan, dan bertingkahlaku. Semuanya milik mereka sudah di perkosa dan kita perempuan Indonesia masihlah tetap pada kebiasaan itu yang sudah saharusnya basi di era moderen. Marilah kita sadari bahwa kita tidak seharusnya seperti mereka yang menginginkan untuk sama rata dalam segala halnya dengan kaum laki-laki. Jadilah kalian sebagaimana perempuan Indonesia dan hakikat perempuan pada kodratnya. Kasihanilah orang tua, adik, dan anak kalian. Janganlah dikesampingkan hanya karena persoalan perut, perhiasan, pakaian, dan pekerjaan. Orang tua kalian butuh asuhan diwaktu tuanya. Anak-anak kalian jangan di lantarkan dan di asuh kepanti asuhan, juga terhadap saudara-saudari kalian. Kalian bertanggung jawab dengan semua itu. Kalian perempuan dan sewajarnya berkarakter keperempuanan. Laki-laki punya kewajiban untuk menafkahi kalian.

Diera Pos-moderen ini sangat disayangkan banyak perempuan kita yang terbawa arus cara eropa itu. Banyak perempuan-perempuan kita meninggalkan kebiasaan nenek moyang yang perlu dilestarikan sampai sekarang walaupun menginofasi dengan gaya baru. Namun mereka di sibukan dengan cara dan teori baru yang menjauhkan diri mereka daripada produksi dan keindahan yang hakiki. Marilah kita sadarkan mereka dari keterpurukan dan biusan kaum hidones dengan cara-cara dan teori asli dari bangsa kita sendiri (Indonesia).

Panjang lebar saya berkata sedimikan jelimet mulai dari atas bukan bermaksud untuk keperluan pribadi, tapi juga untuk kebaikan perempuan dan kita secara umum. Karena saya menganggap perempuan merupakan tiangnya negeri, demikian yang saya kutib sepenggal dari bunyi debhu Nabi Muhammad Saw. Karena juga perempuan merupakan bagian penting dari masyarakat dan perempuan adalah masyarakat. Apabila kaum perempuan tidak lagi mengurus masyarakat dan negari, bagaimana kemajuan suatu negari itu di dapat dan tercapai. Saya menjelaskan itu bukan bermaksud untuk merendahkan derajat kaum perempuan, namun sebaliknya karena saya sangat mencintainya. Bukan maksud kaum perempuan kita tidak boleh berdandan, berhias, dan bekerja. Tetapi cocokanlah sesuatau pada kodratnya, pada takaran, pada tingkat, dan pada batasnya, dan janganlah berlebih-lebihan seperti tradisi dan budaya bangsa eropa. Tetaplah menjadi manusia Indonesia dengan kekayaan akal, budi nuraninya. “Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijaksana”, demikian ucap Bung John Seeley yang tersohor. Kita mempelajari realitas untuk bijaksana. Apapun yang kita dapat dari bangsa lain perlulah kita saring untuk kebaikan kita.

Demikianlah coretan kata-kata ini yang sangat sederhana. Saya minta maaf jika terlalu menyinggung para pembaca terutama bagi kaum perempuan. Kalian berhak berkomentar, mengkritisi dengan cara konstrutif untuk menyempurnakan coretan gak jelas ini.

Dari saya “salam cinta”
“cara  dan teori kita adalah cara dan teori beradab. Ketidakberadaban kita karena ketidakmengertian kita pada cara dan teori itu”
(Kak Bung)

Hadanallah Weiyyakum Wassalamu Alaikum Warah Matullahi Wabarokatuh

2 komentar:

  1. Bedanya Eropa dan barat itu apa bung?
    hehehehe

    BalasHapus
  2. Silahkan dibaca lagi> Terimakasih Bung Rohman dan Bung Yongki atas kritikan krontruksinya.

    BalasHapus

Silahkan kolom komentar diisi