Oleh: Faidi Ansori
Elisa Nur
Indara Yatni adalah nama yang kukenal sembilan hari lalu. Aku dua kali bertemu
dengannya. Pertemuan itu hanya sebagaimana wajarnya, hanya pada tatapan
muka yang tak disangka. Pertemuan kedua, aku sempat menaruh hati pada wajah kecantikannya, pada sajak-sajaknya
yang halus. Dari pertemuan itu aku sempat saling chatting-an selama seumur sembilan hari lamanya, dan diantara kita tidak lebih daripada itu. Aku mengakui
kesopanan si Elisa. Aku mengenal namanya sejak pertemuan kedua
pembubaran panitia Haflatul Imtihan di
pondok pesantren Al-Mukhsinin, pondok pesantren ternama di Kabupaten Ronggo
Sukma. Dia perempuan puitis, sedangkanku selalu formal pada tata bahasa ilmiah,
seperti buku-buku gerakan kiri, filsafat, sejarah, dan aliran-aliran pemikiran
liar dibelahan dunia.
Pada pertemuan
kedua aku sempat meminta nomor WhatsApp-nya.
Setelah pertemuan itu, setiap malam aku selalu nge-chat dia, dan dia selalu membalas chatting-anku. Setiap malam pula dia menuangkan rasa
kekagumannya padaku melaui sajak-sajaknya yang teratur. Dari awal aku memang
mencintai Elisa. Namun, pada malam ke sebelas setelah aku
betul-betul merasakan getaran cinta didalam hati yang kutulis pada kertas spesial
berwarna putih, maka ketika malam itu pula datanglah jawaban yang sangat melukai
lubuk hatiku yang paling dalam. Kutulis pada kertas yang
berhalaman dua belas tentang apa yang sebebanarnya kucita-citakan untuk meraihnya, dan dihalaman terakhir diparagraf kedua aku tulis untuk Elisa
“Elisa kamu
adalah rembulanku. Aku mencintamu. Semoga kata-kataku tak menyakitimu. Elisa,
kamu adalah rembulanku diwaktu malam. Kamu
puisiku, sajakku, dan kitabku. Aku sungguh menyayangimu. Hatimu sutra. Wajahmu
rembulan. Ucapmu puisi. Apakah kamu tak berat hati jika menerima rasa cintaku
yang tumbuh mekar didalam hati,” tulisku pada kertas spesial itu.
Itulah
kalimat-kalimat yang kuharapkan padanya. Setelah dia membaca sampai selesai tulisanku, kemudian perlahan dia membalas dengan penuh kehati-hatian agar aku tidak sakit hati pada
bait sajak-sajaknya yang ditujukan padaku. Tapi sebagaimana perasaan seorang lelaki sepertiku, serumuit apapun kata-kata
perempuan kalau sudah soal hati maka aku akan memahaminya, karena tulisanku tidak akan pernah berbohong, dan persaan
orang pun yang pernah dikatakan padaku juga tidak
pernah bohong. Dia membalasnya.
“Aslinya, aku sudah paham maksud yang sebenarnya dari mas Aggara katakan,
tapi aku menutupinya dan pura-pura tidak tahu,” balasnya ringan.
Itulah balasan
awal yang dia tuliskan, namun yang paling berat menahan tangis hatiku ketika
dia meneruskan maksud yang sebenarnya akan
tulisannya.
“Maaf mas, mas Anggara sudah terlambat datang saat ini. Waktunya sudah tidak
tepat. Beberapa hari yang lalu aku sudah dilamar
seorang yang kukenal satu bulan setengah sebelumnya. Dengan alasan itulah, inilah jawaban
atas surat-surat mas Anggara,” tambahnya dan tentu jawaban atas harapanku.
Saat ini aku sedang
duduk bersila sambari khusyuk membaca balasan demi balasan darinya.
Kekhusyuanku akan membaca tulisannya membawaku pada alam kegelapan. Terangnya
lampu tidur terasa tak membawakan sinar.
Setelah aku
tahu jawaban darinya aku bergegas tidur agar bayangan tulisannya tak lagi
mengahantui malamku. Namun, entah kenapa dibatas tidurku sebelum membuka mata,
wajah dia muncul dialam mimpi. Aku tak sanggup melihat wajahnya karena
disampingnya, dia sedang memegang erat tangan lelaki lain.
Saat aku tercengan melihat perlakuan dua anak itu barulah aku terbangun. “Ya
Allah, hapuslah kenangan tulisanku padannya dan tulisannya yang pernah ditulis
untukku!” seruku pada Tuhan agar kenangan tentang Elisa hilang di ruang
perasaan hatiku.
Kejadian malam
itu membuat hariku terganggu, bahkan sampai sholat pun kata-katanya menghantui.
“Ya Alllah kenapa aku seperti ini?” pengaduanku kepadaNya.
Setelah hari
demi hari bayangnya masih terselip dalam ingatanku, aku berinisiatif agar berangkat berlibur ke
kota Tuban dimana disanalah aku bisa bertemu dengan kawan-kawan sastra di
Universitas Sumbari. Mungkin, kawan-kawanku disana dapat membantu menghilangkan
kegalauanku pada soal apapun tentang Elisa.
Mentari sudah
menampakkan wajahnya. Aku bergegas mempersiapkan peralatan liburan ke
Universitas Sumbari untuk bertemu dengan kawan Rudi, Ozi, dan Ria. Setelah
peralatanku sudah siap, aku berpamitan kepada kedua orang tua. Orang tua pun
mengijinkanku pergi. Aku berangkat sekitar pukul 13:50 Wib, namun ketika
aku berangkat di pertengahan perjalanan, wajah Elisa menggagu perjalannanku
sampai-ampai aku mau menabrak mobil. “Astagfirullah, selamatkan perjalananku ya
Allah,sehingga aku bisa bertemu dengan kawan-kawanku di Universtas Sumbari, dan
hapuskan igatanku tentang Elisa,” Pintaku pada Tuhan.
Perjalanan itu
aku sebut nama Allah terus menerus, dan Alhamdulillah setelah itu perjalananku
tak mendapatkan rintangan sedikitpun sehingga aku sampai ke alun-alun kota Tuban sekitar pukul 16:37 Wib. Setelah sampai disana aku cek tiga teman sejoliku namun, yang masih aktif hanya si Rudi.
Aku telefon dia “Assalamualaikum Rud? Kamu ada dimana?” tanyaku padanya.
“Walaikumsalam, maaf ini dengan siapa ya?” Tanya Rudi.
Namun Rudi tak
mengenali suaraku, mungkin karena sudah lama aku tidak menghubunginya.
“Ini aku Rud,
Aggara teman pondokmu, masak sudah lupa?” terangku padanya.
“Ooo, iya aku
ingat, Aggara kan?” sahutnya
“Ya Rud, ini
aku,” jawabku.
Rudi adalah
kawan sejawatku saat kita mondok di pondok pesantren Al-hamedy Sampang, Madura. Rudi kawan diskusiku di pondok, dia berasal dari Jombang atau yang lebih dikenal dengan kota santri. Pemikirannya kadang agak nyeleneh, kadang juga serius. Itu mungkin
karena bawaan tradisinya sebagaimana aku juga melihat Cak Nun seorang yang
punya banyak gelar oleh para jamahnya dan tokoh besar ilmuan, cendikiawan, dan
lain-lain. Ketika melihat Rudi maka aku langsung teringat dengan sosok Cak
Nun. Itulah pandanganku tentang dia.
Di pinggir
jalan raya alun-alun kota Jombang terik matahari amat teramat menggagu
istirahatku, sedang Rudi masih asyik bertanya tentang kabarku di Madura,
sehingga aku lupa bahwa aku ingin bermain kesana dengan Ozi dan Ria untuk menghilangkan kegelauanku soal Elisa. Aku sudah
lama istirahat di alun-alun kota Jombang dan rasanya aku capek waktu itu. Aku dan Rudi masih tetap berkomunikasi,
akhirnya kupotong pembicaraannya.
“Rud aku mau ke
kamu. Aku sekarang sedang berlibur ingin bertemu denganmu Ozi dan Ria, bolehkan
aku kesana, ya sambil-sambil aku mau bermain ke Universitas Sumbari,” rayuku.
“Ooo, ya Ang,
nggak apa-apa, kamu sekarang ada dimana?” tanyanya.
“Aku ada
dipinggir jalan raya alun-alun kota Jombang sebelah kiri. Aku ada di dekat penjual pentol. Bolehkah aku minta tolong
dijemput kesini,” pintaku.
“Ooo ya, kok ngak
ngasih tahu dari tadi Ang. Ya aku berangkat sekarang,” pungkasnya.
Aku menunggunya
sekitar 15 menit, setelah 15 menit kemudian Rudi datang. Dia tampak kurus,
mungkin dia sering berpuasa. Aku sapa dia dari jarak 15 meter “Rud, Rudi aku
disini Rud” teriakku dari jarak kejauhan, ternyata telinga
Rudi cukup menangkap dan mengenal suaraku lalu dia menyahut “Ooo, ya kawan. Oke tunggu,” sahutnya dari jarak kejauhan.
Setelah Rudi sampai lalu kita bersalaman. 5 menit kita
berbincang-bincang di pinggir alun-alun kota itu. Rudi kemudian mengajakku agar
kekosannya. Sesampai dikosan Rudi aku disuruh olehnya agar mandi terlebih
dahulu, setelah itu aku disuruh istirahat, sebab dia tahu bahwa perjalananku cukup jauh dari Madura ke
Jombang. Kamar kosan Rudi luman bagus suasanya. kamarnya terlihat kelihatan
bahwa dia anak sastra. Setiap dinding banyak kata-kata sastra yang sulit aku
tangkap maksud filosofinya. Untuk mengantarkan rasa ngantuk, aku biasanya harus
dengan membaca buku menimal tiga belas lembar. Namun saat ini ditasku memang
ada buku, tapi rasanya malas, soalnya buku
yang aku bawa masih berbau sejarah yang mana harus teliti dan harus hafal pada tanggal, bulan, tahun, dan tempat. Membukanya rasanya malas.
Tulisan didinding aku kira cukup untuk bisa membuatku tidur. Setelah lama
sekirat 10 menit aku baca karya sastra temanku dari dinding bersegi embat, aku
mulai membacanya dari sebelah barat, dan ketika aku sampai diseperapat dinding
sebelah selatan rasa ngantukku sudah terasa. Sebelum semua tulisan di dinding
sebelah selatan selasai, barulah saat itu aku tertidur. Tidurku cukup lama. Tidak terasa kecapekan membuatku lama untuk bangun. Sekitar 3 jam
aku tidur hanya bersama bantal guling. Aku dibangunkan oleh Rudi.
“Ang, Aggara,
Aggara, bagun Ang. Ayok ikut aku,” ucap dia
sambil mengutik-utik kakiku. Aku pun terbagun lalu aku tanyakan padanya “Mau
kemana?” tanyaku sambil memperbaiki rambutkut yang tak beraturan.
“Ikut aku ke
warung kopi depan kampus Sumbari sambil menikmati malam bersama kopi dan
diskusi,” terangnya.
“Kalau begitu
aku mandi dulu Rud,” jawabku padanya. “Jangan lama-lama ya,” balasnya.
Aku mandi sekitar 10 menit, setelah selesai, aku memakai pakaianku lalu Rudi memanggilku yang sedang menunggu depan teras kos.
“Ang, Anggara,
ayo cepat,” ucapnya dari luar teras. “Oke. Ayo berangkat aku sudah selesai,” sahutku.
Kita berangkat.
Antara kosan Rudi ke warung kopi depan kampus Sumbari lumayan dekat, tidak
sampai satu kilo. Diperjalan, aku teringat
dengan wajah Elisa. Ingatan itu mulai muncul tentang kata-kata terakhirnya,
namun entah kenapa mulutku dengan spontan mulai berbicara kepada Rudi.
“Rud, aku
kesini punya dua tujuan,” kataku pada Rudi.
“Apa itu Ang?”
Tanya dia dengan lirih.
“Pertama, aku ingin liburan dan bertemu denganmu, Ozi dan Ria juga ingin tahu Universitas. Kedua, aku ingin melepaskan kegalauanku akan rasa cintaku kepada
seorang perempuan yang kukenal sembilan hari yang lalu,” terangku pada Rudi.
Rudi kemudian tertawa akan penjelasan itu soal rasa
kegalawanku tentang perempuan.
“Hahaha, ya
nanti saja kalau mau curhat. Kalau kita ada di warung kopi entar kita bicarakan
soal perempuan itu,” jelasnya sambil tertawa lebar.
Rudi nampak paham
akan masalahku, lalu dia memotong dan kita sudah
sampai di warung kopi yang dimaksudkan Rudi.
“Ang, kita
sudah sampai. Ini warung kopi yang kusukai. Disinilah aku belajar banyak ilmu,
bahkan lebih banyak daripada yang aku dapat di rung-ruang kelas kuliah. Disini
juga aku dapat pujaan hati,” katanya sambil
menerangkan dengan penuh keseriusan.
Aku terkesan
dengan apa yang dijelaskan oleh Rudi. Aku melihat kanan kiri, depan belakang.
Tujuan mataku hanya untuk mencari tahu apa nama warung itu, ternya nama warung
itu tertempel ditembok sebelah timur pada banner berwarna putih. Nama warung itu adalah Ma’de Kafe. Rudi sudah duduk dikursi panjang berwarna merah,
sedangkanku masih berdiri, Rudi menyuruhku “Ang,
pesan dulu kopinya, aku juga, entar kalau sudah, kamu boleh curhat soal yang tadi,” suruhnya padaku. Aku hanya
menganggguk. Aku pesan dua kopi hitam bubuk sesuai permintaannya. Setelah kopi itu datang barulah Rudi mempersilahkanku untuk
curhat.
“Kamu boleh
sekarang menceritakan semuanya tetang masalahmu, namun saranku terlebih dahulu
seruputlah kopinya dan ambillah sebatang rokok Suryaku, baru setelah itu kamu
boleh curhat tentang perempuan yang kamu maksudkan,” tuturnya dengan penuh
santai.
Aku malu untuk
mengatakan semua yang pernah terjadi saat aku pernah kenal dengan Elisa, namun
entah kenapa mulutku tak bisa menahan akan
rasa sakitku yang paling dalam. Setelah sekali seruputan
kopi dan rokok yang dihidangkan Rudi aku hisap barulah aku ceritakan tentang Elisa ke Rudi.
“Ceritanya
begini Rud, aku sempat kenal dengan Elisa. Antara aku dengannya hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. Aku bertemu dengannya hanya dua kali. Pertemuan
kedua kalinya aku meminta nomor WhatsApp-nya. Setelah itu aku ngechat dia, dan
diapun selalu merespon positif akan chatang-anku, namun entah kenapa ketika rasa cintaku aku
tuangkan lewat kertas putih, pertanda aku mencintainya, ternyata dia membalas bahwa dia sudah bertunangan,” terangku pada Rudi. Saat
itu aku ingin rasanya menangis tapi rasa maluku pada Rudi mampu bisa mengalahkan rasa sakitku pada
Elisa.
Rudi hanya
tersenyum ketika aku menceritakan tentang perempuan itu. Aku sengaja tidak
ingin menjelaskan semuanya kepada Rudi, karena aku bertujuan untuk dapat melupakan semuanya. Setelah itu aku berdiam diri, baru setelah
lama aku berdiam Rudi pun merespon curhatanku tentang perempuan Elisa.
“Ingat Ang,
laki-laki mempunyai banyak pilihan, kamu tidak pantas jika bersedih apalagi
kamu bukan milik Elisa dan dia bukan pacarmu.
Jadi dintara kamu dengannya hanya sebatas kenal lewat WhatsApp. Walaupun rasamu muncul di kedalaman hati, maka cintamu padanya
tetap hanyalah tahap cinta pertama, bukan cinta yang sebenarnya,” terangnya
padaku. Akupun hanya bisa mendengarkan wejangan Rudi.
Lima belas
menitan diantara kita gak ada yang berbicara, sehingga Rudi meneruskan
wejangannya.
“Ang, kamu ini
pintar, cerdas, berilmu. Aku masih ingat saat Ozi menceritakan tentang
aktivitasmu di kampus IAIN Madura. Dia pernah mengatakan
padaku, bahwa kamu gigih dalam belajar. Dia pernah mengatakan bahwa soal
filsafat dan sejarah kamu sudah mengenyamnya tuntas, dan aku
percaya setiap manusia yang belajar filsafat, insyaallah pasti mampu bisa menyelesaikan masalahmu tentang Elisa,” terangnya padaku.
Setelah aku
mendengarkan wejangan Rudi aku baru sadar, bahwa aku merasa rendah diri
mengaharap perempuan terutama pada Elisa. Aku baru
sadar bahwa filsafat tidak pernah mengajarkanku untuk bersedih, tetapi filsafat
mengajarkanku cinta akan kebijaksanaan. Tak lama aku berpikir lalu aku teringat
pada Ozi dan Ria. Aku tanyakan kabar mereka pada Rudi
“Rud, gimana kabar Ozi dan Ria,” tanyaku pada Rudi diselala pikiran sumpek tentang Elisa.
“Ooo ya, aku
lupa, maaf Ang,” ucapnya.
“Aku rindu pada
dua anak itu, bolehkah aku meminta padamu agar Ozi dan Ria disuruh ngopi bersama
kita malam ini?” pintaku pada Rudi.
“Santai Ang,
aku akan chat dia supaya kesini,” tukasnya.
Saat itu, wajahku masih terlihat sedih dan Rudi memahami keadaanku, Rudi pun
mengatakan,
“Ang, kamu mau gak, aku ajak kenalan dengan teman karibku,” tawarnya padaku.
“Ya terserah kamu, tapi kalau dia tidak mau denganku kan percuma,” jawabku.
Mendengar
jawabanku kemudian Rudi mengatakan “Kamu harus percaya padaku, jika aku
meyarankan kepadamu tentang perempuan, itu berarti aku tidak salah memilih,” terangnya dengan
yakin.
Rudi memberi
tahu bahwa dia punya teman perempuan. Katanya dia adalah wanita yang baik budi
pekerti, jika aku pilih sebagai pendamping hidup insyallah aku tidak akan
menyesal dunia akhirat. Itulah yang dia jelaskan kepadaku. Dia mengatakan perempuan itu cocok
jika menjadi kekasihmu. Aku penasaran akan perempuan yang diceritakan Rudi, aku
pun bertanya ke Rudi
“Rud, beritahu
siapa namanya. Apakah dia sudah punya pacar ataukah tidak?” tanyaku pada Rudi.
Lalu rudi menjawab “Namanya Elbat. Dia wanita baik. Kayaknya dia lagi LDR-an. Dia adalah mahasiswa Universitas Sumbari, jurusan Akutansi,”
Mendengar namanya saja sepertinya dia perempuan baik. Namun kurang optimis saat
aku mendengar bahwa dia lagi LDR-an. Dilain sisi mungkinkah aku akan bisa bertemu
dengannya, itulah khayalku saat Rudi memberitahukan namanya. Setelah kita
lama sekitar satu jam di warung kopi tersebut, empat menit kemudian datanglah
tiga orang. Dua orang tersebut aku sangat mengenal, namun satunya lagi aku tak mengenal. Kedua orang itu Ozi dan
Ria sedang satunya aku tak tahu. Rudi kemudian mengatakan padaku.
“Ang, itu Ozi
dan Ria, katanya kamu rindu pada mereka,” ucapnya.
Ozi dan Ria
kemudian melihatku dari jarak 5 meter tercengang,
dengan serentak mereka bersama menyapaku.
“Anggara,
Angga, kamu kok ada disini?” ucapnya dari jarak sembilan meter, akupun menjawab
“Ozi, Ria, aku merindukanmu. Aku disini karena kangen dengan kamu
berdua, ayo cepat duduk disini,” ajakku.
Setelah mereka
bertiga ada didepanku, mereka bersalaman satu persatu. Dan perempuan yang tak
aku kenal itu juga bersalaman denganku, tapi untuk yang satu ini, tangannya
sungguh halus dan lembut, aku pandang wahahnya amat sungguh ayu. Aku dan Rudi persilahkan mereka duduk. Tapi aku masih heran,
kenapa ketiga orang itu bisa kesini. Aku
tanya ke Rudi.
“Kapan kamu ngasih mereka bertiga” tanyaku.
“Disaat kamu kelihatan sedih aku hubungi mereka bertiga untuk kesini, untuk
menengkan persaanmu” ucapnya.
Ozi, Ria, dan
satu orang cewek itu tercengang akan ucapan
Rudi. Lalu Ozi bersama Ria pun nyeletuk bersamaan.
“Ada apa denganmu kawanku?” Tanya Ozi “Gak ada apa-apa Oz,” jawabku.
Aku malu pada mereka. Aku tak mungkin memberi tahu kepada tiga anak itu,
cukup Rudi saja yang tahu tentang risauku pada Elisa. Pertanyaan Ozi sudah
dilupakannya, lalu tiga temanku menanyakan aktivitasku di Madura, sedang satu
perempuan itu hanya mendengarkan percapakan kita berempat. Aku menjawab
pertanyaan teman-temanku. Namun mataku tak bisa fokus pada tiga kawan
sejawatku, aku melihat perempuan yang tak ku kenal dengan penuh perhatian. Rudi pun memahami sikapku saat itu. Lalu dia bertanya padaku
“Apa yang kamu
pikirkan wahai kawanku?” tanya dia
padaku.
“Aku tak memikirkan
apa-apa Rud,” jawabku. “Matamu tak bisa bohong saat ini, ini pasti ada sesuatu yang menggagu percakapan kita,” ucap dia. Rudi memahimi mataku,
lalu dia menambahkan.
“Pasti teman
perempuanku yang membuatmu begitu,” tambahnya. Aku malu saat Rudi membuka pagar
mataku saat mataku memfokuskan pada kecantikan
perempuan itu.
Dalam pikirku,
wanita itu sangat sempurna, dia cantik sekali, tapi sayang aku lupa berkenalan
dengannya. Saat khayalku tentang perempuan itu belum selesai, maka Rudi lalu berkata padaku
“Ini yang aku
ceritakan tadi, dia adalah Elbat,” ucap Rudi. Ketika mendengar nama itu, mataku bersinar, ternyata dia yang bernamakan Elbat. Sungguh tidak salah Rudi mengenalkannya padaku. Aku ingin lama ngopi di tempat itu. Aku tak ingin
menyia-nyiakan waktu. Aku harus berkenalan sendiri dengannya, karena aku tak bisa menahan untuk tahu siapa nama aslinya. Aku tak ingin pertemuan pertama menyisakan
bayangan dan merindu. Tak lama setelah aku memandangnya, Rudi pun bertaka
padaku.
“Ang, kamu suka dengan temanku tah. Kalau kamu suka izin dulu ke Ozi, sebab
Ozi-lah teman curhatnya,” ucap Rudi. Akupun bergegas melirik Ozi, dan
aku mengedipkan mataku padanya pertanda ingin berkenalan dengan perempuan
itu, Ozi-pun menganggukkan kepala, sedang
Elbat kelihatannya wajah menampakkan rasa malu. Tak lama setelah aku mengedipkan mata pada
Ozi aku ulurkan tanganku pada si Elbat “Perkenalkan namaku
Aggara Sapurta Nugroho, boleh kamu panggil Anggara. Bolehkan aku tahu
namamu mbak?” tanyaku sambil erat tangannya yang sangat halus dan lembut. Dia mengangguk dan menjawab
“Namaku Elbatul Fitriah mas” jawabnya dengan nada halus. Aku masih belum puas
mengenal namanya, aku tanyakan dia asal kabupatennya.
“Asal kelahiranmu dari mana mbak?” dia menjawab “Aku
asal Jombang mas,” jawabnya.
Rudi dan Elbat ternyata satu rumpun kabupaten. Aku beruntung punya teman Rudi, dan tentu aku sangat terkesan ketika berkenalan dengan Elbat.
Setelah perkenalan dengannya ku meminta no WhatsApNya, dia pun menyodorkan
hp samsungnya. Aku catat nomor itu. Setelah kita lama berbincang-bincang Ria
kemudian ngajak kita pulang karena jam sudah pukul 10:30 malam. Ria anak asrama
sedang Ozi dan Rudi anak kos-kosan. Kita beranjak pulang. Walupun aku tidak
puas melihat Elbat, tapi karena waktu menuntut kita untuk pulang akhirnya kita
pulang, tapi Ozi sungguh keterlaluan Elbat tidak diperbolehkan bareng dengan
Ria.
“Ria, kamu bersamaku saja, dan biar Elbat sama Anggara,” ucap Ozi. Rudi tersenyum mendengar ucapan Ozi. Dan dia mendukung “Aku
setuju, Ria sama Ozi saja sedang Elbat kayaknya pas jika bersama Anggara,” tambah Rudi.
Aku malu saat Rudi mengatakan seperti itu. Rudi pun mengambil kontak sepeda
motornya dari kantong celana kanannya dan memberikannya padaku “Kamu pakek
sepeda motorku. Aku bawa punya Ria, biar Ria bareng sama Ozi saja,” tukas Rudi.
Kitapun pulang. Aku lihat Elbat kayaknya dia malu jika. Aku paham dengan situasi d. iaTapi Ozi lebih faham saoal perempuan akhirnya dia
mengatakan ke Elbat.
“El, ayok berangkat, Anggara sudah menunggumu tuh,” ucap Ozi. Setelah Ozi menyuruhnya, Elbat pun naik sepeda motorku. Saat
sumua sudah siap, kita berangkat. Rudi, dan Ozi di depanku. Rasanya bersama
Elbat hatiku deg-degan. Malu kalau bareng apalagi dengan orang cantik
sepertinya. Elbat hanya berdiam diri, aku juga malu mau ngobrol dengannya. Tapi
gimana lagi aku sudah terlanjur bareng, aku ajak dia ngobrol.
“Mbak kok cuma diam?” tanyaku.
“Ya, ya, bagaimana mas,” balasnya.
Setelah aku nanya soal itu, responnya membuatku penasaran. Tapi mulutku tak
juga bisa diatur, mungkin karena kesempatan bersama Elbat dan juga saat kita
diwarung kopi tadi akupun mengatakan ketakjuban isi hatiku padanya
“Sejak pertama aku melihatmu bersama Ozi dan Ria, aku sudah terkesan dengan
keceriaan sinar wajah mbak yang mempesona. Aku terpana dengan cara lirikan mata
mbak yang memancarkan cahaya. Aku terbawa arus gelombang wewangian yang mbak
kenakan, sehingga aku tak bisa berkata banyak pada waktu kita bertemu diwarung
kopi tadi” rayuku padanya.
Elbat hanya terdiam, aku tak tahu apakah dia tersenyum atau tidak, namun
aku hanya bisa berkata semuanya, aku sudah pasrahkan pada kata-kataku, apakah
dia tersentuh hatinya ataukah tidak. Sebenarnya aku tak boleh mengatakan itu,
namun bagaimana lagi. Aku menyerap energi positif yang ada pada dirinya. Aku
sungguh takut jika pertemuan itu hanya sebatas bayangan semu. Aku takut dia
hanyalah mimpi hidupku. Aku takut dia cuma terlintas didepan mataku. Semua yang
aku katakan adalah karena tidak ingin dia hanya sesaat. Aku tak berani berkata
bohong dengan peraaasanku pada perempuan itu, namun entah kenapa setelah aku
mengatakan itu tak dirasa perjalanku dengannya sudah sampai di dekat kosan si
Elbat. Elbat pun berkata
“Mas Anggara, kosanku sudah didepan,” ucap dia. “Ooo ya mbak, mbak turun dimana” tanyaku.
“Aku turun disini saja mas, aku gak enak sama warga disini mas,” imbuhnya.
“Ooo kalau begitu, ya bak. Maaf jika aku
mengganggu mbaknya soal kata-kata tadi,” tuturku.
Dia tersenyum dan berkata “Gak apa-apa mas. Aku sangat berterimakasih, mas sudah ngantrin aku kekos. Semoga kita bertemu lagi, aku suka dengan kata-kata mas yang tadi, itu sungguh puitis. Aku tak pernah selalama ini mendengar kata-kata itu” ucapnya. “Telingaku kayaknya mekar, lantunan suaranya sungguh merdu.
“Semoga tuhan mempertemukan kita lagi,” jawabku.
Aku berpamitan pulang padanya “Assalamualaikum mbak, semoga besok kita
dapat bisa ngopi lagi, aku pulang ya mbak, takut Rudi menungguku di kos.” dia
tersenyum dan berucap “Waalaikumsalam mas, semoga besok aku dapat bertemu
dengan masNya lagi,” jawab Elbat.
Aku pulang ke kosan Rudi dengan penuh rasa hati yang berbunga-bunga.
Pengalaman itu tak asa bisa aku lupakan sepanjang sejarah hidupku. Aku tetap
akan mengenang wajah elok Elbat yang mengesan. Semoga pertemuan itu ditulis
oleh Tuhan dan semoga esok aku diberikan kesempatan
bertemu dengannya, dan seterusnya. Itulah penglaman pertemuan malam pertama
dengan Elbat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kolom komentar diisi