Oleh:
Faidi Ansori
Sengaja
saya sajikan tema tersebut untuk saudara-saudari tentang masalah-masalah
perempuan di era Pos-moderent ini. Banyak diantara kaum perempuan yang alergi
tradisi dan budaya asli kebangsanya (Nusantara dan Indonesia). Produk-produk
bangsa lain seperti: Amerika, israel, china, australia, korea, rusia, jerman,
belanda, india, arab, dan lain-lain tidak lagi asing bagi mereka untuk di konsumsi
setiap hari, halnya: Pakaian, cara hidup, perhiasan, alat komunikasi,
pekerjaan, dan lain-lain.
Tradisi
dan Budaya perempuan ala bangsa lain atau lebih kejamnya juga seperti bangsa
barat merupakan bagian termewah di era perempuan sekarang. Gaul dan ke dinian
bila lipstik, sidu, celak, bedak, kerudung, bros, celana, gaya hidup, status
kelas, mobile phon, laptop, dan pekerjaan yang bisa membuat grad dirinya diatas kelas rata-rata
dengan menjadikan tren dalam lingkungan sosialnya, walaupun hidupnya serba
pas-pasan. Kecantikannya tidak lagi murni, tidak lagi asli, tidak lagi
sederhana, semuanya serba buatan dan cekokan.
Kalau
boleh saya sebut, munculnya generasai perempuan Jaman Now ini disebabkan banyak hal. Yang pertama karena banyaknya
pengaruh barat dengan datangnya produk-produk terbaru yang tak muncul di negeri
ini. Kedua karena tidakmengertinya akan budaya dan sejarah produk bangsa
sendiri. Ketiga penghargaan terhadap hasil jerih payah akan produk bangsa
sendiri sangatlah menipis dikalang bangsa ini.
Sungguh
sulit lagi saya lihat perempuan Pos-moderent diperkotaan dan didesa yang jelek
dan sederhana ala perempuan Indonesia aslinya, semuanya serba cantik mengkilap
rupawan. Wajah, baju, dan pekerjaan tak lagi perawan, gaya hidup semuanya serba
baru. Yang lama sudah terpendam. Keasliannya hilang dan dihilangkan. Lagi-lagi
ini terjadi di era abad ke-21 ini.
Baju
dan penghias tubuh menengenggelamkan jati diri yang sebenarnya. Pendidikan
buyut dan nenek moyang tidak lagi gaul untuk masa depan diri. Gengsi memakai
karya bangsa sendiri. Alergi membeli hasil produksi pribumi.
Yang
terpenting juga perempuan sekarang tidak lagi mengingat apa yang dikatakan oleh
Ki Hajar Dewantara yang disetir oleh Sukarno dalam bukunya. Dia berkata “janganlah
tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara eropa. Janganlah juga terikat oleh
rasa konservatif atau rasa sempit, tapi cocokkanlah semua barang dengan
kodratnya” (Sarinah, hal: 9). Cobalah lihat perempuan sekarang, kalau bukan
produksi israel, china, jerman, amerika, rusia, korea, dan lain-lain sangatlah sulit
untuk dikonsumsi. Di samping itu masih belum model rambut, gaya berbaju, tempat
berfoto, nonton film, dan lain-lain. Semuanya serba cara-cara luar dan
konsumsi-konsumsi impor. Jadi gak perlu heran jika perempuan kita ke barat-baratan
dan ala kebangsaan lain. Kalau perempuan kita tetap seperti itu. Maka mereka
akan tertidur selamanya dalam banyangan indah semu, apabila diantara kita tak
mau saling mengingatkannya.
Konsumsi-konsumsi
tradisi dan budaya diluar negerinya menjadi wah di masa perempuan kita sekarang.
Saya coba ambil contoh Drama Korea dan India. Perempuan kita menganggap
produksi film buatan negara mereka tidak ada duanya, padahal tak ber-esensi
untuk membentuk dan membangun jati diri bangsa Indonesia. Film sejarah seperti
Angling Darma, Jaka tingkir, Wali Songo, Damar Wulan, Wiro Sableng, Jaka Tarub,
Kanjeng Nyiroro Kidul, Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, Sukarno, Guru
Bangsa, dan lainnya, tidaklah sejaman dan tak keren katanya. Yang menceritakan
sejarah dan roman bangsa kita dikatakan hanyalan dongeng masa lalu, padahal
film-film itu sungguh ternilai drama dan sastra tinggi yang tak dimiliki oleh
bangsa kulit putih dan yang bermata sipit.
Di
sela-sela kegelisahan, saya juga amati teman-teman dikampus, justru banyak
diantara mereka lebih bangga membicarakan Yun Yong Hwa, Song Seung Hun, Lele
Donghae, Jang Geun Suk, Song Jonong Ki, Kim Bum, Kim Jaejoong, lee Seung Gi,
Taecyeon, Lee Min Ho, dari pada manusia yang berkalibel agung, ditakuti dan
gagah berani menyongsong masadepan bangsa ini, seperti: Arya Kamandanu,
Sakawuni, Arya Wiraraja, Dewi Sambi, Sito Gendeng/Sito Geni, Siliwangi, Ki
Buyut Mangun Tapa, Gajah Mada, R. Wijaya, Joko Tole, Jaka Tarub, Jaka Tingkir,
Sunan kalijaga, Siti Jenar, Trunojoyo, Hang Tuah, Pangeran Sentot Ali Basya,
Patih Unus, Kek Lesap, Raden Fatah, Pengeran Diponegoro, Tjokroaminoto, dan
orang-orang hebat lainnya. Namun sengguh mirisnya dalam hati yang paling dalam
ini, mereka malah membantah saat saya ajak untuk membaca sejarah bangsa kita
yang ternilai itu walaupun gak hafal nama-nama, kelahiran, dan asalnya
tokoh-tokoh itu.
Perempuan
saat ini sudahlah terkonfrontasi dengan gaya-gaya yang gak jelas manfaatnya.
Penampilah film dan drama seperti Korea dan India itu cukup membosankan bagi
saya. Penglihatan saya atas realitas mereka didalam film atau drama adalah hal
yang utopia. Kejadian percintaan ala Korea tidak seperti wajah aslinya. Mereka
pintar menghipnotis peremuan-perempuan kita dengan hayalan-hayalan yang tak
terjadi di alam kenyataan. Kaum perempuan kita malah terbawa arus gelombang
yang tak senada dengan angin yang ada pada aslinya. Pergaulan bebas disana
cukup tercantum jelas dalam data ril Internet, tinggal kita brosing sendiri di embah google. Meraka ‘masuk tingkat berapa pemain sex bebas dan
penyalahgunaan alat kelamin?’. Namun dalam drama-drama mereka dipertunjukkan
hanya dengan adegan ‘ciuman mesra’. Itu
sangat konyol dan benar-benar kebohongan yang dibuat-buat. Marilah kita lihat
dengan batin juga dan jangan hanya yang tampak di layar laptop atau Televisi.
Cobalah kita amati di arah depan, belakang, dan di samping kita bangsa
Indonesia, wajah yang nyata ini. Apakah kita sefulgar itu menampakkan pantat
diruang-ruang masyarakat kita. Saya kira pembaca berakal bisa menilai tanpa
harus di perintah. Saya yakin bahwa kalian manusia paling aneh yang diciptakan
tuhan dimuka bumi ini tanpa harus berlaku sama dengan manusia utopia itu. Jika
kalian tersinggung karena saya mengatakan demikian berarti kalian manusia
Indonesia yang tetap berjiwa Indonesia. Namun jika kalian benar-benar tersinggung
dengan apa yang saya katakan, saya harap kalian berubah tanpa harus
bertopeng-topeng lagi mulai dari sekarang. Lagu-lagu, sastra, drama, syair-syair,
kata-kata, pakian, gaya tubuh, gincu, dan segala budaya serta tradisi yang
menempel pada diri kalian dan itu bukan milik kalian akan pengaruh bangsa lain
ataupun bangsa barat, silahkan lepaskan dan mandilah besar untuk mensucikan diri
dari bau dan kotoran-kotoran menjijik.
Kemajuan-kemajuan
mereka memang saya ajukan 10 jari. Namun kemajuan mereka menyebabkan keambiguan
pada diri dan bangsa mereka sendiri, halnya contoh didalam drama buatannya yang
tidak dapat mereka lakukan didalam keseharian mereka secara umum. Tapi seribu kali
sayang, perempuan kita yang terbiasa dengan tradisi bangsa ini malah
tercengang, terkejut akan wajah tampak yang baru mereka buat. Kita membayangkan
“Kenapa mereka seromantis itu dan sekeren itu dalam dramanya”, demikian isi
otan anak perempuan zaman kita dalam pemikirannya, padahal jika mereka berfikir
dan adu tanding soal-soal romantisme, saya masih punya keyakinan kuat, bahwa
kitalah yang akan menang. Namun perempuan kita tak sampai pada nalar yang
terjadi sebenarnya. Sunggung kasihan perempuan-perempuan kita. Mereka di nenabobokkan
oleh kepalsuan buatan.
Dari
pemaparan diatas sekalipun sedikit yang saya singgung soal perempuan Korea dan
India, dan kejadian perempuannya, semoga dapatlah kita mengerti keadaan mereka
yang sebenar-benarnya dan kita tak terjebak lagi olehnya.
Sekarang
perlu kiranya saya mencibirkan permasalahan perempuan-perempuan kita ketika
mendengar lahirnya istilah Feminisme dan Neofeminisme di eropa. Dari lahirnya
teori itu, kita perempuan-perempuan Indonesia tidak lagi mengenal nama Sarinah,
Ra. Kartini (penulis), Encik Ratna Sari, Sri Lanang seorang (penulis buku
sejarah melayu) dan perempuan-perempuan hebat lain di Indonesia. Lagi-lagi kita
banyak mencaplok ilmu-ilmu dan kebiasaan bangsa barat yang tidak beradap itu.
Coba kita fahami bunyi kata-kata Bung Karno yang saya kutib lagi di dalam bukunya
“tahukan tuan, bahwa kaum perempuan Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil
feminisme atau neo-feminisme itu?” (Sarinah, hal: 8), dan perkataan Henriette
Roland Holst “feminisme atau neo-feminisme tak mampu menutup “scheur” (retak)
yang meretakkan peri kehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan
itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh”
(Sarinah, hal: 8). Cukup jelas saya kira dawuh
mereka tentang masalah perempuan eropa. Perempuan eropa tak hanya menginginkan
kesamaraatan hak. Namun mereka ingin sama dalam segala halnya, meliputi
berpakaian, cara hidup, pekerjaan, dan bertingkahlaku. Semuanya milik mereka
sudah di perkosa dan kita perempuan Indonesia masihlah tetap pada kebiasaan itu
yang sudah saharusnya basi di era moderen. Marilah kita sadari bahwa kita tidak
seharusnya seperti mereka yang menginginkan untuk sama rata dalam segala halnya
dengan kaum laki-laki. Jadilah kalian sebagaimana perempuan Indonesia dan hakikat
perempuan pada kodratnya. Kasihanilah orang tua, adik, dan anak kalian.
Janganlah dikesampingkan hanya karena persoalan perut, perhiasan, pakaian, dan
pekerjaan. Orang tua kalian butuh asuhan diwaktu tuanya. Anak-anak kalian
jangan di lantarkan dan di asuh kepanti asuhan, juga terhadap saudara-saudari
kalian. Kalian bertanggung jawab dengan semua itu. Kalian perempuan dan
sewajarnya berkarakter keperempuanan. Laki-laki punya kewajiban untuk menafkahi
kalian.
Diera
Pos-moderen ini sangat disayangkan banyak perempuan kita yang terbawa arus cara
eropa itu. Banyak perempuan-perempuan kita meninggalkan kebiasaan nenek moyang
yang perlu dilestarikan sampai sekarang walaupun menginofasi dengan gaya baru.
Namun mereka di sibukan dengan cara dan teori baru yang menjauhkan diri mereka
daripada produksi dan keindahan yang hakiki. Marilah kita sadarkan mereka dari
keterpurukan dan biusan kaum hidones dengan cara-cara dan teori asli dari bangsa
kita sendiri (Indonesia).
Panjang
lebar saya berkata sedimikan jelimet mulai
dari atas bukan bermaksud untuk keperluan pribadi, tapi juga untuk kebaikan
perempuan dan kita secara umum. Karena saya menganggap perempuan merupakan
tiangnya negeri, demikian yang saya kutib sepenggal dari bunyi debhu Nabi Muhammad Saw. Karena juga
perempuan merupakan bagian penting dari masyarakat dan perempuan adalah
masyarakat. Apabila kaum perempuan tidak lagi mengurus masyarakat dan negari, bagaimana
kemajuan suatu negari itu di dapat dan tercapai. Saya menjelaskan itu bukan
bermaksud untuk merendahkan derajat kaum perempuan, namun sebaliknya karena
saya sangat mencintainya. Bukan maksud kaum perempuan kita tidak boleh berdandan,
berhias, dan bekerja. Tetapi cocokanlah sesuatau pada kodratnya, pada takaran,
pada tingkat, dan pada batasnya, dan janganlah berlebih-lebihan seperti tradisi
dan budaya bangsa eropa. Tetaplah menjadi manusia Indonesia dengan kekayaan
akal, budi nuraninya. “Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijaksana”,
demikian ucap Bung John Seeley yang tersohor. Kita mempelajari realitas untuk
bijaksana. Apapun yang kita dapat dari bangsa lain perlulah kita saring untuk
kebaikan kita.
Demikianlah
coretan kata-kata ini yang sangat sederhana. Saya minta maaf jika terlalu
menyinggung para pembaca terutama bagi kaum perempuan. Kalian berhak
berkomentar, mengkritisi dengan cara konstrutif untuk menyempurnakan coretan
gak jelas ini.
Dari saya “salam cinta”
“cara dan teori kita
adalah cara dan teori beradab. Ketidakberadaban kita karena ketidakmengertian
kita pada cara dan teori itu”
(Kak Bung)
Hadanallah Weiyyakum Wassalamu Alaikum Warah Matullahi
Wabarokatuh
Bedanya Eropa dan barat itu apa bung?
BalasHapushehehehe
Silahkan dibaca lagi> Terimakasih Bung Rohman dan Bung Yongki atas kritikan krontruksinya.
BalasHapus