Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Yang Tak Diduga

Senin, 09 Juli 2018


Oleh: Faidi Ansori
Elisa Nur Indara Yatni adalah nama yang kukenal sembilan hari lalu. Aku dua kali bertemu dengannya. Pertemuan itu hanya sebagaimana wajarnya, hanya pada tatapan muka yang tak disangka. Pertemuan kedua, aku sempat menaruh hati pada wajah kecantikannya, pada sajak-sajaknya yang halus. Dari pertemuan itu aku sempat saling chatting-an selama seumur sembilan hari lamanya, dan diantara kita tidak lebih daripada itu. Aku mengakui kesopanan si Elisa. Aku mengenal namanya sejak pertemuan kedua pembubaran panitia Haflatul Imtihan di pondok pesantren Al-Mukhsinin, pondok pesantren ternama di Kabupaten Ronggo Sukma. Dia perempuan puitis, sedangkanku selalu formal pada tata bahasa ilmiah, seperti buku-buku gerakan kiri, filsafat, sejarah, dan aliran-aliran pemikiran liar dibelahan dunia.

Pada pertemuan kedua aku sempat meminta nomor WhatsApp-nya. Setelah pertemuan itu, setiap malam aku selalu nge-chat dia, dan dia selalu membalas chatting-anku. Setiap malam pula dia menuangkan rasa kekagumannya padaku melaui sajak-sajaknya yang teratur. Dari awal aku memang mencintai Elisa. Namun, pada malam ke sebelas setelah aku betul-betul merasakan getaran cinta didalam hati yang kutulis pada kertas spesial berwarna putih, maka ketika malam itu pula datanglah jawaban yang sangat melukai lubuk hatiku yang paling dalam. Kutulis pada kertas yang berhalaman dua belas tentang apa yang sebebanarnya kucita-citakan untuk meraihnya, dan dihalaman terakhir diparagraf kedua aku tulis untuk Elisa

“Elisa kamu adalah rembulanku. Aku mencintamu. Semoga kata-kataku tak menyakitimu. Elisa, kamu adalah rembulanku diwaktu malam. Kamu puisiku, sajakku, dan kitabku. Aku sungguh menyayangimu. Hatimu sutra. Wajahmu rembulan. Ucapmu puisi. Apakah kamu tak berat hati jika menerima rasa cintaku yang tumbuh mekar didalam hati,” tulisku pada kertas spesial itu.

Itulah kalimat-kalimat yang kuharapkan padanya. Setelah dia membaca sampai selesai tulisanku, kemudian perlahan dia membalas dengan penuh kehati-hatian agar aku tidak sakit hati pada bait sajak-sajaknya yang ditujukan padaku. Tapi sebagaimana perasaan seorang lelaki sepertiku, serumuit apapun kata-kata perempuan kalau sudah soal hati maka aku akan memahaminya, karena tulisanku tidak akan pernah berbohong, dan persaan orang pun yang pernah dikatakan padaku juga tidak pernah bohong. Dia membalasnya.

“Aslinya, aku sudah paham maksud yang sebenarnya dari mas Aggara katakan, tapi aku menutupinya dan pura-pura tidak tahu,” balasnya ringan.

Itulah balasan awal yang dia tuliskan, namun yang paling berat menahan tangis hatiku ketika dia meneruskan maksud yang sebenarnya akan tulisannya.

Maaf mas, mas Anggara sudah terlambat datang saat ini. Waktunya sudah tidak tepat. Beberapa hari yang lalu aku sudah dilamar seorang yang kukenal satu bulan setengah sebelumnya. Dengan alasan itulah, inilah jawaban atas surat-surat mas Anggara,” tambahnya dan tentu jawaban atas harapanku.

Saat ini aku sedang duduk bersila sambari khusyuk membaca balasan demi balasan darinya. Kekhusyuanku akan membaca tulisannya membawaku pada alam kegelapan. Terangnya lampu tidur terasa tak membawakan sinar.

Setelah aku tahu jawaban darinya aku bergegas tidur agar bayangan tulisannya tak lagi mengahantui malamku. Namun, entah kenapa dibatas tidurku sebelum membuka mata, wajah dia muncul dialam mimpi. Aku tak sanggup melihat wajahnya karena disampingnya, dia sedang memegang erat tangan lelaki lain. Saat aku tercengan melihat perlakuan dua anak itu barulah aku terbangun. “Ya Allah, hapuslah kenangan tulisanku padannya dan tulisannya yang pernah ditulis untukku!” seruku pada Tuhan agar kenangan tentang Elisa hilang di ruang perasaan hatiku.

Kejadian malam itu membuat hariku terganggu, bahkan sampai sholat pun kata-katanya menghantui. 
“Ya Alllah kenapa aku seperti ini?” pengaduanku kepadaNya.

Setelah hari demi hari bayangnya masih terselip dalam ingatanku, aku berinisiatif agar berangkat berlibur ke kota Tuban dimana disanalah aku bisa bertemu dengan kawan-kawan sastra di Universitas Sumbari. Mungkin, kawan-kawanku disana dapat membantu menghilangkan kegalauanku pada soal apapun tentang Elisa.

Mentari sudah menampakkan wajahnya. Aku bergegas mempersiapkan peralatan liburan ke Universitas Sumbari untuk bertemu dengan kawan Rudi, Ozi, dan Ria. Setelah peralatanku sudah siap, aku berpamitan kepada kedua orang tua. Orang tua pun mengijinkanku pergi. Aku berangkat sekitar pukul 13:50 Wib, namun ketika aku berangkat di pertengahan perjalanan, wajah Elisa menggagu perjalannanku sampai-ampai aku mau menabrak mobil. “Astagfirullah, selamatkan perjalananku ya Allah,sehingga aku bisa bertemu dengan kawan-kawanku di Universtas Sumbari, dan hapuskan igatanku tentang Elisa,” Pintaku pada Tuhan.

Perjalanan itu aku sebut nama Allah terus menerus, dan Alhamdulillah setelah itu perjalananku tak mendapatkan rintangan sedikitpun sehingga aku sampai ke alun-alun kota Tuban sekitar pukul 16:37 Wib. Setelah sampai disana aku cek tiga teman sejoliku namun, yang masih aktif hanya si Rudi. Aku telefon dia “Assalamualaikum Rud? Kamu ada dimana?” tanyaku padanya.

“Walaikumsalam, maaf ini dengan siapa ya? Tanya Rudi.

Namun Rudi tak mengenali suaraku, mungkin karena sudah lama aku tidak menghubunginya.

“Ini aku Rud, Aggara teman pondokmu, masak sudah lupa?” terangku padanya.

“Ooo, iya aku ingat, Aggara kan?” sahutnya

“Ya Rud, ini aku,” jawabku.

Rudi adalah kawan sejawatku saat kita mondok di pondok pesantren Al-hamedy Sampang, Madura. Rudi kawan diskusiku di pondok, dia berasal dari Jombang atau yang lebih dikenal dengan kota santri. Pemikirannya kadang agak nyeleneh, kadang juga serius. Itu mungkin karena bawaan tradisinya sebagaimana aku juga melihat Cak Nun seorang yang punya banyak gelar oleh para jamahnya dan tokoh besar ilmuan, cendikiawan, dan lain-lain. Ketika melihat Rudi maka aku langsung teringat dengan sosok Cak Nun. Itulah pandanganku tentang dia.

Di pinggir jalan raya alun-alun kota Jombang terik matahari amat teramat menggagu istirahatku, sedang Rudi masih asyik bertanya tentang kabarku di Madura, sehingga aku lupa bahwa aku ingin bermain kesana dengan Ozi dan Ria untuk menghilangkan kegelauanku soal Elisa. Aku sudah lama istirahat di alun-alun kota Jombang dan rasanya aku capek waktu itu. Aku dan Rudi masih tetap berkomunikasi, akhirnya kupotong pembicaraannya.

“Rud aku mau ke kamu. Aku sekarang sedang berlibur ingin bertemu denganmu Ozi dan Ria, bolehkan aku kesana, ya sambil-sambil aku mau bermain ke Universitas Sumbari,” rayuku.

“Ooo, ya Ang, nggak apa-apa, kamu sekarang ada dimana?” tanyanya.

“Aku ada dipinggir jalan raya alun-alun kota Jombang sebelah kiri. Aku ada di dekat penjual pentol. Bolehkah aku minta tolong dijemput kesini,” pintaku.

“Ooo ya, kok ngak ngasih tahu dari tadi Ang. Ya aku berangkat sekarang,” pungkasnya.

Aku menunggunya sekitar 15 menit, setelah 15 menit kemudian Rudi datang. Dia tampak kurus, mungkin dia sering berpuasa. Aku sapa dia dari jarak 15 meter “Rud, Rudi aku disini Rud” teriakku dari jarak kejauhan, ternyata telinga Rudi cukup menangkap dan mengenal suaraku lalu dia menyahut “Ooo, ya kawan. Oke tunggu,” sahutnya dari jarak kejauhan.

Setelah Rudi sampai lalu kita bersalaman. 5 menit kita berbincang-bincang di pinggir alun-alun kota itu. Rudi kemudian mengajakku agar kekosannya. Sesampai dikosan Rudi aku disuruh olehnya agar mandi terlebih dahulu, setelah itu aku disuruh istirahat, sebab dia tahu bahwa perjalananku cukup jauh dari Madura ke Jombang. Kamar kosan Rudi luman bagus suasanya. kamarnya terlihat kelihatan bahwa dia anak sastra. Setiap dinding banyak kata-kata sastra yang sulit aku tangkap maksud filosofinya. Untuk mengantarkan rasa ngantuk, aku biasanya harus dengan membaca buku menimal tiga belas lembar. Namun saat ini ditasku memang ada buku, tapi rasanya malas, soalnya buku yang aku bawa masih berbau sejarah yang mana harus teliti dan harus hafal pada tanggal, bulan, tahun, dan tempat. Membukanya rasanya malas. Tulisan didinding aku kira cukup untuk bisa membuatku tidur. Setelah lama sekirat 10 menit aku baca karya sastra temanku dari dinding bersegi embat, aku mulai membacanya dari sebelah barat, dan ketika aku sampai diseperapat dinding sebelah selatan rasa ngantukku sudah terasa. Sebelum semua tulisan di dinding sebelah selatan selasai, barulah saat itu aku tertidur. Tidurku cukup lama. Tidak terasa kecapekan membuatku lama untuk bangun. Sekitar 3 jam aku tidur hanya bersama bantal guling. Aku dibangunkan oleh Rudi.

“Ang, Aggara, Aggara, bagun Ang. Ayok ikut aku,” ucap dia sambil mengutik-utik kakiku. Aku pun terbagun lalu aku tanyakan padanya “Mau kemana?” tanyaku sambil memperbaiki rambutkut yang tak beraturan.

“Ikut aku ke warung kopi depan kampus Sumbari sambil menikmati malam bersama kopi dan diskusi,” terangnya.

“Kalau begitu aku mandi dulu Rud,” jawabku padanya. “Jangan lama-lama ya,” balasnya.

Aku mandi sekitar 10 menit, setelah selesai, aku memakai pakaianku lalu Rudi memanggilku yang sedang menunggu depan teras kos.

“Ang, Anggara, ayo cepat,” ucapnya dari luar teras. “Oke. Ayo berangkat aku sudah selesai,” sahutku.

Kita berangkat. Antara kosan Rudi ke warung kopi depan kampus Sumbari lumayan dekat, tidak sampai satu kilo. Diperjalan, aku teringat dengan wajah Elisa. Ingatan itu mulai muncul tentang kata-kata terakhirnya, namun entah kenapa mulutku dengan spontan mulai berbicara kepada Rudi.

“Rud, aku kesini punya dua tujuan,” kataku pada Rudi.

“Apa itu Ang?” Tanya dia dengan lirih.

Pertama, aku ingin liburan dan bertemu denganmu, Ozi dan Ria juga ingin tahu Universitas. Kedua, aku ingin melepaskan kegalauanku akan rasa cintaku kepada seorang perempuan yang kukenal sembilan hari yang lalu,” terangku pada Rudi. Rudi kemudian tertawa akan penjelasan itu soal rasa kegalawanku tentang perempuan.

“Hahaha, ya nanti saja kalau mau curhat. Kalau kita ada di warung kopi entar kita bicarakan soal perempuan itu,” jelasnya sambil tertawa lebar.

Rudi nampak paham akan masalahku, lalu dia memotong dan kita sudah sampai di warung kopi yang dimaksudkan Rudi.

“Ang, kita sudah sampai. Ini warung kopi yang kusukai. Disinilah aku belajar banyak ilmu, bahkan lebih banyak daripada yang aku dapat di rung-ruang kelas kuliah. Disini juga aku dapat pujaan hati,” katanya sambil menerangkan dengan penuh keseriusan.

Aku terkesan dengan apa yang dijelaskan oleh Rudi. Aku melihat kanan kiri, depan belakang. Tujuan mataku hanya untuk mencari tahu apa nama warung itu, ternya nama warung itu tertempel ditembok sebelah timur pada banner berwarna putih. Nama warung itu adalah Ma’de Kafe. Rudi sudah duduk dikursi panjang berwarna merah, sedangkanku masih berdiri, Rudi menyuruhku “Ang, pesan dulu kopinya, aku juga, entar kalau sudah, kamu boleh curhat soal yang tadi,” suruhnya padaku. Aku hanya menganggguk. Aku pesan dua kopi hitam bubuk sesuai permintaannya. Setelah kopi itu datang barulah Rudi mempersilahkanku untuk curhat.

“Kamu boleh sekarang menceritakan semuanya tetang masalahmu, namun saranku terlebih dahulu seruputlah kopinya dan ambillah sebatang rokok Suryaku, baru setelah itu kamu boleh curhat tentang perempuan yang kamu maksudkan,” tuturnya dengan penuh santai.

Aku malu untuk mengatakan semua yang pernah terjadi saat aku pernah kenal dengan Elisa, namun entah kenapa mulutku tak bisa menahan akan rasa sakitku yang paling dalam. Setelah sekali seruputan kopi dan rokok yang dihidangkan Rudi aku hisap barulah aku ceritakan tentang Elisa ke Rudi.

“Ceritanya begini Rud, aku sempat kenal dengan Elisa. Antara aku dengannya hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. Aku bertemu dengannya hanya dua kali. Pertemuan kedua kalinya aku meminta nomor WhatsApp-nya. Setelah itu aku ngechat dia, dan diapun selalu merespon positif akan chatang-anku, namun entah kenapa ketika rasa cintaku aku tuangkan lewat kertas putih, pertanda aku mencintainya, ternyata dia membalas bahwa dia sudah bertunangan,” terangku pada Rudi. Saat itu aku ingin rasanya menangis tapi rasa maluku pada Rudi mampu bisa mengalahkan rasa sakitku pada Elisa.

Rudi hanya tersenyum ketika aku menceritakan tentang perempuan itu. Aku sengaja tidak ingin menjelaskan semuanya kepada Rudi, karena aku bertujuan untuk dapat melupakan semuanya. Setelah itu aku berdiam diri, baru setelah lama aku berdiam Rudi pun merespon curhatanku tentang perempuan Elisa.

“Ingat Ang, laki-laki mempunyai banyak pilihan, kamu tidak pantas jika bersedih apalagi kamu bukan milik Elisa dan dia bukan pacarmu. Jadi dintara kamu dengannya hanya sebatas kenal lewat WhatsApp. Walaupun rasamu muncul di kedalaman hati, maka cintamu padanya tetap hanyalah tahap cinta pertama, bukan cinta yang sebenarnya,” terangnya padaku. Akupun hanya bisa mendengarkan wejangan Rudi.

Lima belas menitan diantara kita gak ada yang berbicara, sehingga Rudi meneruskan wejangannya.

“Ang, kamu ini pintar, cerdas, berilmu. Aku masih ingat saat Ozi menceritakan tentang aktivitasmu di kampus IAIN Madura. Dia pernah mengatakan padaku, bahwa kamu gigih dalam belajar. Dia pernah mengatakan bahwa soal filsafat dan sejarah kamu sudah mengenyamnya tuntas, dan aku percaya setiap manusia yang belajar filsafat, insyaallah pasti mampu bisa menyelesaikan masalahmu tentang Elisa,” terangnya padaku.

Setelah aku mendengarkan wejangan Rudi aku baru sadar, bahwa aku merasa rendah diri mengaharap perempuan terutama pada Elisa. Aku baru sadar bahwa filsafat tidak pernah mengajarkanku untuk bersedih, tetapi filsafat mengajarkanku cinta akan kebijaksanaan. Tak lama aku berpikir lalu aku teringat pada Ozi dan Ria. Aku tanyakan kabar mereka pada Rudi

Rud, gimana kabar Ozi dan Ria,” tanyaku pada Rudi diselala pikiran sumpek tentang Elisa.

“Ooo ya, aku lupa, maaf Ang,” ucapnya.

“Aku rindu pada dua anak itu, bolehkah aku meminta padamu agar Ozi dan Ria disuruh ngopi bersama kita malam ini?” pintaku pada Rudi.

“Santai Ang, aku akan chat dia supaya kesini,” tukasnya.

Saat itu, wajahku masih terlihat sedih dan Rudi memahami keadaanku, Rudi pun mengatakan,

“Ang, kamu mau gak, aku ajak kenalan dengan teman karibku,” tawarnya padaku.

“Ya terserah kamu, tapi kalau dia tidak mau denganku kan percuma,” jawabku.

Mendengar jawabanku kemudian Rudi mengatakan “Kamu harus percaya padaku, jika aku meyarankan kepadamu tentang perempuan, itu berarti aku tidak salah memilih,” terangnya dengan yakin.

Rudi memberi tahu bahwa dia punya teman perempuan. Katanya dia adalah wanita yang baik budi pekerti, jika aku pilih sebagai pendamping hidup insyallah aku tidak akan menyesal dunia akhirat. Itulah yang dia jelaskan kepadaku. Dia mengatakan perempuan itu cocok jika menjadi kekasihmu. Aku penasaran akan perempuan yang diceritakan Rudi, aku pun bertanya ke Rudi

“Rud, beritahu siapa namanya. Apakah dia sudah punya pacar ataukah tidak?” tanyaku pada Rudi.

Lalu rudi menjawab “Namanya Elbat. Dia wanita baik. Kayaknya dia lagi LDR-an. Dia adalah mahasiswa Universitas Sumbari, jurusan Akutansi,”

Mendengar namanya saja sepertinya dia perempuan baik. Namun kurang optimis saat aku mendengar bahwa dia lagi LDR-an. Dilain sisi mungkinkah aku akan bisa bertemu dengannya, itulah khayalku saat Rudi memberitahukan namanya. Setelah kita lama sekitar satu jam di warung kopi tersebut, empat menit kemudian datanglah tiga orang. Dua orang tersebut aku sangat mengenal, namun satunya lagi aku tak mengenal. Kedua orang itu Ozi dan Ria sedang satunya aku tak tahu. Rudi kemudian mengatakan padaku.

“Ang, itu Ozi dan Ria, katanya kamu rindu pada mereka,” ucapnya.

Ozi dan Ria kemudian melihatku dari jarak 5 meter tercengang, dengan serentak mereka bersama menyapaku.

“Anggara, Angga, kamu kok ada disini?” ucapnya dari jarak sembilan meter, akupun menjawab “Ozi, Ria, aku merindukanmu. Aku disini karena kangen dengan kamu berdua, ayo cepat duduk disini,” ajakku.

Setelah mereka bertiga ada didepanku, mereka bersalaman satu persatu. Dan perempuan yang tak aku kenal itu juga bersalaman denganku, tapi untuk yang satu ini, tangannya sungguh halus dan lembut, aku pandang wahahnya amat sungguh ayu. Aku dan Rudi persilahkan mereka duduk. Tapi aku masih heran, kenapa ketiga orang itu bisa kesini. Aku tanya ke Rudi.

“Kapan kamu ngasih mereka bertiga” tanyaku.

“Disaat kamu kelihatan sedih aku hubungi mereka bertiga untuk kesini, untuk menengkan persaanmu” ucapnya.

Ozi, Ria, dan satu orang cewek itu tercengang akan ucapan Rudi. Lalu Ozi bersama Ria pun nyeletuk bersamaan.

“Ada apa denganmu kawanku?” Tanya Ozi “Gak ada apa-apa Oz,” jawabku.

Aku malu pada mereka. Aku tak mungkin memberi tahu kepada tiga anak itu, cukup Rudi saja yang tahu tentang risauku pada Elisa. Pertanyaan Ozi sudah dilupakannya, lalu tiga temanku menanyakan aktivitasku di Madura, sedang satu perempuan itu hanya mendengarkan percapakan kita berempat. Aku menjawab pertanyaan teman-temanku. Namun mataku tak bisa fokus pada tiga kawan sejawatku, aku melihat perempuan yang tak ku kenal dengan penuh perhatian. Rudi pun memahami sikapku saat itu. Lalu dia bertanya padaku

“Apa yang kamu pikirkan wahai kawanku?” tanya dia padaku.

“Aku tak memikirkan apa-apa Rud,” jawabku. “Matamu tak bisa bohong saat ini, ini pasti ada sesuatu yang menggagu percakapan kita,” ucap dia. Rudi memahimi mataku, lalu dia menambahkan.

“Pasti teman perempuanku yang membuatmu begitu,” tambahnya. Aku malu saat Rudi membuka pagar mataku saat mataku memfokuskan pada kecantikan perempuan itu.

Dalam pikirku, wanita itu sangat sempurna, dia cantik sekali, tapi sayang aku lupa berkenalan dengannya. Saat khayalku tentang perempuan itu belum selesai, maka Rudi lalu berkata padaku

“Ini yang aku ceritakan tadi, dia adalah Elbat,” ucap Rudi. Ketika mendengar nama itu, mataku bersinar, ternyata dia yang bernamakan Elbat. Sungguh tidak salah Rudi mengenalkannya padaku. Aku ingin lama ngopi di tempat itu. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu. Aku harus berkenalan sendiri dengannya, karena aku tak bisa menahan untuk tahu siapa nama aslinya. Aku tak ingin pertemuan pertama menyisakan bayangan dan merindu. Tak lama setelah aku memandangnya, Rudi pun bertaka padaku.

“Ang, kamu suka dengan temanku tah. Kalau kamu suka izin dulu ke Ozi, sebab Ozi-lah teman curhatnya,” ucap Rudi. Akupun bergegas melirik Ozi, dan aku mengedipkan mataku padanya pertanda ingin berkenalan dengan perempuan itu, Ozi-pun menganggukkan kepala, sedang  Elbat kelihatannya wajah menampakkan rasa malu. Tak lama setelah aku mengedipkan mata pada Ozi aku ulurkan tanganku pada si Elbat “Perkenalkan namaku  Aggara Sapurta Nugroho, boleh kamu panggil Anggara. Bolehkan aku tahu namamu mbak?” tanyaku sambil erat tangannya yang sangat halus dan lembut. Dia mengangguk dan menjawab

“Namaku Elbatul Fitriah mas” jawabnya dengan nada halus. Aku masih belum puas mengenal namanya, aku tanyakan dia asal kabupatennya.

“Asal kelahiranmu dari mana mbak?” dia menjawab “Aku asal Jombang mas,” jawabnya.

Rudi dan Elbat ternyata satu rumpun kabupaten. Aku beruntung punya teman Rudi, dan tentu aku sangat terkesan ketika berkenalan dengan Elbat.

Setelah perkenalan dengannya ku meminta no WhatsApNya, dia pun menyodorkan hp samsungnya. Aku catat nomor itu. Setelah kita lama berbincang-bincang Ria kemudian ngajak kita pulang karena jam sudah pukul 10:30 malam. Ria anak asrama sedang Ozi dan Rudi anak kos-kosan. Kita beranjak pulang. Walupun aku tidak puas melihat Elbat, tapi karena waktu menuntut kita untuk pulang akhirnya kita pulang, tapi Ozi sungguh keterlaluan Elbat tidak diperbolehkan bareng dengan Ria.

“Ria, kamu bersamaku saja, dan biar Elbat sama Anggara,” ucap Ozi. Rudi tersenyum mendengar ucapan Ozi. Dan dia mendukung “Aku setuju, Ria sama Ozi saja sedang Elbat kayaknya pas jika bersama Anggara,” tambah Rudi.

Aku malu saat Rudi mengatakan seperti itu. Rudi pun mengambil kontak sepeda motornya dari kantong celana kanannya dan memberikannya padaku “Kamu pakek sepeda motorku. Aku bawa punya Ria, biar Ria bareng sama Ozi saja,” tukas Rudi.

Kitapun pulang. Aku lihat Elbat kayaknya dia malu jika. Aku paham dengan situasi d. iaTapi Ozi lebih faham saoal perempuan akhirnya dia mengatakan ke Elbat.

“El, ayok berangkat, Anggara sudah menunggumu tuh,” ucap Ozi. Setelah Ozi menyuruhnya, Elbat pun naik sepeda motorku. Saat sumua sudah siap, kita berangkat. Rudi, dan Ozi di depanku. Rasanya bersama Elbat hatiku deg-degan. Malu kalau bareng apalagi dengan orang cantik sepertinya. Elbat hanya berdiam diri, aku juga malu mau ngobrol dengannya. Tapi gimana lagi aku sudah terlanjur bareng, aku ajak dia ngobrol.

“Mbak kok cuma diam?tanyaku.

“Ya, ya, bagaimana mas,” balasnya.

Setelah aku nanya soal itu, responnya membuatku penasaran. Tapi mulutku tak juga bisa diatur, mungkin karena kesempatan bersama Elbat dan juga saat kita diwarung kopi tadi akupun mengatakan ketakjuban isi hatiku padanya

“Sejak pertama aku melihatmu bersama Ozi dan Ria, aku sudah terkesan dengan keceriaan sinar wajah mbak yang mempesona. Aku terpana dengan cara lirikan mata mbak yang memancarkan cahaya. Aku terbawa arus gelombang wewangian yang mbak kenakan, sehingga aku tak bisa berkata banyak pada waktu kita bertemu diwarung kopi tadi” rayuku padanya.

Elbat hanya terdiam, aku tak tahu apakah dia tersenyum atau tidak, namun aku hanya bisa berkata semuanya, aku sudah pasrahkan pada kata-kataku, apakah dia tersentuh hatinya ataukah tidak. Sebenarnya aku tak boleh mengatakan itu, namun bagaimana lagi. Aku menyerap energi positif yang ada pada dirinya. Aku sungguh takut jika pertemuan itu hanya sebatas bayangan semu. Aku takut dia hanyalah mimpi hidupku. Aku takut dia cuma terlintas didepan mataku. Semua yang aku katakan adalah karena tidak ingin dia hanya sesaat. Aku tak berani berkata bohong dengan peraaasanku pada perempuan itu, namun entah kenapa setelah aku mengatakan itu tak dirasa perjalanku dengannya sudah sampai di dekat kosan si Elbat. Elbat pun berkata

“Mas Anggara, kosanku sudah didepan,” ucap dia. “Ooo ya mbak, mbak turun dimana” tanyaku.

“Aku turun disini saja mas, aku gak enak sama warga disini mas,imbuhnya.

“Ooo kalau begitu, ya bak. Maaf jika aku mengganggu mbaknya soal kata-kata tadi,” tuturku.

Dia tersenyum dan berkata “Gak apa-apa mas. Aku sangat berterimakasih, mas sudah ngantrin aku kekos. Semoga kita bertemu lagi, aku suka dengan kata-kata mas yang tadi, itu sungguh puitis. Aku tak pernah selalama ini mendengar kata-kata itu” ucapnya. “Telingaku kayaknya mekar, lantunan suaranya sungguh merdu.

“Semoga tuhan mempertemukan kita lagi,” jawabku.

Aku berpamitan pulang padanya “Assalamualaikum mbak, semoga besok kita dapat bisa ngopi lagi, aku pulang ya mbak, takut Rudi menungguku di kos.” dia tersenyum dan berucap “Waalaikumsalam mas, semoga besok aku dapat bertemu dengan masNya lagi,” jawab Elbat.

Aku pulang ke kosan Rudi dengan penuh rasa hati yang berbunga-bunga. Pengalaman itu tak asa bisa aku lupakan sepanjang sejarah hidupku. Aku tetap akan mengenang wajah elok Elbat yang mengesan. Semoga pertemuan itu ditulis oleh Tuhan dan semoga esok aku diberikan kesempatan bertemu dengannya, dan seterusnya. Itulah penglaman pertemuan malam pertama dengan Elbat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kolom komentar diisi